Oleh : Andri Rosadi, Ph.D.*
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Setiap usaha untuk memahami karakter masyarakat Indonesia modern dan peninggalan budayanya tidak akan bisa berpaling dari Islam. Jejak sejarah Islam begitu dalam mengakar di seluruh pelosok Nusantara dengan segala variasinya yang dipengaruhi oleh lokalitas masing-masing.
Dialektika antara kultur local dan Islam yang terjadi selama berabad-abad telah mempengaruhi corak Islam di Indonesia, baik dari sisi sosial, budaya maupun politik. Bisa dikatakan bahwa Nusantara merupakan kawasan yang unik, dimana berbagai agama besar dunia, mulai dari Hindu, Budha, Islam, Kong Fu Cu, Kristen dan berbagai varian agama local telah berinteraksi dengan harmonis selama berabad-abad. Pengalaman dalam pluralitas ini telah menumbuhkan ‘software’ yang memungkinkan semua pemeluk agama, termasuk Islam, mengembangkan pola relasi yang harmonis dalam kehidupan sehari-hari.
Bukti historis keberadaan komunitas Muslim di Nusantara telah ada sejak paruh kedua abad ke-13. Sedangkan persentuhan dengan Islam, menurut sebagian sejarawan telah terjadi sejak masa kenabian. Marcopolo pada tahun 1292 mencatat bahwa Perlak telah dihuni oleh komunitas Muslim, walaupun penduduk di pedesaan masih pagan.
Ibnu Batuta juga mencatat pada tahun 1345 bahwa Sultan Aceh, Malik Zahir Shah adalah raja yang saleh. Di Jawa, keberadaan Islam sedikit lebih lambat. Traveller China, Ma Huan, mencatat bahwa tahun 1451 telah muncul komunitas Muslim di Surabaya, Tuban, Gresik, walaupun para Muslim tersebut adalah para pendatang dari China dan Gujarat, sementara pribumi masih menyembah berhala.
Islam masuk secara sporadik mengikuti rute niaga rempah. Beberapa kota niaga Majapahit di masa Hayam Wuruk (1350—1389) telah dihuni oleh kaum Muslim. Perlu dicatat bahwa Majapahit merupakan peradaban agraris Hindu-Budha terakhir yang eksis. Islam secara perlahan berkembang di pedalaman Jawa ketika Demak berhasil mengalahkan Majapahit pada tahun 1478, dan kerajaan Muslim pertama di pedalaman, Mataram, berdiri.
Salah satu rajanya yang paling terkenal adalah Sultan Agung yang memerintah dari tahun 1613—1645. Mataram yang berada di pedalaman mencapai masa kejayaannya pada abad ke 17 dan 18, ketika terjadi revivalisme budaya Jawa, seperti batik, wayang, sastra, music dan tari. Elemen tradisi Jawa warisan Hindu-Budha ini kemudian menyatu dengan baik di kraton yang telah mempraktikkan tradisi Islam. Kemudian terjadi fusi secara evolusioner antara mistisime Hindu-Budha dengan tradisi legalistic Islam di kraton (sinkretisme).
Dalam perkembangannya, daerah pesisir Jawa mengalami disrupsi akibat kedatangan bangsa kulit putih. Seiring dengan runtuhnya kota-kota di pantai Jawa oleh kekuatan colonial, banyak warga Muslim kota berpindah ke pedalaman sehingga mempercepat terjadinya proses Islamisasi di daerah pedalaman. Para migran tersebut tidak hanya pedagang, tapi juga para ulama fikih, kalam, dan tasawuf.