Oleh : Muhammad Iskandar Dzulqornain, Ketua Tanfidziyah PCINU Suriah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Kita selalu berpikir atau dalam benak kita menanti datangnya seorang mesiah, ratu adil, satria piningit atau yang sejenisnya dalam setiap permasalahan yang melanda kehidupan sosial kemasyarakatan kita.
Di saat “terancam” keadilan, kesejahteraan dan keamanan kita sebagai seorang manusia. Kita selalu menggantungkan masa depan dan solusi dari permasalahan-permasalahan yang ada kepada satu orang. Tanpa kita sadari, bahwa perubahan adalah sebuah tugas kolektif.
Allah SWT tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri. Bukankah firman tersebut sudah cukup jelas? Bahwa perubahan menuntut adanya kerjasama kolektif di antara kita semua.
Seperti halnya yang kita ikuti di media massa, tentang kekejaman Israel yang membabi buta terhadap warga Palestina, tentu kita merindukan datangnya Imam Mahdi, datangnya seorang juru selamat yang akan mencabik-cabik para zionis biadab itu.
Tapi, di satu sisi, apakah kita (sebagai sebuah komunitas Muslim) sudah mencoba untuk berbenah? Sudahkah kita mengintrospeksi diri kita? Sudahkan kita mencoba mengubah nasib kita sendiri agar Allah memberikan kita pertolongan-Nya? Apakah moral dan akhlak kita sudah bisa mengembalikan masa kejayaan Islam itu?
Sayangnya, kita terlalu fokus pada “sosok figur” yang akan memberantas semua kejahatan di muka bumi. Sosok “manusia super” yang kedatangannya akan membawa pengaruh signifikan terhadap kelangsungan jagad dan umat.
Mari kita membaca sejarah
Dalam buku Hakadza Dhahara Jiil Salahuddin wa Hakadza ‘Aadat al-Quds karya Dr Majid Kailani, dijelaskan bagaimana keadaan dan dinamika sosial-politik umat Islam ketika terjadinya gelombang Salib Pertama (1095-1099 M.).
Pada waktu itu, umat Islam terpecah baik secara politik, sosial maupun pemikiran. Hal yang paling signifikan adalah banyaknya pemikiran sektarian yang menjangkiti umat, baik dari kalangan ulama maupun awam. Ulama yang seharusnya menjadi teladan dan obat malah menjadi sumber penyakit yang memperparah keadaan.
Dr Majid Kailani menyebutkan: “Sejak paruh kedua abad 5 H, para pengikut dari berbagai mazhab terlibat dalam perselisihan yang menyia-nyiakan usaha seluruh pihak dalam hal-hal yang tidak bermanfaat. Hal ini mengakibatkan aspek budaya dan sosial menjadi pasif (negatif) serta menyuburkan taklid dan jumud. Kesatuan umat terpecah dan terbagi dalam golongan-golongan yang saling bertikai dan bertentangan. Masalah-masalah besar umat tersingkirkan, bahkan menjadi sampingan dalam pandangan mazhab dan kelompok tersebut.”
BACA JUGA: Rasulullah SAW Ajarkan Berdoa Masuk dan Keluar WC, Ini Ternyata Tujuannya
Persatuan umat terpecah karena adanya fanatisme mazhab, golongan ataupun kedaerahan yang mengedepankan kepentingan masing-masing. Setiap dari mereka mengklaim bahwa mereka merupakan representasi umat muslim yang “paling benar” padahal sejatinya hanya terjebak dalam doktrin para imam mazhab yang menginginkan jabatan-jabatan di pemerintahan.