REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Jaharuddin, Pengamat Ekonomi Syariah / Dosen FEB UMJ
Pariwisata telah lama menjadi salah satu sektor unggulan yang mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan kekayaan alam, budaya, dan warisan sejarah yang luar biasa, Indonesia memiliki daya tarik global yang tak terbantahkan. Namun, dalam upaya menciptakan diferensiasi dan daya saing yang lebih tinggi, Pariwisata Ramah Muslim (PRM) muncul sebagai salah satu sektor strategis yang berpotensi mendukung pembangunan Indonesia di masa depan.
Berdasarkan laporan dari State of the Global Islamic Economy, belanja wisata Muslim global mencapai 102 miliar dolar AS pada tahun 2022 dan diproyeksikan meningkat hingga 225 miliar dolar AS pada tahun 2028. Negara-negara dengan mayoritas Muslim seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Malaysia terus meningkatkan belanja wisata mereka, sementara negara-negara non-Muslim seperti Jepang dan Korea Selatan juga mulai berinvestasi dalam infrastruktur ramah Muslim. Indonesia, dengan populasi Muslim besar di dunia, memiliki pangsa pasar wisata Muslim yang strategis. Data dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menunjukkan bahwa jumlah wisatawan Muslim ke Indonesia pada 2019 mencapai 3,6 juta orang, dengan kontribusi devisa sebesar Rp 42 triliun. Angka ini berpotensi meningkat secara signifikan jika Indonesia berhasil memperkuat infrastruktur dan layanan ramah Muslim.
Indonesia telah berhasil mempertahankan peringkat pertama di Global Muslim Travel Index (GMTI) selama dua tahun berturut-turut (2023 dan 2024), mengalahkan negara-negara seperti Malaysia, Turki, dan Arab Saudi. Pencapaian ini menegaskan posisi Indonesia sebagai destinasi utama bagi wisatawan Muslim. Beberapa provinsi seperti Lombok, Aceh, dan Sumatra Barat konsisten menduduki peringkat atas dalam Indonesia Muslim Travel Index sebagai destinasi ramah Muslim terbaik. Perkembangan ini mencerminkan keberhasilan strategi pengembangan pariwisata halal yang terintegrasi, terutama dalam menyediakan fasilitas dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan wisatawan Muslim.
Selain itu, industri halal Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain global. Meningkatnya kesadaran dan kepercayaan masyarakat terhadap produk halal, tidak hanya di kalangan umat Muslim tetapi juga sebagai bagian dari gaya hidup global, membuka peluang besar bagi pelaku bisnis Indonesia. Branding halal kini dianggap sebagai elemen reputasi bisnis yang strategis, yang dapat meningkatkan daya tarik Indonesia sebagai eksportir produk halal terkemuka. Dalam sektor makanan dan minuman, potensi ekspor melalui komoditas unggulan sangat signifikan, didukung oleh perdagangan internasional yang semakin terbuka.
Namun, tantangan besar masih menghadang. Persaingan global semakin ketat dengan negara-negara seperti Thailand yang memposisikan diri sebagai "World Halal Kitchens" dan Tiongkok yang menjadi eksportir pakaian terbesar ke Timur Tengah. Selain itu, keterbatasan substitusi bahan baku non-halal dan ketergantungan pada impor material juga menjadi kendala, terutama di sektor farmasi dan kosmetik. Ketersediaan RPH (Rumah Potong Hewan) Halal juga sangat minim, dengan kebutuhan yang jauh melebihi kapasitas yang ada saat ini.
Dari sisi infrastruktur, kawasan industri halal (KIH) di Indonesia seperti KIH Cikande, KIH Sidoarjo, dan KIH Bintan masih menunjukkan optimalisasi yang rendah. Dukungan berupa insentif fiskal maupun non-fiskal masih diperlukan untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas sektor ini. Selain itu, promosi dan branding destinasi PRM di beberapa daerah juga masih perlu ditingkatkan untuk memperluas penetrasi pasar internasional.
Sejalan dengan pencapaian tersebut, data menunjukkan bahwa jumlah perjalanan wisatawan nusantara dan mancanegara terus meningkat, khususnya dari negara-negara OKI.
Pasca pandemi COVID-19, jumlah kunjungan wisatawan internasional dari negara OKI mencatat tren pertumbuhan yang positif, menunjukkan minat yang tinggi terhadap Indonesia sebagai destinasi wisata halal. Pertumbuhan ini didukung oleh infrastruktur yang semakin baik dan promosi destinasi yang gencar dilakukan oleh pemerintah.
Sejalan dengan pertumbuhan pariwisata halal, sektor ekonomi dan keuangan syariah global juga menunjukkan perkembangan yang signifikan. Data menunjukkan lebih dari 2 miliar konsumen Muslim global menghabiskan sekitar US$ 2,29 triliun pada tahun 2022 di enam sektor industri halal utama, termasuk pariwisata ramah Muslim.
Pertumbuhan transaksi umat Muslim global diperkirakan mencapai 6,3% per tahun (CAGR). Industri keuangan syariah global sendiri mencatat pertumbuhan sebesar 11% dengan valuasi mencapai US$ 4,5 triliun pada tahun 2022, dan diperkirakan akan meningkat menjadi US$ 6,7 triliun pada tahun 2027. Komponen pariwisata halal, yang menyumbang 6% dari total belanja konsumen Muslim, menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk memanfaatkan potensi pasar ini. Dengan memperkuat konektivitas antar sektor, seperti keuangan syariah dan pariwisata, Indonesia dapat meningkatkan daya saingnya di pasar global.
Indonesia memiliki posisi yang cukup kuat di kancah global dalam pengembangan ekonomi dan keuangan syariah. Dalam laporan State of Global Islamic Economy (SGIE) juga menempatkan Indonesia di peringkat 3 pada tahun 2023, menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, Indonesia berada di peringkat pertama sebagai produsen halal terbesar di antara 57 negara OKI. Keberhasilan ini tidak lepas dari dukungan sektor industri halal yang mencakup makanan, farmasi, dan kosmetik.
Beberapa merek ternama Indonesia seperti Indofood, Kalbe, dan Paragon telah memperkuat posisinya di pasar global. Hal ini menjadi bukti bahwa Indonesia memiliki daya saing yang kuat dalam mengembangkan ekosistem ekonomi syariah yang mendukung pertumbuhan pariwisata ramah Muslim. Bank Syariah Indonesia (BSI) juga meraih penghargaan internasional seperti Best Islamic Wealth Management Product of the Year dan Best Central Bank of the Year pada Global Islamic Finance Award (GIFA). Prestasi ini menegaskan kontribusi Indonesia dalam membangun ekonomi syariah yang kompetitif di tingkat global.
Sektor Halal Value Chain (HVC) di Indonesia juga menjadi salah satu pendorong utama dalam pengembangan ekonomi syariah, termasuk sektor pariwisata ramah Muslim. Pada tahun 2023, sektor HVC mencatat pertumbuhan sebesar 3,93% (yoy), meskipun lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 5,53%. Kontribusi utama sektor HVC berasal dari pariwisata ramah Muslim (11,62%), yang menunjukkan peningkatan aktivitas masyarakat setelah pandemi. Selain itu, sektor makanan dan minuman halal mencatat pertumbuhan positif sebesar 4,47%, didukung oleh tingginya konsumsi domestik.
Namun, sektor lain seperti fesyen Muslim mengalami kontraksi sebesar -1,69% pada tahun 2023, yang mengindikasikan tantangan signifikan dalam inovasi dan daya saing global. Meskipun demikian, sektor ini memiliki potensi besar untuk pulih jika strategi pengembangan yang tepat dapat diterapkan, termasuk integrasi teknologi dan peningkatan akses ke pasar internasional. Sementara itu, kontribusi usaha syariah dan pembiayaan syariah menyumbang hampir 46,72% terhadap PDB nasional, dengan sektor pariwisata, makanan, dan minuman sebagai pendorong utama.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, transformasi ekonomi berbasis inovasi dan keberlanjutan menjadi salah satu prioritas utama. PRM sangat relevan dengan visi ini, mengingat karakteristiknya yang mendukung ekonomi lokal dan berkontribusi pada pemerataan pembangunan. Destinasi seperti Lombok, Sumatra Barat, dan Aceh sudah dikenal sebagai ikon wisata halal di Indonesia. Asta Cita Presiden dan Wakil Presiden terpilih juga menyoroti hilirisasi ekonomi kreatif berbasis pariwisata halal sebagai salah satu prioritas pembangunan. Dengan mengembangkan produk kreatif seperti kuliner halal, fesyen Muslim, dan budaya Islami, Indonesia dapat meningkatkan nilai tambah sektor pariwisata.
Prinsip-prinsip dasar ekonomi syariah dapat diterapkan dalam pengembangan PRM untuk memastikan keberlanjutan dan inklusivitas. Prinsip seperti kepemilikan yang amanah, berusaha dengan keadilan, dan bekerjasama dalam kebaikan relevan dalam menciptakan ekosistem pariwisata yang adil dan inklusif. Misalnya, prinsip keadilan dapat diterapkan dalam pengelolaan pendapatan yang adil bagi masyarakat lokal, sementara prinsip bekerjasama dalam kebaikan dapat diwujudkan melalui kolaborasi antara pelaku usaha, pemerintah, dan komunitas lokal. Pengembangan infrastruktur wisata tidak merusak lingkungan atau mengorbankan nilai-nilai lokal.
Industri PRM juga harus memperhatikan keberlanjutan.
Pengembangan destinasi wisata halal harus sejalan dengan pelestarian lingkungan dan keberlanjutan sosial. Destinasi seperti Sumatra Barat dapat menjadi model dengan mempromosikan wisata berbasis komunitas yang mendukung ekonomi lokal sekaligus menjaga kelestarian alam. Data dari World Travel & Tourism Council (WTTC) menegaskan bahwa wisata berkelanjutan semakin menjadi preferensi utama wisatawan global, termasuk wisatawan Muslim.
PRM bukan hanya tentang manfaat ekonomi; sektor ini juga memberikan kontribusi sosial dan budaya yang signifikan. Interaksi antara wisatawan Muslim internasional dan masyarakat lokal dapat meningkatkan pemahaman lintas budaya sekaligus mempromosikan nilai-nilai Islam yang damai dan inklusif.
Dengan mengedepankan prinsip keberlanjutan, inklusivitas, dan inovasi, PRM dapat menjadi salah satu pilar utama pembangunan ekonomi Indonesia. Data dari RPJPN 2025-2045 menunjukkan bahwa transformasi ekonomi berbasis keberlanjutan menjadi salah satu prioritas utama, dan PRM sangat relevan dengan visi ini.
Indonesia memiliki semua modal yang dibutuhkan untuk menjadi destinasi wisata halal terbaik di dunia. Namun, realisasi potensi ini memerlukan kolaborasi erat antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat lokal. Tantangan yang ada harus diatasi dengan strategi yang terukur dan berbasis data untuk memastikan bahwa PRM tidak hanya menjadi sektor unggulan tetapi juga simbol keberhasilan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.