Jumat 21 Jun 2024 14:59 WIB

Mendesak, Jaminan Sosial Pekerja Informal

Pekerja informal memerlukan dukungan jaminan sosial ketenagakerjaan.

Ilustrasi pekerja informal.
Foto: Republika/Prayogi.
Ilustrasi pekerja informal.

Oleh : Hardy R. Hermawan*

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jumlah pekerja sektor informal di Indonesia sepertinya akan kembali bertambah di tahun 2024 ini. Februari silam, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, komposisi pekerja informal mengalami penurunan menjadi 59,17 persen dari total penduduk bekerja. Jumlah pekerja di sektor informal tercatat 84,13 juta orang. Sebaliknya, penduduk yang bekerja di sektor formal meningkat 0,95 persen poin menjadi 40,83 persen atau setara 58,05 juta orang. Namun, belakangan terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri manufaktur di Indonesia.

Pada paruh pertama tahun 2024, gelombang PHK terjadi di sejumlah industri padat karya di Indonesia. Mereka yang bergiat di industri tekstil, alas kaki, serta makanan dan minuman banyak yang harus kehilangan pekerjaan. Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), dalam rilisnya pada awal Juni 2024 menyatakan, sudah ada 100 ribu pekerja industri padat karya yang mengalami PHK di tahun 2024 ini.

Baca Juga

Bahkan PHK juga terjadi di industri teknologi, media, dan e-commerce seperti Tokopedia. BP Jamsostek mengaku telah mencairkan 892 ribu klaim Jaminan Hari Tua (JHT) senilai Rp 13,55 triliun karena peserta kehilangan pekerjaan, baik lantaran mengundurkan diri atau terkena PHK.

Boleh jadi, sebagian dari mereka yang tersisih dari sektor formal akan berusaha mempertahankan hidup dengan bekerja di sektor informal. Secara ketegori, bekerja di sektor informal, memiliki status berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/pekerja keluarga/tidak dibayar, pekerja lepas, dan pekerja keluarga/tidak dibayar. Umumnya, mereka tak lagi memiliki jaminan sosial, terutama jaminan sosial ketenagakerjaan. Laporan BP Jamsostek pada 2022 menyatakan, peserta aktif dari kelompok pekerja bukan penerima upah (PBPU) hanya mencakup sekitar 5,19 persen dari total pekerja informal.

Dengan begitu, gelombang PHK tidak hanya menjadikan para pekerja kehilangan pekerjaan, tapi juga kehilangan perlindungan atas risiko-risiko yang dapat mereka hadapi di kemudian hari. Padahal, sesuai konstitusi, jaminan sosial merupakan hak dasar yang harus dimiliki setiap warga negara. Jaminan sosial dapat menjamin keamanan hidup di saat-saat kritis seperti sakit, kecelakaan kerja, atau usia lanjut, atau kehilangan pekerjaan lagi. Fenomena bahwa akan semakin banyak orang bekerja di sektor informal yang tak terpapar oleh jaminan sosial akan menjadi ancaman bagi kehidupan bermasyarakat di Indonesia.

Bukan apa-apa, ketika semakin banyak orang bekerja di sektor informal, maka itu kian memperlebar ketimpangan. BPS (2023) menyatakan, rata-rata pendapatan pekerja sektor informal hanya Rp. 1,86 juta per bulan. Padahal, untuk pekerja formal, rata-rata upah minimum provinsi (UMP) tahun 2024 mencapai Rp 3,05 juta per bulan.

Agnello dkk. (2017) menyatakan, ketimpangan berbahaya bagi stabilitas politik. Di Cili, Amerika Selatan, Kirsten Sehnbruch dan Sofia Donoso (2020) menyatakan, ketimpangan ekonomi telah mendorong demonstrasi raksasa di tahun 2019 yang memaksa Presiden Sebastian Pinera turun secara memalukan.

Kalau sudah begini, maka ketenangan orang yang bekerja di sektor informal perlu menjadi perhatian. Mereka harus memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan agar bisa lebih kuat menghadapi tantangan di masa depan. Jadi, upaya memperluas kepesertaan jaminan sosial hingga ke kalangan pekerja informal harus menjadi prioritas yang tak boleh ditawar. Para bekas pekerja formal yang menjalani debutnya di sektor informal dapat menjadi sasaran pertama mengingat pemahaman dan pengalaman mereka tentang manfaat jaminan sosial bisa memantik minat mereka untuk kembali menjadi peserta jaminan sosial.

Selain itu, kampanye terus-menerus di kalangan pekerja sektor informal juga perlu digalakkan. Para pekerja informal harus dibuat tertarik pada jaminan sosial dengan membuat prosedur pendaftaran tidak lagi dianggap rumit. Di sisi lain, pengusaha di sektor informal juga perlu didorong, dan diberi insentif, untuk mematuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri dan karyawannya ke dalam program jaminan sosial.

Dorongan menjadi peserta jaminan sosial juga perlu mencakup mereka yang bekerja sebagai mitra platform usaha berbasis internet. Umumnya mereka ini menjadi pengemudi ojek online (ojol). Pekerjaan ini juga banyak dilakoni oleh bekas pekerja formal yang mengalami PHK. Masalahnya, definisi hubungan kerja antara pengemudi ojol dan penyedia platform masih kurang jelas sehingga menyulitkan pekerja menjadi peserta jaminan sosial ketenagakerjaan.

Sebagai pekerja lepas, pengemudi ojol dianggap bekerja dalam skema kemitraan setara dan bukan hubungan kerja yang bersifat formal yang memiliki unsur upah, perintah, dan pekerjaan. Pendapatan ojol dianggap bukan upah melainkan komisi. Platform berkilah tidak ada unsur perintah tetapi hanya pelaksanaan perjanjian kerja di antara mitra setara, sehingga tidak ada pula unsur pemberian kerja dari perusahaan kepada pekerja. Pemerintah perlu menyusun regulasi yang lebih jelas untuk menghindari ruang abu-abu semacam itu sehingga pekerja ojol juga dapat memiliki jaminan sosial.

Lalu, insentif apa yang bisa diberikan pemerintah untuk menggenjot kepesertaan jaminan sosial dari kalangan pekerja informal? Tidak bisa tidak, pemerintah hatus mempertimbangkan benar program penerima bantuan iuran (PBI) jaminan sosial ketenega-kerjaan, sebagaimana PBI untuk BPJS Kesehatan. Memang itu tidak mudah. Tapi, mengingat besarnya manfaat yang bisa didapat secara jangka panjang, pemerintah perlu serius mempertimbangkan hal itu.

Jangan lupa, tak lama lagi, usia penduduki Indonesia akan menua. Pada 2045 mendatang, bonus demografi sudah menjadi sejarah. Warga lanjut usia (60 tahun ke atas) akan mencapai 20 persen dari total populasi. Jangan sampai, kondisi mereka nanti mengenaskan karena masa kerjanya di sektor informal tak dilindungi jaminan sosial. Jangan sampai 100 tahun Indonesia merdeka dihuni kaum jompo melarat dan anak-anak muda yang terbebani menghidupi orang tuanya.

Jaminan sosial, selain merupakan hak dasar warga negara, juga merupakan bagian dari perlindungan sosial. UNDP (2021) menegaskan, peningkatan perlindungan sosial akan bermanfaat besar bagi produktivitas dan pertumbuhan jangka panjang, sehingga mendorong kesejahteraan dan warga bisa menjalani hidup tentang hingga hari tua kelak.

*Peneliti SigmaPhi Research

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement