REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra*
Belakangan ini, segelintir pengamat hingga akademisi, bahkan media mengagung-agungkan peringkat militer Indonesia. Tentara Nasional Indonesia (TNI) dianggap sebagai nomor 13 yang terkuat di dunia.
Rujukannya tidak lain tak bukan adalah Global Fire Power (GFP). Parahnya, hal itu diamplifikasi kalangan awam, termasuk warganet yang membanggakan peringkat TNI di urutan ke-13 sebagai yang terkuat di dunia.
Di sinilah akar masalahnya. GFP bukannya laman pemeringkat yang kredibel. Laman tersebut hanya mengumpulkan seluruh alat utama sistem senjata (alutsista) militer di dunia dan tentara aktif, plus cadangan yang bisa dikerahkan sewaktu-waktu, untuk dijadikan bahan indeks menempatkan kekuatan militer sebuah negara.
Dikutip dari laman resmi, GFP menjelaskan cara mendata kekuatan militer negara di dunia berdasarkan 60 faktor. Di antaranya kuantitas unit militer, kondisi keuangan, hingga kemampuan logistik dan geografi. Data itu kemudian dikumpulkan dan dianalisis untuk menentukan skor Power Index.
Indonesia pun masuk dalam urutan 13 dunia sebagai negara paling kuat secara militer dan nomor satu di Asia Tenggara. Apakah itu benar?
Sayangnya, GPF tidak merujuk bagaimana kondisi alutsista, kesiapan tempur prajurit, maupun luas wilayah sebuah negara. Pun usia sebuah alutsista yang berbeda antarnegara hanya dihitung secara jumlah.
Situs tersebut hanya membuat rangking bahwa pemilik alutsista dan jumlah tentara paling banyak, berpeluang besar menduduki peringkat atas. Di sinilah problem yang tidak dipahami awam. Mereka dengan gembira langsung menelan informasi itu mentah-mentah. Peringkat GFP malah dijadikan bahan propaganda jika militer Indonesia termasuk yang terkuat di dunia.
Benarkah semua itu? Mari kita buat ilustrasi sederhana dengan contoh ekstrem. Misalnya, Singapura yang merupakan negara kota memiliki 40 unit jet tempur F-15SD. Pesawat tempur jenis ini termasuk canggih di kelasnya. Ketika Indonesia baru memesannya, negeri jiran tersebut sudah mengoperasikannya sejak beberapa tahun lalu.
Adapun tulang punggung jet tempur TNI AU adalah F-16 Fighting Falcon yang dibeli pemerintah RI pada akhir 1980-an. Saat ini, sebagian F-16 sudah menjalani upgrade melalui program Falcon Star-Enhanced Mid Life Update (eMLU). Sehingga, jet F-16 dan Sukhoi Su-27 dan 30 yang kerap bermasalah menjadi frontman dalam menjaga ruang NKRI.
Secara kasat mata, dengan jumlah wilayah Singapura dengan RI yang luasnya berbeda jauh maka hal itu jelas tidak pas jika kedua negara untuk disandingkan. Namun, jika dikumpulkan semuanya maka jumlah armada (jet tempur, pesawat angkut dan latih, serta helikopter) TNI AU lebih banyak dibandingkan dengan AU Singapura (RSAF).
Dengan kenyataan begitu maka kekuatan TNI AU dianggap jauh melebihi RSAF, yang wilayahnya jelas semuanya terkover armada jet tempurnya. Padahal, dengan kondisi seperti sekarang, armada TNI AU belum bisa menjangkau seluruh wilayah udara NKRI.
Belum lagi kalau membicarakan kesiapan tempur armada ketika harus menjalani misi tertentu. Pun persoalan teknis lainnya, seperti ketersediaan avtur sebagai penunjang pesawat bisa terbang untuk sekadar latihan rutin belum diperhitungkan. Hal-hal semacam itu jelas luput dari situs GFP.
Karena itu, jika ada peneliti, analisis, atau dosen mencoba menganalisis masalah pertahanan RI menggunakan GFP, dapat dipastikan orang itu tidak paham dengan apa yang ditulisnya. Sebaiknya pembaca tidak percaya dengan hasil analisisnya. Karena yang bersangkutan sudah salah dalam menggunakan tolok ukur untuk menilai kekuatan pertahanan sebuah negara, khususnya RI.
Mantan Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Letjen (Purn) Johannes Suryo Prabowo pernah mengingatkan, pemeringkatan militer di GFP tidak benar. Dia menegaskan, situs itu tidak bisa dipercaya. Menurut Suryo, banyak variabel untuk mengukur kekuatan militer sebuah negara.
Bahkan, ia menekankan, jika alutsista yang digunakan TNI bukan produksi dalam negeri maka kekuatan militer belum bisa dikatakan kuat. Dia juga tidak percaya, dengan penilaian Kopassus termasuk pasukan elite nomor tiga di dunia.
"Setiap tahun selalu ada pujian dan penilaian untuk TNI. Kita perlu waspada maksud dibalik pemberitaan itu," kata mantan Wakil KSAD itu melalui akun X beberapa tahun lalu.
Peneliti The International Institute for Strategic Studies (IISS) di Singapura, Evan Laksmana pernah mengingatkan, peringkat kekuatan militer yang merujuk data FFP Index tidak berguna sama sekali. "Itu hanya website hiburan ala BuzzFeed," ucapnya melalui akun X.
Menurut dia, metode dan data GFP tidak jelas dan secara umum kekuatan militer setiap negara tidak bisa dirangking. Patokannya, military power is comparative dan context-bound (hanya bagus atau tidak dalam konteks skenario tertentu dan dihadapkan dengan lawan tertentu). Keduanya, kekuatan militer bukan hanya hitung kacang jumlah alutsista.
Kemudian, efektivitas dan kesiapan militer harus dilihat dari berbagai indikator nonalutsista. "Media harus berhenti 'melaporkan' ranking-rangking tersebut. Pembuat kebijakan yang memakai ranking-rangking tersebut juga sebaiknya setop," ucap Evan.
Dengan berbagai argumen solid tersebut, masih adakah yang percaya TNI sebagai kekuatan militer nomor tiga di dunia?
*Jurnalis Republika sekaligus penulis 'TNI dan Dinamika Organisasi'