Kamis 16 May 2024 06:20 WIB

Mengenang Sikap Legowo Partai Idaman

Mayoritas parpol mengandalkan satu tokoh sentral yang tidak dapat digantikan.

Ketua Umum DPP Partai Idaman, Rhoma Irama.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua Umum DPP Partai Idaman, Rhoma Irama.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ziyad Falahi*

Idaman (Islam Damai dan Aman) merupakan nama partai politik yang diketuai oleh Raja dangdut Haji Rhoma Irama. Beberapa pihak mengatakan, langkah untuk mendirikan partai politik baru merupakan senjata pamungkas Bang Haji pascakegagalan menjadi calon presiden (capres) tahun 2014.

Namun, keputusan mendirikan partai bernapaskan Islam membuat Bang Haji, sapaan akrabnya, layak optimistis mampu merebut suara dari partai Islam lain, yang sedang dilanda jalan buntu islah politik. Serangkaian deadlock terjadi, mulai dari dualisme di tubuh PPP dan Golkar, lalu dilanjutkan oleh prestasi menteri olahraga Imam Nahrawi dari PKB membuat suara partai Islam yang lain berpotensi berpindah ke Partai Idaman.

Namun tantangan Partai Idaman sejatinya bukan hanya bagaimana meraih suara sebanyak banyaknya. Namun, yang terpenting adalah menciptakan Islam yang damai dan aman sebagaimana judul partainya.

Menetralkan Islamofobia

Seringkali, beberapa pihak tertentu mengimbau kepada partai Islam untuk tidak lagi memakai simbol agama dengan vulgar dengan asumsi "Indonesia bukan negara Islam". Namun jika membaca sejarah dengan saksama, gagasan negara harus murni terpisah dari agama lahir dari sebuah peristiwa berdarah, yakni perang tiga puluh tahun di Eropa pada 1618-1648.

Perang tersebut lahir dari konflik agama antara Roma dan kaum lutherian-calvinis. Pada akhirnya melalui perjanjian Westphalia pada 1648, disepakati agama harus terlepas dari urusan kenegaraan. Kedaulatan sebuah negara diakui atas dasar mutual recognition antara raja dari masing masing negara, dan bukan diakui atas dasar keyakinan atau iman agama.

Melihat fakta sejarah era Westphalia maka terlihat bahwa memisahkan agama dan politik didasarkan pada trauma sejarah di Eropa, bukan di Indonesia.  Padahal di Indonesia, gerakan keagamaan, seperti Sarekat Islam turut berjasa dalam memperebutkan kemerdekaan dari Belanda. Trauma Inilah yang melestarikan sikap negative thinking terhadap politik agama.

Sehingga setiap gerakan politik yang berasazkan agama senantiasa disalahtafsirkan sebagai upaya membentuk negara dan imperium agama  sebagaimana abad pertengahan. Masih tengiang di telinga, ungkapan beberapa pakar politik lembaga survei pada pemilu lalu.

Konon diprediksi, partai yang berasazkan Islam tidak akan berbicara banyak dalam pemilu. Bahkan beberapa partai Islam diprediksi tidak lolos parliementary treshold. Namun realitanya justru terbalik, partai-partai Islam yang sempat divonis gagal masuk parlemen, seperti PKS, PPP, PKB, dan PAN justru memperoleh suara dua kali lipat dari prediksi semula.

Bahkan jika diakumulasi, suara akumulasi partai Islam pada Pemilu 2024 bertambah jika dibandingkan dengan dua pemilu sebelumnya. Terlepas dari pandangan sinis bahwa para capres, seperti Rhoma Irama hanya sekadar melakukan pencitraan untuk mendekati 80 persen masyarakat Indonesia, yang notabene adalah umat Islam.

Namun fenomena ini sekaligus menunjukkan bahwa Islam sebagai gerakan politik, masihlah tetap relevan. Terlebih, Bang Haji bukanlah politisi baru. Bahkan, pengalaman politik beliau bisa dibilang sangat panjang. Selain berpengalaman, beliau dikenal kritis terhadap pemerintahan Soeharto semasa berada di PPP.

Menimbang hal tersebut, Rhoma Irama sejatinya memiliki nilai marketing, sekaligus basis massa hingga ke akar rumput sebagaimana Haji Zainuddin MZ di Partai Bintang Refromasi. Jarang terdapat politisi dari partai Islam yang memiliki popularitas sekaligus basis massa fanatik sekaliber Bang Haji untuk sekarang. Namun wajar jika nama besar Haji Rhoma tidak terlalu kuat untuk menjadi figur tunggal di Partai Golkar.

Jalan bagi regenerasi

Di tengah gairah munculnya partai baru, seperti Partai Buruh, Partai Kebangkitan Nusantara dan Partai Ummat, muncul skeptisisme mengenai pembaharuan politik secara substansial. Dikhawatirkan partai baru hanya memperbaiki bendera dan slogannya saja, namun tidak pada memperbaiki kebijakan dan pembangunan.

Seperti diketahui, rata rata partisipasi pemilih senantiasa mengalami penurunan dari pemilu ke pemilu. Sebuah kondisi yang mengkhawatirkan bagi demokrasi Indonesia jika pemilu senantiasa dimenangkan oleh kaum golput. Namun animo masyarakat kembali mengalami peningkatan setelah nama politikus muda dan baru, seperti Joko widodo masuk dalam bursa pemilihan umum.

Dengan kata lain, sejatinya masyarakat mengkehendaki adanya nama-nama baru yang muncul. Namun realitanya sekarang, para politisi muda tampil hanya sebagai cheersleaders, bukan menjadi leaders. Mayoritas partai politik mulai PDIP, Gerindra, Perindo, Nasdem senantiasa mengandalkan satu tokoh sentral yang tidak dapat digantikan.

Beberapa partai, seperti Golkar dan PPP memang tidak mengandalkan figur tunggal, tapi juga tidak memiliki figur muda yang berpengaruh. Praktis hanya dua partai, yakni PKB dan PKS yang banyak diisi oleh nama nama muda. Tetapi sekarang, keduanya harus bersaing dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Dengan kata lain, Partai Idaman yang hanya mengandalkan pada figur Bang Haji semata, tentu hanya memberi perubahan artifisial. Oleh karena itulah, dalam rangka memberikan harapan jangka panjang bagi Indonesia, sikap legowo Haji Rhoma untuk tidak lagi memperkuat status profilnya dalam Partai Idaman adalah isnpirasi bagi lahirnya regenerasi signifikan.

Oleh karena itu, yang dibutuhkan Indonesia bukan sekadar partai baru, namun juga nama baru. Jangan terjebak dengan menyamaratakan istilah antara kaderisasi dan regenerasi. Padahal, kedua istilah tersebut berbeda makna.

Kaderisasi partai politik di Indonesia cenderung bersifat top down, masih mengadopsi cara Orde Baru. Kaderisasi tak lain adalah bentuk feodalisme baru yang bertujuan melanjutkan status quo. Sebaliknya, regenerasi adalah upaya memotong generasi lama dengan generasi baru tampil sebagai pemegang otoritas.

Kaderisasi tidak lebih sebagai mesin politik bagi politisi tua untuk meraih dukungan bagi poltisi muda. Konsekuensinya, partai politik tak ubahnya seperti perusahaan swasta yang bisa didirikan dan dibubarkan sesuai kehendak pemilik

Dengan kata lain, publik telah jenuh terhadap nama nama lama yang hingga kini masih mendominasi dalam bursa pemilihan umum.

Apalagi konflik di internal kabinet dengan trauma orang orang bermental toxic, di mana politik semakin parah akibat perekonomian yang tidak melampaui target sejak dua kali era Presiden Jokowi. Untuk itulah, muncul siasat, seperti Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang kontroversial dan mengundurkan pelaksanaan pilkada dengan harapan kabinet antitoxic dapat terealisasi.

Dengan kata lain, partai politik sekarang ibarat mesin yang kehabisan bahan bakarnya. Dengan demikian, mari kita menunggu sepak terjang partai baru dalam memperbaiki Indonesia.

*Dosen UPN Veteran Jakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement