Ahad 12 May 2024 11:13 WIB

Amicus Curiae dalam Dissenting Opinion 

Amicus Curiae jadi hak setiap orang yang berkepentingan dalam perkara tertentu.

Sidang Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Sengketa Pilpres
Foto: Republika
Sidang Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Sengketa Pilpres

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Abdul Fickar Hadjar, Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti

Baca Juga

Persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Calon Presiden 2024 yang baru baru ini digelar di Mahkamah Konstitusi meskipun sudah diputuskan dengan menolak permohonan Pemohon para capres dan cawapres yang kalah (pasangan Anis Baswedan-Muhaemin Iskandar & Ganjar Pranowo-Moh Mahfud MD), meninggalkan preseden bagi perkembangan dunia peradilan Indonesia. Dua institusi hukum acara peradilan dengan terminology yang jarang terdengar muncul mendominasi diskursus di dalam masyarakat. 

Terminologi itu Amicus Curiae dan Dissenting Opinion yang dalam terjemahan bebas sering disebut sebagai Friends of the Court atau Sahabat Peradilan dan Pendapat Berbeda. Apa sebenarnya pengertian dua terminologi ini, dan apakah ada aturan yang mendasarinya? Karena prinsip dalam hukum acara itu sangat rigid: “apa yang diatur boleh dan yang tidak diatur tidak boleh. 

Prinsip ini jelas tujuannya agar tidak terjadi “anarchisme” (semaunya sendiri) dalam beracara di peradilan, tentu saja juga untuk menjaga kepastian hukum dalam tujuan menciptakan keadilan yang bermanfaat dalam kehidupan bersama.

Hukum Acara itu mekanisme yang hadir dalam berbagai peradilan perkara sesuai jenisnya, ada KUHAP untuk peradilan pidana, ada HAPer untuk peradilan perdata yang sampai saat ini Indonesia masih menggunakan HIR (Het Indische Regeling) hukum acara perdata peninggalan kolonialisme Belanda, ada HAPTUN untuk peradilan tata usaha negara (PTUN) dan Peraturan MK untuk acara di Mahkamah Konstitusi. 

Dalam praktek semua jenis peradilan dikenal satu bagian acara yang sangat penting kedudukannya karena menentukan babak akhir dari sebuah perkara, yaitu Acara Pembuktian. Dalam konteks pembuktian ini dikenal ada salah satu alat bukti yang bersifat netral tidak berpihak. Jika alat bukti keterangan saksi, alat bukti surat dan alat bukti keterangan para pihak (Penggugat & Tergugat dalam perkara perdata, Pemohon & Termohon dalam dalam perkara PTUN atau keterangan Tersangka/ Terdakwa dan pendapat Jaksa Penuntut Umum dalam perkara pidana) adalah alat bukti yang bersifat subjektif karna itu dengan sendirinya tidak netral karena diajukan untuk memperkuat dalil dalil dan kepentingan para pihak. Satu-satunya jenis alat bukti yang netral adalah Keterangan Ahli.

Keterangan Ahli diberikan berdasarkan kapasitas dan keahlian seseorang atau otoritas sebuah institusi. Keterangan diberikan sesuai kaidah keilmuan yang dikuasai karena itu dengan sendirinya tidak memihak alias netral dan objektif. Dan untuk menjaga objektifitasnya, hukum acara mewajibkan seorang ahli baik secara pribadi maupun mewakili institusi wajib disumpah agar terhindar dari keterangan palsu. 

Keterangan palsu diperadilan dapat dikualifisir sebagai kejahatan atau tindak pidana yang diancam hukuman (Pasal 242 KUHPidana ancaman 7 tahun penjara). Keterangan seorang ahli itu pendapat, tetapi jika pendapatnya mengada-ada tanpa didukung oleh dasar hukum atau dasar teoritis keilmuan yang objektif tidak tertutup kemungkinan dilakukan penuntutan pidana. 

Dalam konteks objektivitas itulah Amicus Cuirae dimaksudkan meskipun dari pribadi-pribadi yang subjektif, tetapi subjektifitasnya telah dilandasi oleh kepentingan objektifnya. Jadi Amicus Cuirae itu dapat disejajarkan dengan keterangan Ahli karena adanya kepentingan objektif lain yang mungkin tidak terlihat oleh peradilan, karena itu disebut sebagai sahabat peradilan (friends of the court).

Amicus Curiae bias muncul dalam sengketa hukum apapun tidak terkecuali Mahkamah Konstitusi (MK), bahkan  meski tidak diatur dalam peraturan perundangan setingkat undang-undang, secara progresif telah mengaturnya dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (Peraturan MK No.06/PMK/2005) yang didalam pasal 14 telah mendefenisikan Amicus Cuirae ini sebagai pihak terkait, yaitu pihak yang karena kedudukannya, tugas pokok dan fungsinya “perlu didengar keterangannya” atau “pihak yang didengar ketrerangannya, dan mendudukan posisinya  sebagai ad informandum. 

Dan ini menunjukan bahwa MK telah mengadopsi konsepsi tentang Amicus Curiae sebagai hukum acara  yang dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya mengadili pengujian undang-undang atas Konstitusi UUD 45, Pembubaran Partai Politik, menguji alasan pemakzulan Presiden dan wakil Presiden dan tentu saja dalam perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) sebagaimana yang baru baru ini disidangkan.

Amicus Cuirae sangat mungkin menjadi pendapat lain dari hasil permusyawaratan hakim, yang jika “pendapat lain” itu diberikan oleh para hakim yang mengadili perkara maka ia akan disebut dengan terminologi yang lain yaitu Dissenting Opinion (DO). Sebagai hukum acara, Amicus Curiae meski tidak diatur secara eksplisit dalam ketentuan pasal undang-undang tersendiri, sebagai bagian dari hukum acara peradilan, pada umumnya dikaitkan dan didasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan : “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”  Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila mekanisme Amicus Curiae  ini dapat dipergunakan dalam system peradilan di Indonesia secara menyeluruh.

Prinsip Dasar Amicus Curiae

Pertanyaan berikutnya adakah sandaran prinsipi (asas-asas) apa yang menjadi dasar bagi kehadiran lembaga “Amicus Curiae” dalam sistem peradilan Indonesia? Dalam konteks hukum acara pidana, pa;ing tidak ada dua asas (prinsipi) yang dapat ditarik menjadi sandaran, yaitu “asas keseimbangan” dan “asas praduga tak bersalah”. 

Asas Keseimbangan menegaskan bahwa dalam setiap penegakan hukum harus berlandaskan prinsip keseimbangan yang serasi antara perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia atau Hak Asasi Manusia (HAM) di satu sisi dengan perlindungan terhadap kepentingan dan keteriban dalam masyarakat atau kepentingan umum. Ini berarti bahwa dalam melaksanakan fungsi dan wewenangnya, aparat penegak hukum (Kepolisian/penyidik, penyelidik, Kejaksaan/penuntut umum dan Hakim) tidak boleh semata-mata berorientasi pada kekuasaan dan kewenangannya. 

Aparat penegak hukum harus selalu berpikir dan menempatkan diri dalam suatu kerangka acuan penegakan hukum yang didasarkan pada keseimbangan yang serasi antara penegakan dan perlindungan kepentingan umum dengan kepentingan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Demikian halnya, asas Praduga Tidak Bersalah (presumption of innocent) yang dapat ditemukan dalam penjelasan umum butir 3 huruf (c) KUHAP menegaskan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap”. 

Asas ini juga diatur dalam pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman Nomor: 48 Tahun 2009 sebagai dasar penyelenggaraan peradilan apapun di Indonesia. Ditinjau dari segi teknis juridis ataupun dari segi teknis penyidikan kewenangan penegak hukum ini merupakan penerapan asas acquisitoir yaitu prinsip yang menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan adalah sebagai subyek bukan sebagai obyek pemeriksaan. 

Tersangka/Terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat, martabat dan harga diri. Sedangkan obyek pemeriksaan dalam asas acquisitoir adalah kesalahan atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa, maka ke arah itulah pemeriksaan harus ditujukan.

Sebagai jaminan ditegakkan asas praduga tak bersalah, maka KUHAP telah memberikan jaminan yang tegas mengatur tentang hak-hak tersangka. Dalam konteks Amicus Curiae ini hak tersangka yang paling relevant adalah Pasal 52 KUHAP yang menegaskan bahwa: ”Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka/terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”.  

Konsekuensinya Tersangka dalam tingkat penyidikan harus berada dalam keadaan bebas dari tekanan baik secara phisisk maupun perbal. Oleh karena itu pembuat undang-undang melengkapi hak-hak tersangka untuk menjamin kebebasan tersangka dalam memberikan keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 51 sampai dengan Pasal 68 KUHAP yang mengatur tentang hak-hak Tersangka/Terdakwa dalam system peradilan pidana Indonesia.

Jadi sebagaimana didefenisikan oleh Peraturan MK No.06/PMK/2005) yang mendefenisikan Amicus Cuirae ini sebagai pihak terkait, kehadirannya, maka Amicus Curiae menjadi hak setiap orang yang berkepentingan dalam satu kasus atau perkara tertentu yang mau tidak mau juga harus menjadi pertimbangan Majelis Hakim pemutus perkara, karena itu sewajarnya kehadiran dan ketidak hadirannya dalam pertimbangan sebuah putusan peradilan harus didasarkan pada pertimbangan hukum tertentu yang juga termuat dalam putusan. 

Bagaimana dengan “nasib Amicus Curiae” pada perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2024 ini? Kita menyaksikan dengan jelas meski tidak dibahas secara khusus dalam pertimbangan hukum yang memutus penolakan para pemohon. Pada kasus ini nampaknya Amicus Curiae telah diadopsi atau teradopsi oleh  pendapat berbeda atau Dissenting Opinion dan Concurring Opinion (argumentasi berbeda yang tidak berimbas pada amar putusan) yang dikemukakan oleh tiga hakim Mahkamah Konstitusi yang menerima permohonan. 

Karena itu diharapkan para cendekia terus memberikan Amicus Curiae di peradilan apapun terutama pada perkara perkara di Mahkamah Konstitusi yang sejatinya selalu memperdebatkan nasib kepentingan umum sebagian besar rakyat Indonesia.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement