Oleh : Dr. H. Jazuli Juwaini, MA, Ketua Fraksi PKS DPR RI
REPUBLIKA.CO.ID, Idhul Fitri kembali menyapa bangsa Indonesia. Momentum idhul fitri kali ini terasa istimewa karena tiga tahun lebih bangsa kita berjuang melawan pandemi covid 19 yang membuat perayaan idhul fitri tiga tahun terakhir terasa sepi karena kebijakan pembatasan sosial. Pada Idhul Fitri 1444 hijriah kali ini pemerintah telah mencabut status PPKM sehingga warga masyarakat bisa leluasa merayakan lebaran bersama keluarga.
Kita bisa menjalani kembali tradisi lebaran, mudik atau pulang kampung, dan silaturahim yang merupakan modal sosial kita bersama sebagai bangsa yang kekeluargaan. Tradisi lebaran dan silaturahim di hari idhul fitri mengokohkan semangat kebersamaan, kerja sama, gotong royong, kepedulian, saling bantu, toleransi dan tak kalah penting semangat solidaritas sosial di tengah-tengah masyarakat.
Tradisi perjumpaan dan saling maaf memaafkan bisa menepis jarak, syak wasangka, bahkan konflik yang kerap mengganggu harmoni, intgrasi, dan soliditas masyarakat. Perjumpaan dan maaf memaafkan bisa menjadi sarana titik temu di antara masyarakat dan elemen bangsa untuk mengokohkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Idhul Fitri dan Ramadhan
Apa hakikat idhul fitri atau yang dalam tradisi kita disebut hari raya lebaran? Kala pertanyaan itu disampaikan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib karomallahu wajhahu, beliau menjawab “Hari ini adalah hari raya bagiku, kemarin juga demikian, dan setiap hari ku tak bermaksiat pada Allah maka hari tersebut adalah hari raya untukku.”
Dalam sebuah riwayat dikatakan “Hari Raya bukanlah untuk mereka yang berpakaian yang bagus, tetapi lebaran yang diinginkan adalah saat pengampunan dosa dari Allah Ta'ala.” Di antara para ulama, ada juga yang mengatakan, “Bukanlah hari raya itu untuk mereka yang mempercantik diri dalam berpakaian dan berkendaraan, tetapi hari raya yang diharapkan adalah ketika seseorang diampuni oleh Allah subhanahu wa Ta'ala.”
Idhul fitri bisa dimaknai secara beragam. Ia bisa bermakna hari raya fitrah atau hari kembali kepada fitrah. Kerap juga dimaknai sebagai hari kemenangan. Idhul fitri juga hari dimana yang berpuasa kembali berbuka. Momentum ini bisa menyadarkan kita semua bahwa hakikatnya setiap manusia itu memiliki fitrah untuk tunduk kepada kebenaran dan kebaikan—serta menjauhi maksiat dan keburukan—yang dibimbing oleh nilai-nilai ketuhanan (agama) yang dengannya diharapkan muncul kebajikan dan kebijaksanaan.
Idhul fitri sendiri tidak bisa dilepaskan dari Ramadhan. Jika diibaratkan universitas, idhul fitri adalah fase kelulusan mahasiswa dari universitas. Akan tetapi setelah lulus, eks mahasiswa akan berhadapan dengan tantangan dari universitas lain yang lebih besar dan kompleks yaitu universitas kehidupan.
Ibadah ramadhan hakikatnya merupakan universitas yang mendidik dan melatih dimensi manusia secara paripurna baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual. Pertama, universitas ramadhan melahirkan manusia dengan intelektualiatis yang baik. Umat Islam selama sebulan penuh banyak mendapat asupan ilmu yang melimpah melalui berbagai program dan platform. Seluruhnya tentu saja menambah pengetahuan dan meningkatkan kecerdasan intelektual kita.
Belajar dan berilmu adalah perintah agama yang pertama dalam risalah Islam. Iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq. Bacalah dengan menyebut nama Tuhan yang menciptakanmu (QS. Al-Alaq : 1-2). Perintah ini bertalian dengan kemuliaan seorang hamba, yakni bahwa Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu (QS. Al-Mujahadah : 11). Maka seorang muslim yang baik harus senantiasa membekali diri dengan ilmu. Ilmu apa saja tentang kehidupan dan terlebih ilmu tentang agama. Pun, kemajuan sebuah peradaban ditopang oleh ilmu pengetahuan.
Kedua, universitas ramadhan mengasah dimensi emosional manusia dan mengarahkan pada kebaikan, pada ketanangan (muthmainnah). Bukan emosi yang condong pada angkara murka dan keserakahan. Dalam dimensi sosial kecerdasan emosi ditunjukkan dengan kemampuan untuk menumbuhkan empati kepada sesama sehingga terwujud semangat kepedulian dan solidaritas sosial.
Ramadhan mengasah kepekaan sosial. Saat berpuasa seorang muslim merasakan kondisi lapar dan dahaga, tapi memilih untuk menahannya. Lapar dan dahaga menjadi menjadi penghubung empati kita untuk merasakan saudara-saudara kita yang kesulitan ekonomi dan tidak mampu sekadar untuk makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, atau mereka yang sedang terkena bencana di berbagai wilayah.
Selama bulan Ramadhan kita juga dianjurkan memperbanyak sedekah dan membayar zakat. Ini dimensi agama yang tersambung langsung dengan kemanusiaan. Bahwa, Islam mengajarkan kita untuk terus berbagi, mencari titik keseimbangan kehidupan. Bahwasannya kekayaan itu tidak boleh dinikmati sendiri. Ada hak orang lain dalam setiap harta kita
Islam mengajarkan kita untuk bekerja keras, menjadi pribadi yang kaya nan bermartabat, yang dengan harta itu kita bisa berbagi untuk sesama. Kita bisa memiliki kekuatan untuk mengentaskan orang lain dari kemiskinan. Dengan kekayaan itu, kita bisa membantu berbagai program pemberdayaan bangsa ini.
Seluruh pengalaman di atas melahirkan sensitivitas sosial dan meneguhkan solidaritas sosial. Sehingga selapas Ramadhan sudah semestinya kita semakin aktif membangun solidaritas sosial di tengah-tengah masyarakat. Hal ini sesuai perintah Allah SWT, "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan." (QS. Al-Maidah : 2).
Tidak pekerjaan yang berat jika dilakukan bersama-sama, karena pada hakikatnya manusia itu lemah jika sendiri, tetapi menjadi kuat dengan berjamaah. Oleh karena itu Rasulullah SAW mengatakan ...."Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya seperti satu bangunan yang tersusun rapi. Sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.” Dan beliau merekatkan jari-jemarinya." Rasullah SAW juga memotivasi kita untuk hidup bermanfaat bagi orang lain karena sebaik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya, khairunnas anfauhum linnas.
Ketiga, universitas ramadhan mengasah dimensi spiritual manusia yaitu dengan meningkatkan kualitas iman dan takwa. Puasa ramadhan adalah syariat yang dibebankan kepada orang-orang beriman yang tujuan akhirnya untuk mencapai derajat takwa (QS. Al-Baqarah : 183).
Takwa adalah pucak kualitas kemanusiaan sehingga ia menjadi parameter kemuliaan seorang hamba di sisi Allah. "Inna akramakum 'indallahi atqaakum. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Orang yang bertakwa tercermin dalam perilakunya sehari-hari. Orang yang berpuasa selalu menjaga integritas (kejujuran, amanah, dan menepati janji) karena selalu merasa diawasi oleh yang maha pengawas. Kata Nabi, “Anta’budallah ka annaka taraah, fa’illam takun taraah, fa’innahu yaraak. Engkau mengabdi kepada Allah seperti engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Bukhari).
Puasa adalah ibadah yang sir, hanya kita dan Allah yang tahu. Bisa saja kita mengatakan berpuasa di mulut meski kita sedang tidak berpuasa atau batal puasa. Kita memilih tetap berpuasa karena Allah Maha Mengetahui dan kita berpuasa hanya untuk Allah. Jika perilaku ini termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari niscaya kita tidak akan berbuat curang, culas, dan korup.
Orang yang berpuasa juga selalu disiplin dan mampu menata diri serta menata waktu dengan baik. Puasa mengajarkan kita untuk menepati waktu dengan disiplin. Saat sahur kita berhenti makan ketika datang fajar dan saat maghrib tiba kita bersegera untuk makan dan minum. Negara-negara maju punya karakter disiplin terhadap waktu dan tanggung jawab.
Selanjutnya orang yang berpuasa senantiasa tawakal kepada Allah. Pribadi yang memiliki keimanan dan ketakwaan yang kokoh senantiasa meyakini bahwa Allah melihat kesungguhan dan kerja keras hamba-Nya. Ia menyerahkan hasilnya kepada Allah seraya berdoa agar Allah meridhai.
Dan terakhir, orang yang berpuasa senantiasa menjaga diri dari perkataan dan perbuatan yang tidak berguna. Puasa melatih diri untuk mencegah semua perkataan dan perbuatan yang membatalkan dan mengurangi pahala puasa. Sebaliknya menyibukkan diri dengan perbuatan yang bernilai ibadah dan bermanfaat bagi orang lain (maslahat).
Menjaga Momentum Idhul Fitri
Kembali kepada pesan Sayyidina Ali ra bahwa idhul firtri sejatinya bisa berlaku sepanjang waktu sepanjang kita menjaga ketaatan kepada Allah dan menjauhi maksiat. Allah SWT berfirman, "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan," (QS. Al-A’raf : 97). Maka selepas Ramadhan kita harus terus memperkuat komitmen terhadap kebenaran dan kebaikan yang bersumber dari keimanan kepada Allah, agar kita pantas mendapatkan keberkahan Allah SWT : Indonesia menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.