REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Peneliti Islam di Betawi dan Jakarta, Redaktur Mediaislam.id
Masjid Jakarta Islamic Centre (JIC) setelah terbakar dan roboh, tidak lagi memiliki kubah, malah menjadi daya tarik banyak kalangan untuk datang ke Masjid JIC. Mereka yang datang ada yang sekedar melihat-lihat dari luar karena penasaran atau karena motif lainnya. Termasuk beberapa tokoh nasional seperti Ketua Umum DMI (Dewan Masjid Indonesia) Pusat yang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden M. Jusuf Kalla dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga S. Uno dan juga tokoh internasional dari Arab Saudi yang juga Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman (MBS). MBS, di sela-sela kehadirannya pada KTT G20 di Bali menyampaikan minat dan ketertarikannya pada JIC untuk membantu pembangunan, utamanya kubah masjid JIC.
Namun, jika membangun kubah Masjid JIC memerlukan biaya besar sampai puluhan miliar rupiah dan memerlukan waktu yang lama, sedangkan Masjid JIC yang tanpa kubah dapat digunakan lagi untuk ibadah dengan perbaikan sana-sini dalam waktu yang tidak lama dan tidak memerlukan biaya yang mahal, juga menjadi menarik dan memesona karena masjid JIC kembali ke bentuk arsitektur awal masjid di zaman Rasulullah SAW.
Masjid pertama yang dibangun pada zaman Nabi Muhammad SAW (622M) adalah Masjid Quba yang berbentuk segi empat dan berada di lapangan terbuka, tanpa kubah (dome). Dinding-terbuat dari batang pohon kurma dan atapnya dari daun pohon kurma. Begitu pula Masjid Nabawi, masjid kedua yang dibangun oleh Rasulullah SAW, juga tanpa kubah. Arsitektur awal Masjid Nabawi berbentuk segi empat dengan dinding sebagai pembatas sekelilingnya. Sementara itu, di sepanjang bagian dalam dinding, dibuat semacam serambi yang langsung berhubungan dengan lapangan terbuka yang berada di tengahnya.
Menurut Putri Suryandari, Dosen Arsitektur FT Universitas Budi Luhur dan kandidat doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bangunan kubah baru muncul di abad ke-12 Masehi karena ditemukannya teknik perhitungan geometri tata ukur ruang secara matematis. Munculnya kubah sebagai simbol Islam diduga karena pecahnya perang antara Rusia dan Kesultanan Turki Utsmani (1877-1878). Kekaisaran Utsmani melancarkan gerakan budaya, termasuk pengenalan jenis masjid dengan atap kubah.
Sedangkan di Indonesia, keberadaan masjid dan bentuk atapnya tidak terlepas dari keberadaan kerajaan Islam atau kesultanan. Islam yang masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 Masehi dan mengalami prosses akulturasi dengan budaya Budha dan Hindu dalam cara pandang, bangunan pemerintahan, dan tempat peribadatan.
Karenanya, masjid-masjid di Indonesia di zaman Wali Songo mempunyai ornamen dan gaya arsitekturnya yang sangat unik, yang berbeda dengan masjid-masjid di Timur Tengah. Termasuk untuk atap masjidnya yang tidak berbentuk kubah, tapi berbentuk tajuk tumpang tiga seperti atap Masjid Ampel, Surabaya dan atap Masjid Agung Demak; atau berbentuk tajuk dengan tumpang yang di bagian puncak terpasang semacam mustoko (kepala) seperti atap Masjid Menara Kudus; berbentuk prisma atau limasan seperti atap Masjid Agung Cirebon; berbentuk mirip dengan atap pagoda.dengan bentuk melingkar dan bujur sangkar yang bertingkat lima seperti atap Masjid Agung Banten; berbentuk seperti rumah joglo seperti atap Masjid Katangka, Sulawesi Selatan; dan lain-lain.
Adapun masjid di Betawi tempo dulu, seperti foto-foto yang dikirimkan sejarawan dan budayawan Betawi terkemuka, Ridwan Saidi, kepada saya tidak ada yang beratap kubah, tapi beratap tajuk dengan tumpang yang puncaknya terpasang mustoko seperti masjid di Kampung Baru Pekojan; beratap tajuk tanpa tumpang seperti masjid di Kota Inten; beratap prisma atau limasan seperti masjid di Tenabang, masjid di Jati Baru, dan masjid di Kampung Jawa.
Dan akhirnya, kubah menjadi simbol arsitektur Islam paling modern untuk atap masjid, yang seakan-akan wajib ada pada masjid masjid baru di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, sampai beberapa abad. Akhir kalam, apakah atap masjid JIC yang akan dibangun kembali tetap berbentuk kubah atau bentuk lainnya, memang tidak menjadi penting, asalkan atapnya menjadi satu kesatuan dengan masjid JIC yang tetap menjadi landmark Jakarta di sebelah utara.