Oleh : Priyo Budi Santoso, Wakil Ketua DPR periode 2009-2014, Pendiri Pridem Institute
REPUBLIKA.CO.ID, Baru-baru ini, publik tersentak atas pidato orasi tokoh nasional Surya Paloh, saat menerima gelar Doktor (HC) di Universitas Brawijaya Malang. Saya
salut atas orasi yang hebat dan inspiratif ini, tentang warning bahayanya perpecahan bangsa. Nampaknya bang Surya Paloh sedang membangunkan pikiran berpolitik yang selama ini tertidur dari iklim politik ‘ora mikir’ dan ‘telat mikir’ yang abai terhadap bahaya perpecahan. Ini adalah orasi tingkat “begawan politik”, yang disampaikan pada waktu dan momentum yang tepat, yaitu saat kita mau memasuki tahun politik (pilpres dan pileg) yang menentukan arah masa depan demokrasi kita.
Hari-hari ini masih banyak pekerjaan rumah (PR) besar yang menggelantung dan belum dituntaskan bangsa ini. PR besar itu adalah potensi perpecahan bangsa dan gesekan sosial yang rawan yang sewaktu-waktu bisa meledak. Ini adalah bahaya laten yang jelas-jelas masih bersemai mengancam keberlangsungan kita sebagai sebuah keluarga bangsa.
Nilai-nilai kekeluargaan, gotong-royong, tepo-sliro, keramahtamahan, keadaban dan nilai luhur lainnya berasa semakin hilang di keseharian masyarakat politik dan sosial kita. Bangsa ini seolah telah berubah menjadi bangsa pemarah, dengki, fitnah, adu domba, saling gugat, sumpah serapah.
Nilai-nilai harmoni dan persatuan sebagai sebuah keluarga bangsa mulai goyah. Kita seolah berjalan sempoyongan di lorong gelap menuju “anomali” yang membahayakan kehidupan berdemokrasi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Padahal nilai-nilai luhur tersebut sudah susah payah digali dan dibangun para the founding fathers.
Hampir setiap hari di media sosial, seperti Twitter, Facebook, YouTube, maupun WhatsApp Group (WAG), kita mendapati pertengkaran. Baik itu pertengkaran berdasar data-fakta, ataupun hanya bersumber fitnah untuk saling mengejek atau menjatuhkan. Hingga pada akhirnya dua kelompok ini menempatkan diri pada posisi blok yang berhadapan, yaitu ‘grup pecinta’ dan ‘grup pembenci’.
Lihatlah hiruk-pikuk yang tersebar di grup-grup WA (WAG). Mereka yang masuk dalam ‘grup pecinta’, sebegitunya membela sang idola, membabi-buta. Kadang membela bukan karena sang idola benar, tapi karena antipati terhadap semua hal yang berasal dari grup seberangnya. Demikian pula sebaliknya terjadi di Grup WA satunya, dengan narasi-narasi syak wasangka yang serba pokoknya. Grup-grup WA ini, juga terjadi di grup di medsos lainnya, masing-masing asyik-masyuk bicara informasi apa saja dengan kawan segrupnya, dan masing-masing menyimpulkan ‘kebenaran’ menurut versinya. Tak peduli apakah isu yang mereka bicarakan adalah fakta atau hoaks. Dan mereka pun mengambil kesimpulan sendiri-sendiri.
Bayangkan jika pembicaraan di medsos seperti ini terjadi secara massive di semua lini massa dan di segala tingkatan strata sosial masyarakat. Mulai dari kalangan terdidik hingga yang SD saja tidak lulus. Mulai dari kalangan elit, kelas menengah, orang kaya, kaum miskin, tua-muda, hingga rakyat jelata.
Fenomena Cebong vs Kadrun terbukti menjadi pelatuk yang mempertajam polarisasi masyarakat. Pertengkaran (sektarian) yang terus dipelihara adalah diskursus yang tidak mencerdaskan, bahkan makin menambah luka sosial yang destruktif. Ini harus segera disudahi, segera tutup buku dan tamat riwayat sebelum memasuki tahun politik 2024. Kesengajaan melanggengkan Buzzer-Cebong-Kadrun sama saja membiarkan api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa membakar tatanan sosial bangsa.
Politik identitas, sebenarnya lumrah dalam politik dan demokrasi, karena identitas merupakan trademark dan ciri khas perjuangan suatu kelompok politik. Ini given dalam politik.
Sejarah perpolitikan kita (pemilu 1955) bahkan pernah mengalami ragam politik identitas yang sangat berwarna. Politik identitas nasionalis, komunis, agamis (partai Islam, Kristen, Katolik) tampil mengemuka. Namun pemilu 1955 tersebut (disebut sebagai pemilu yang paling orisinil dan demokratis) berlangsung selamat dan negara bangsa tidak terpecah akibat politik identitas ini.
Kuncinya ternyata para tokoh politik zaman itu berdinamika dalam tradisi dan koridor moralitas politik yang wisdom. Pergesekan pandangan terjadi secara alamiah dan wajar, bukan untuk keretakan atau perpecahan, tapi proses mencari jalan harmoni. Ini sebenarnya esensi dari spirit luhur: “Nglurug tanpo bolo, menang tanpo ngasorake”.
Yang berbahaya adalah jika politik identitas dan pergesekan didalangi dan dibiayai ‘kekuatan gelap’ dengan menyulut narasi-narasi politik kebencian dan permusuhan. Politik identitas kemudian mengarah menjadi politik eksklusif. Politik identitas seperti ini menihilkan kelompok lainnya, yang pada gilirannya akan melahirkan politik kebencian, permusuhan, kedengkian, atau phobia yang akut terhadap kelompok dan aliran politik lainnya. Penganut madzab ini biasanya menghalalkan seribu cara, yang penting kemenangan atas kelompoknya. Kelompok lain ke laut saja.
“Begawan Politik”.
Terimakasih kepada Bang Surya Paloh yang telah menunjukkan warna identitas berpolitiknya yang wisdom. Telah membangunkan kewarasan berpolitik yang tertidur.
Kita tentu mengajak dan menunggu pikiran-pikiran dari para begawan dan tokoh-tokoh bangsa seperti Presiden Jokowi, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, Try Sutrisno, dan para Ketua Umum partai politik ternama, seperti Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar, AHY, A. Syaikhu, Zulkifli Hasan, maupun Suharso Monoarfa.
Tokoh-tokoh ternama di atas merupakan penentu lahirnya blok koalisi partai politik dalam pencalonan presiden mendatang. Dengan sudah ditolaknya uji materi Presidential Threshold (PT) maka merekalah harapan kita, agar pilpres mendatang tidak lagi hanya melahirkan dua blok besar yang langsung head to head berhadapan. Kita tentu berharap kondisi seperti Pemilu 2019 tidak terulang lagi. Jangan sampai politik menjadi bensin yang meletupkan perpecahan bangsa.
Sebenarnya gagasan dari banyak kalangan, termasuk di antaranya para pegiat demokrasi untuk menggugat PT merupakan bentuk kekhawatiran atas keterbelahan bangsa, yang diakibatkan head to head dua pasangan calon di pilpres. Namun upaya-upaya ini telah kandas di tengah jalan. Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengetukkan palu godam amar keputusannya. Biarlah sejarah yang kelak menilai apakah MK masih setia menjadi The Guardian of Ideology atau seperti apa?
Toh, kita harus tetap menghormati putusan lembaga-lembaga hukum yang ada di negeri ini, menghormati ‘aturan main’ yang diputuskan. Kita harus mengetuk dan mengajak pikiran-pikiran negarawan di negeri ini. Bersama-sama kita selamatkan demokrasi kita. Demokrasi yang sehat, berkompetisi yang sehat, tapi tetap berkeadaban, menjaga keutuhan dan harmoni bangsa dalam bingkai NKRI.