REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof, Dr Suwarma Al Muchtar, SH, Guru Besar Tata Negara Universitas Pendidikan Indonesia
Unjuk rasa 11 April 2022 di depan Gedung DPR menuai pro dan kontra. Banyak pihak termasuk Ketua DPR melihat adanya kekerasan dalam unjuk rasa tersebut telah mencoreng demokrasi. Ada pula pengamat yang justru menyatakan unjuk rasa tersebut menyelamatkan demokrasi dari cengkeraman jerat kuasa oligarki politik, oligarki ekonomi, dan oligarki media sekaligus.
Terlepas dari pro kontra yang timbul, terdapat kata “demokrasi”, sebagai irisan dari kedua pendapat tersebut. Bila Pancasila benar dianut, maka Sila ke-4 Pancasila seharusnya menjadi rujukan awal kehidupan demokrasi di negeri ini.
“Perwakilan” yang diamanatkan di akhir Sila ke-4 sepatutnya dimaknai sebagai landas kebhinnekaan dalam praksis demokrasi Indronesia. Di sisi yang berlawanan, demokrasi satu kepala satu suara akan menjerumuskan pelakunya ke dalam dominasi kuantitas. Entah kuantitas kelompok, golongan, suku, etnis, agama, ras, aliran, ormas, atau yang paling jelas, uang kas.
Demokrasi kuantitas sudah terbukti menyerap habis sumberdaya dan tenaga rakyat dalam pusaran prosedural yang melelahkan, dan bahkan tercatat mematikan petugas pemungutan suaranya. Sebaliknya, kekuatan substansi tereduksi dalam spanduk-spanduk kampanye, kontestasi, dan pencitraan. Bila Pancasila benar dianut, sekecil apa pun populasi suatu kelompok di negeri ini, ia layak dihargai sebagai elemen kebhinnekaan yang menyumbang kekayaan khazanah pemikiran untuk turut memajukan bangsanya.
Kekayaan pemikiran yang mengalir dari praksis perwakilan selanjutnya akan menjadi bahan baku utama permusyawaratan. Kata dasar “musyawarah” itu sendiri menegaskan demokrasi Indonesia bukanlah aklamasi. Keberadaan voting, polling, quick count, dan big data cukuplah bersifat kontributif mediatif, sekali lagi agar demokrasi tidak menjadi saluran dehumanisasi. Arus besar digitalisasi harus disikapi secara arif untuk menyehatkan demokrasi, dan bukan sekedar meningkatkan keseruan apalagi perseteruan.
Ketika jalanan mungkin kian sepi dari arak-arakan pemilu, lalu lintas pita lebar digital makin sesak memperkaya pengembang media sosial dan penyalur kuota, yang algoritmanya tak satu pun dikuasai anak negeri. Insyafilah bahwa musyawarah merupakan sebuah keutuhan dengan proses pemufakatan kehendak dan memperkaya pemikiran manusia, bukan penghitungan angka belaka.
Pemikiran yang dimufakati dalam permusyawaratan kemudian akan menjadi kebijaksanaan rakyat yang secara praksis mewujud sebagai produk kebijakan. Demikianlah suatu kebijakan dapat disebut sebagai kebijakan karena didalamnya terkandung kebijaksanaan.
Namun demikian, kebijaksanaan tidak boleh terhenti sebagai kualitas apalagi berkas belaka. Ia tidak boleh sekedar berdaya implementasi, namun harus benar-benar bersumber, terjadi, dan dijalani secara nyata dari, oleh, dan untuk rakyat. Hanya dengan demikianlah maka suatu kebijaksanaan dapat diambil hikmahnya sehingga layak menyandang frasa hikmat kebijaksanaan.
Perhatikan betapa banyak produk legislasi dilahirkan era reformasi yang tak kunjung usai. Sampai-sampai dunia memandang negeri kita tidak hanya didera inflasi keuangan semata, namun juga inflasi peraturan.
Bagaikan virus, demokrasi kuantitas telah menjadikan jumlah peraturan sebagai indikator kinerja legislasi. Akibatnya kecepatan mengalahkan ketepatan, dan salah ketik terpaksa diterima bagaikan etik.
Dengan demikian, hikmat kebijaksanaan juga menyuratkan pesan bahwa apapun yang tidak lahir sebagai hasil musyawarah mufakat, yang tidak benar-benar mewakili kehendak rakyat, niscaya akan gagal diterapkan dan diwujudkan, alias kehilangan hikmat kebijaksanaannya. Sebaliknya bila Pancasila benar dianut, legislasi yang menjadi wadah hikmat kebijaksanaan dapat memandu perjalanan bangsa dalam mencapai segenap tujuan dan cita-cita nasional.