Oleh : Erik Purnama Putra, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Keputusan Presiden yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meniadakan peran Jenderal Besar Soeharto dalam sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949, patut dipertanyakan. Selain bakal menjadi kontroversi dan perdebatan pada masa depan, keputusan tersebut juga berpeluang direvisi jika rezim yang memimpin negeri ini memiliki cara pandang berbeda dengan pemerintahan sekarang. Hal itu lantaran berbagai sumber sejarah secara jelas mencatat peranan Letkol Soeharto yang kala itu menjadi komandan lapangan dalam menghadapi Belanda yang sudah menguasai Yogyakarta.
Pasukan Belanda melalui Agresi Militer 2 sebelumnya ingin sekali menghapus keberadaan Republik Indonesia (RI). Karena itu, militer Belanda dengan kekuatan penuh merebut ibu kota negara yang saat itu dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Namun, berkat perjuangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersama seluruh rakyat dalam menghadapi militer Belanda yang memiliki keunggulan persenjataan lebih canggih, membuat eksistensi Indonesia tetap diakui dunia.
Hal itu lantaran Serangan Umum 1 Maret 1949, dimuat di berbagai media hingga memperkuat daya tawar Indonesia di mata dunia internasional. Hal itu sekaligus mempermalukan Belanda, yang sebelumnya mengeklaim bahwa Indonesia sudah lemah. Serangan besar-besaran itu juga menjadi tonggak jika RI masih berdiri tegak dan menjadi negara berdaulat.
Memang harus diakui otak rencana serangan itu adalah Sultan Hamengku Buwono IX, dan peran Jenderal Soedirman sangat masif dan krusial dalam mengatur strategi prajurit TNI di lapangan dalam menyerbu wilayah kekuasaan Belanda. Namun, meniadakan peran Soeharto yang benar-benar terlihat dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 jelas merupakan sebuah keputusan politik berisiko besar.
Pasalnya, berbagai sumber sejarah mencatat Soeharto ikut berperang, meski perannya tidak sebesar yang dinarasikan dalam film 'Janur Kuning'. Hanya saja, jika menghapus jejak Soeharto maka itu merupakan sebuah keputusan politik yang bisa dikatakan blunder besar. (Baca: Jokowi Keluarkan Keppres Serangan Umum 1 Maret, Nama Jenderal Soeharto Dihilangkan)
Adalah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara, yang menjadi pemicunya. Keppres yang menetapkan 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara cuma menyebut empat tokoh yang berperan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.
Dalam Keppres yang diteken Jokowi di Jakarta pada 24 Februari 2022, hanya nama Sultang Hamengku Buwono IX, Jenderal Soedirman, serta Sukarno dan M Hatta yang disebut ikut berperan mencetuskan serangan yang meninggalkan luka besar bagi militer Belanda tersebut. Peran Presiden ke-2 RI benar-benar dinihilkan.
"Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman serta disetujui dan digerakkan oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan didukung oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, laskar-laskar perjuangan rakyat, dan segenap komponen bangsa Indonesia lainnya, merupakan bagian penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang mampu menegakkan kembali eksistensi dan kedaulatan Negara Indonesia di dunia internasional serta telah berhasil menyatukan kembali kesadaran dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia," demikian bunyi Keppres Nomor 2 Tahun 2022.
Yang patut dipertanyakan adalah keputusan memasukkan Sukarno dan Hatta sebagai penggerak dan pihak yang menyetujui Serangan Umum 1 Maret 1949. Keppres itu bisa menjadi sangat debatable pada akhirnya. Hal itu lantaran Dwi Tunggal tersebut telah ditangkap Belanda, seiring jatuhnya Yogyakarta ke tangan Belanda saat Agresi Militer 2. Sejak 19 Desember 1948, Sukarno-Hatta, termasuk Perdana Menteri Sutan Sjahrir menjadi tawanan rumah Belanda. Setelah itu Sukarno-Hatta diasingkan ke Bangka Belitung, hingga akses komunikasi kepada dunia luar diputus.
Bahkan, sebelum Sukarno ditawan lantaran menyerah kepada Belanda yang menguasai Yogyakarta dalam serangan singkat, ia pernah diajak Soedirman untuk berjuang secara gerilya keluar masuk hutan. Namun, Sukarno lebih memilih jalur diplomasi hingga akhirnya dengan mudah menjadi tawanan Belanda. Keputusan Sukarno itu sempat membuat kecewa Soedirman, yang lebih memilih berjuangan bersama rakyat daripada menyerah melawan musuh.
Tanpa mengecilkan peran Sukarno-Hatta yang menjadi proklamator RI pada 17 Agustus 1945, nama keduanya jelas kurang tepat jika disebut berjasa dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Hal itu lantaran pada masa itu, yang mengendalikan Republik Indonesia adalah Syafruddin Prawiranegara. Sepanjang 22 Desember 1948-13 Juli 1949, ketika Belanda menganggap RI sudah bubar karena semua pimpinan negeri ditangkap, Syafruddin menunjukkan kepada dunia melalui Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PPRI) bahwa pemerintahan Indonesia masih berjalan seperti biasa.
Syafruddin membentuk Kabinet Darurat yang dikendalikan dari pelosok Sumatra Barat. Berkat Syafruddin pula, estafet kepimpinan negeri ini masih terus berjalan, lantaran pemerintahan berjalan seperti biasa berkat kabinet lengkap yang disusunnya, termasuk Menlu AA Maramis yang berkedudukan di New Delhi, India.
Ketika akhirnya Belanda menyerah dan membebaskan Sukarno-Hatta, Syafruddin dengan sukarela menyerahkan kekuasaan itu kepada yang berhak. Jika Syafruddin saja namanya tidak sebut, apakah pantas malah pemerintah memaksakan nama Sukarno?
Dari perjalanan seperti itu, sangat jelas jika seyogianya proses sejarah ditulis sebagaimana mestinya. Jangan karena tidak suka atau memiliki sikap politik berbeda maka RI 1 sampai menghilangkan jejak dan peran sejarah seorang Letkol Soeharto. Karena itu, Keppres Nomor 2 Tahun 2022 bakal menjadi catatan sejarah yang bisa saja suatu hari dicabut atau direvisi apabila memang keputusan presideni itu dianggap tidak tepat, bahkan mengandung sebuah kesengajaan untuk menyingkirkan nama Soeharto.