
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ridwan Saidi, Politisi Senior, Sejarawan, dan Budayawan Betawi.
Neo Kolonialisme dan Imperialisme atau Nekolim diksi politik yang sangat ampuh untuk menggalang massa kiri. Imbasnya terkena pada Kedubes USA dan Inggris di Jakarta hampir tiap hari dIdemo tahun-tahun 1962-1965.
Jakarta kala itu dibanjiri poster dan spanduk yang dibuat Lembaga Kebudayaan Rakyat Lekra/PKI. Teks spanduk: Hei Nekolim, ini dadaku, mana dadamu.
Tiap hari dikumandangkan kampanye anti Nekolim yang sejatinya cerminkan pribadi megalomania. Padahal faktanya di balik itu beras sudah tak terbeli rakyat. Dan berganti bulgur. Celana sehari dipakai sehari dijemur.
Tapi Indonesia memaksakan diri menjadi pemimpin 'New Emerging Forces' alias Nefo. Dalam kondisi keuangan yang babak belur masih memaksakan diri menyelenggarakan Pesta Olahraga Ganefo. Tidak ada bekasnya kecuali jadi nama sebuah gang di kelurahan Senayan: Gang Ganefo I - IX.
Perilaku megalomania dulu itu pun tak berubah walau sekarang sudah dalam era Nekochin: Neo Kolonialisme China. Nekochin pinjami uang, separoh wilayah negara si penghutang dirampas kalau tak mampu bayar. Ini terjadi pada sebuah negara Caucasia yang bertetangga dengan China.
Berita terakhir Nekochin melakukan klaim atas kepulauan Natuna utara dan minta Indonesia stop pengeboran migas.
Nekochin jajakan pinjaman tanpa jaminan negara ke Afrika, Malaysia, Indonesia. PM Najib Razak Malaysia jatuh karena hutang dengan Nekochin.
Pemerintah Indonesia besemangat. Kita akan meroket maju. Mandalika menaikkan nama Indonesia, dengan balap Mobil Jakarta sepantar New York. Indonesia negara yang diperhitungkan kalau Ibu Kota Negara (IKN) yang berada di sebuah wilayah di Kalimantan Timurselesai.
Keadaan sekarang ternyata terasa tak ada beda nuansanya dengan dahulu. Setiap hari kita dikasih omongan macam begini. Lantas saya sulit membedakan: hidup dalam suasana anti Nekolim, dan hidup di era Nekochin!