REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Verdy Firmantoro, Dosen Uhamka dan Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia
Generasi milenial banyak tampil menjadi pelopor dan pemimpin perubahan. Di satu sisi kondisi tersebut positif sebagai tanda terpangkasnya elitisme sirkulasi generasi. Di sisi lain, pergeseran yang disruptif relatif mengganggu kenyamanan posisi dan pikiran-pikiran konvensional. Gerbong pemuda berpotensi mengambil alih pos-pos strategis di berbagai lini. Mereka tengah menafsir ulang pemahaman atas kepahlawanan di masa kini.
Setidakanya di dua bidang, wajah dunia bisnis dan kepemimpinan sudah tak asing diisi kawula muda. Selain secara de facto, generasi di bawah 40 tahun mengepung lebih dari 60 persen jumlah penduduk Indonesia. Akumulasi itu berasal dari angka generasi milenial, gen z dan post gen z (BPS, 2020).
Usia generasi tak hanya diminta bersahabat secara fisik, tapi juga diorientasikan mengikuti gerak zaman. Turbulensi manusia seringkali terjadi karena ketidakmampuan beradaptasi. Pikirannya ditundukkan oleh rutinitas dan sistem yang membelenggu.
Sementara era terus berubah tanpa pakem. Akibatnya nostalgia terhadap kebesaran masa lalu melupakan tuntutan merajut masa depan. Pertanyaannya untuk menjadi pahlawan, apakah harus angkat senjata melawan penjajah? Sementara penjajah terbesar saat ini bukan lagi kolonial, tapi krisis moral dan kepercayaan diri.
Surplus Teknologi dan Defisit Nilai?
Ketika nama-nama pahlawan nasional absen dari memori anak bangsa, di situ ada gejala generasi kehilangan keteladanan. Bagaimana mau mengambil alih kepemimpinan jika kita tak ramah dengan nilai-nilai peradaban. Jika pun tanpa berpegang nilai mampu melakukan take over, lantas apa yang bisa diharapkan untuk memperbaiki keadaan?
Tantangan generasi muda saat ini semakin kompleks. Generasi muda diharapkan menjadi solusi atas berbagai problematika. Namun, realitas menguji kualitas, ketika gerbong itu berada di persimpangan. Alih-alih teknologi memudahkan koneksi, tapi juga menggusur nilai-nilai kearifan.
Disorientasi dan gegar budaya menjadi ancaman yang serius. Perkembangan teknologi tanpa disertai pemahaman literasi akan mengarah pada hal-hal yang kontraproduktif. Laporan Digital Civility Index (DCI) tahun 2020 yang menempatkan netizen Indonesia paling tidak sopan se-Asia Tenggara tentu penting menjadi refleksi kritis bersama. Temuan itu menunjukkan bahwa kemajuan zaman bisa juga kemunduran tindakan.
Krisis karakter itu bukan take over, tapi game over. Sebab kegagalan mempersiapkan diri menjadi gerbang kegagalan menata generasi. Namun, jika gerbong pemuda mampu merawat asanya seperti ilustrasi Jamie Notter & Maddie Grant dalam bukunya When Millenials Take Over, tak berlebihan jika berharap kepemimpinan yang transformasional. Anak muda tak hanya mewarisi buku sejarah, tapi juga mengukir sejarahnya sendiri.