Oleh : Muhammad Fakhruddin, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Ada tangkapan layar percakapan sebuah grup Whatsapp di salah satu perumahan di Tangerang yang salah satu warganya membuka obrolan dengan menanyakan kepada warga yang lain siapa yang memiliki informasi tentang penularan Covid-19 di lingkungannya. Menurut dia informasi tersebut agar membuatnya lebih waspada, yang kemudian ditimpali oleh warga yang lain, "Hati-hati di wilayah kita sudah mulai banyak yang positif Covid-19". Kemudian oleh warga yang lain ditambahkan, "Saya dengar sudah 26 yang positif".
Sayangnya obrolan seperti itu hanya berakhir sampai di situ. Tidak ada kemudian inisiatif atau langkah konkret dari warga untuk bagaimana membantu para penyintas Covid-19. Yang muncul adalah ketakutan seolah menarik garis demarkasi antara penyintas Covid-19 dengan warga yang belum terpapar.
Dalam skala yang lebih luas lagi, angka-angka jumlah pasien penyintas Covid-19 itu hanya dimaknai sebagai statistik belaka dan sedikit mengulas upaya penyelamatan mereka yang terlanjut terpapar Covid-19. Senin (21/6) kemarin, angka penambahan kasus Covid-19 harian kembali pecah rekor. Satgas Penanganan Covid-19 melaporkan ada 14.536 kasus baru. Angka ini sekaligus tertinggi sepanjang pandemi melanda Indonesia sejak Maret 2020 lalu.
Setahun lebih penanganan Covid-19 namun pada saat yang sama masih terdengar berita penyintas Covid-19 meregang nyawa setelah ditolak sana sini oleh rumah sakit. Adalagi kabar seorang wanita yang diduga stres karena positif Covid-19 lalu loncat dari lantai tiga rumahnya di Tambora, Jakarta Barat, Sabtu (19/6) siang. Meski sempat dirawat, wanita itu akhirnya meninggal dunia.
Kemungkinan ada informasi yang salah yang sampai ke masyarakat sehingga muncul ketakutan berlebihan jika terpapar atau orang di sekitarnya terpapar Covid-19. Woy, penyintas Covid-19 bukan zombie!
Kondisi ini diperparah dengan kampanye-kampanye tentang pencegah Covid-19 yang menggunakan diksi dan simbol yang menakutkan. Sehingga tidak jarang banyak bertebaran peti mati yang sengaja dijadikan sebagai alat peraga untuk menebar ketakutan tersebut.
Akibat ketakutan tersebut alih-alih penyintas Covid-19 mendapat pertolongan atau sekedar motivasi dan simpati untuk terus berjuangan melawan Covid-19, namun yang didapat adalah stereotipe. Akhirnya, Covid-19 dianggap aib yang harus ditutupi.
Padahal yang perlu ditanamkan sejak awal adalah positive mindset bahwa Covid-19 adalah penyakit yang akan sembuh. Diperlukan asupan makanan yang memadai, berjemur dan sedikit olahraga. Selain itu diperlukan mitigasi untuk mengurangi resiko jika ada anggota keluarga atau warga kemudian terpapar Covid-19. Keluarga atau masyarakat harus tahu pertolongan pertama apa yang diberikan ketika ada salah satu anggotanya terpapar Covid-19. Mereka juga harus tahu pihak mana saja yang harus dihubungi untuk mencari pertolongan pada kesempatan pertama jika mengetahui ada anggota keluarga atau warganya yang terpapar Covid-19.
Jika ada anggapan setiap orang akan "Covid" pada waktunya maka yang perlu dilakukan di setiap komunitas dan lingkup terkecil seperti keluarga adalah menyusun strategi bagaimana menghindari virus Covid-19. Maka mulailah membuat semacam jalur koordinasi dengan menunjuk salah satu anggota keluarga untuk menjadi ketua gugus tugas penanganan Covid 19.
Tugas dari ketua gugus tugas memastikan seluruh anggota keluarga menaati protokol kesehatan. Gugus tugas keluarga juga diminta untuk memberikan edukasi ke seluruh anggota keluarga dengan memberikan informasi yang benar. Misalnya, jika ada keluarga yang sakit seperti flu segera gunakan masker dan melakukan karantina mandiri. Jika gejalanya menyerupai Covid 19 segera hubungi rumah sakit rujukan atau Pusat Informasi Covid 19 dan ikuti arahan dari penasihat ke rumah sakit terdekat.
Apabila penyintas Covid-19 memang cukup isolasi mandiri di rumah maka disiapkan skenario agar penyintas Covid-19 mendapatkan perawatan yang memadai dan dapat dipantau dengan menggunakan teknologi kesehatan yang bisa dibeli sendiri dengan harga yang terjangkau, misalnya alat pengukur suhu tubuh dan alat untuk mengukur saturasi oksigen.
Butuh orang-orang yang memiliki inisiatif yang memastikan protokol penanggulangan wabah Covid 19 berjalan sebagaimana mestinya hingga ke unit terkecil dalam struktur masyarakat, yakni keluarga. Karena, keluarga yang paling terdampak ketika paparan Covid-19 itu terjadi.
Keluarga terdekat yang paling rentan tertular jika salah satu anggotanya terinfeksi virus. Keluarga juga yang memberikan pertolongan karena menjadi pihak pertama (first responder) yang langsung berhadapan dengan ancaman wabah. Sehingga keluarga memiliki posisi dan peran yang sangat penting dan strategis dalam menentukan besar kecilnya dampak wabah yang akan diterima.
Keluarga perlu diberi pengetahuan tentang ancaman dan resiko wabah Corona serta cara menghindari dan mencegahnya. Selain itu keluarga juga juga harus diberi pengetahuan tentang cara menghadapi jika hal itu telah terjadi. Kesiapsiagaan keluarga menjadi kunci dalam menghadapi Covid-19, sehingga keluarga mampu terhindar dan cepat pulih dari dampak pendemi Covid 19 ini.