Rabu 24 Feb 2021 09:12 WIB

Aku Berpikir Maka Aku Muslim

Bangga menjadi Muslim.

Muslim
Foto: google.com
Muslim

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis Buku dan Traveller

Cogito ergo sum. “Aku berpikir maka aku ada.” Kalimat dalam bahasa Latin itu sangat masyhur. Dicetuskan oleh Rene Descartes, seorang filsuf ternama asal Prancis. 

Pada masa itu, Barat yang baru saja mendapat secercah cahaya terang dari Islam dan keluar dari zaman kegelapannya, menganggap kalimat itu sakti.

Rene Descartes dianggap sebagai salah satu tokoh renaissance atau tokoh kebangkitan. Bersama dengan sederet nama lain, seperti Leonardo da Vinci, Machiavelli, Dante, Thomas Hobbes, hingga Erasmus.

Keberadaan manusia ditunjukkan melalui pemikirannya. Dalam konsep mereka, manusia adalah pusat semesta dan semua pencapaian manusia dalam karya ilmiah, seni, karya tulis, dan sains harus dihargai.

Ketimbang hanya bergantung kepada Tuhan, manusia harus berusaha melakukan sesuatu semaksimal kemampuannya. Seakan tak perlu lagi campur tangan Tuhan dalam kehidupan.

Ibarat bocah yang baru bisa berjalan, tiba-tiba esok pagi mau ikut lomba lari. Seperti itulah gambaran pemikiran yang berkembang pada masa itu.

Cara berpikir seperti itu tidak dikenal dalam Islam. Islam adalah agama yang mendorong manusia untuk memaksimalkan potensi akal yang diberikan tanpa meniadakan keberadaan Tuhan.

Seperti perintah pertama yang turun, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan” [QS Al Alaq: 1]. Kehadiran  Allah harus menyertai setiap langkah dalam kehidupan.

Penegasan seperti ini terbaca dalam karya-karya besar para alim terdahulu. Seperti buah pikir Abu Zayd Abd al-Rahman ibnu Muhammad ibnu Khaldun al-Hadrami (1332-1406) atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Khaldun.

Ibnu Khaldun adalah bapak sosiologi modern yang diakui Barat sebagai pemikir yang memberi pengaruh besar bagi cendekiawan Barat dan Timur, baik Muslim maupun non-Muslim.

"Pemikiran Ibnu Khaldun adalah satu-satunya dari tradisi intelektual yang diterima dan diakui di dunia Barat, terutama oleh ahli-ahli sosiologi," tulis Dr Bryan S Turner, guru besar sosiologi di Universitas Aberdeen, Skotlandia, dalam artikelnya “The Islamic Review and Arabic Affairs”.

Pengakuan serupa juga disampaikan S Colosia dalam bukunya “Constribution A L’Etude D’Ibnu Khaldaun Revue Do Monde Musulman”, “Buah pikir Ibnu Khaldun adalah tonggak ilmu sosiologi dan filsafat sejarah.”

Seperti cendekiawan Muslim pada masa itu yang menguasai banyak bidang. Ibnu Khaldun pun tak hanya menguasai ilmu sosiologi, namun ia juga mumpuni di berbagai disiplin ilmu. Seperti  ilmu tafsir, hadis, usul fikih, tauhid, nahwu, sharaf, balaghah, fisika, dan matematika.

Ia juga dinisbatkan sebagai bapak ekonomi, karena buah pikirnya tentang teori ekonomi mendahului teori ekonomi Adam Smith yang digunakan hari ini. Konsep kependudukan yang dicetuskannya jauh sebelum teori Malthus terdengar bunyinya.

MasyaAllah!

Kita akan mengetahui isi pikiran seseorang dari apa yang dituliskan. Di zaman now, dengan mudah kita akan membacanya di sosial media. Apa yang diunggah, itulah cerminan kualitas dirinya.

Karenanya, saya terhenyak ketika membaca sebuah unggahan di akun seorang intelektual muda Muslim yang mengutip perkataan Ibnu Aqil (1040-1119), “Sungguh aku tidak mengizinkan ada waktu yang sia-sia pada diriku sehingga apabila lidahku tidak berbicara, penglihatanku tidak membaca, di saat itulah aku menggunakan pikiranku. Aku tidak akan bangkit kecuali aku telah mendapat sebuah ide yang dapat aku tuliskan.”

Bagi Muslim, menggunakan kemampuan untuk berpikir adalah keharusan. Namun tentu saja tidak dalam paradigma, “Aku berpikir maka aku ada,” seperti  kalimat Descartes, melainkan, “Aku berpikir maka aku Muslim. Karena aku Muslim, maka aku berpikir.”

Jakarta, 23/2/2021

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement