Ahad 31 Jan 2021 06:22 WIB

NU dan Kebangkitan Pedagang Nahdliyin

Dari kebangkitan pedagang NU sampai arti bank merger Bank Syariah bagi UMKM nahdliyin

Warga Nahdliyin sebagian besar pedagang kecil. Saat ini akan ada merger bank syariah, Bisakah bank ini melindungi mereka dari terpaan rentenir yang melayani mereka dengan memberikan modal usaha yang hanya berapa juta saja.
Foto: Republika
Warga Nahdliyin sebagian besar pedagang kecil. Saat ini akan ada merger bank syariah, Bisakah bank ini melindungi mereka dari terpaan rentenir yang melayani mereka dengan memberikan modal usaha yang hanya berapa juta saja.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Idham Cholid. Aktivis Nahdliyin, Ketua Umum Jamaah Yasin Nusantara (JAYANUSA); Pembina Komunitas Pelaku UMKM dan Pedagang Kecil Wonosobo.

  • Memahami NU haruslah utuh, jangan hanya pada fakta sejarah tanggal berdirinya. Tapi harus memahami khittah ulama. Puncaknya, ketika Hadlratus-Syaikh KH. Hasyim Asy'ari menyatukan tekadnya, membangkitan umat dan bangsa.

 

"Selain kegiatan pengajian, yasinan, tahlilan, dan lain-lain, apakah peningkatan ekonomi warga juga diperhatikan?"

Pertanyaan polos ini saya dapatkan dari seorang pedagang kecil. Saya tidak tahu, apakah pertanyaan itu cukup mewakili "aspirasi" jutaan pedagang kecil di seluruh Indonesia? Mayoritas mereka nahdliyin, yang secara ekonomi belum diuntungkan.

Karena berkaitan dengan ekonomi, tak mungkin juga jawaban lain yang disampaikan. Apalagi, yang ditanyakan itu bukan rumusan konseptual yang diprogramkan, tapi lebih kepada perhatian dan keberpihakan.

Terus terang, saya tak punya kapasitas sedikitpun untuk menjelaskan itu semua. Sebagai orang daerah yang hanya pernah menjadi pengurus Ansor tingkat cabang, juga aktif di PMII semasa kuliah, saya juga tidak mempunyai keberanian. Jangankan menyampaikan kritik atau saran.

Kalaupun misalnya ada keberanian, sudah pasti tak akan pernah saya lakukan. Saya takut "kualat" dengan Hadlratus-Syaikh KH. Hasyim Asy'ari. Bagaimanapun, meski hanya sebentar, saya pernah nyantri di Tebuireng. Sampai kapanpun, saya hanya ingin tetap diakui sebagai santrinya. 

Namun, sekiranya Allah memberi kesempatan bisa mimpi bertemu Hadlratus-Syaikh, maka akan saya beranikan diri untuk bertanya: bagaimana caranya membangkitkan warga, apa yang seharusnya NU lakukan?

Saya membayangkan Hadlratus-Syaikh akan memberikan jawaban, hanya dengan tiga kata: "pahami khittah ulama."

Spirit Khittah

Tanpa Khittah, kata budayawan Ahmad Thohari, NU hanyalah respons terhadap paham Wahabi di Arab Saudi. Namun dengan khittah, kita akan memahami secara utuh bagaimana para kiai memainkan peran profetisnya di tengah kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan dalam arti seluas-luasnya. Karena sejatinya khittah adalah "jatidiri," merupakan landasan berpikir, bersikap dan bertindak. Khittah merupakan manifestasi perjalanan hidmah ulama itu sendiri.

Adapun respons terhadap paham Wahabi --dengan membentuk Komite Hijaz dan melakukan pertemuan khusus pada 31 Januari 1926 M; bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H-- itu, sebenarnya juga tak sebatas untuk menyampaikan resolusi dan melakukan diplomasi kepada Raja Ibnu Saud agar "menoleransi" kebebasan bermadzhab. Bukan pula sekadar untuk kepentingan mempertahankan tradisi. 

Makna terdalam, pertemuan yang berlangsung di Kertopaten, Surabaya --yang kemudian menyepakati pendirian Jam'iyah Nahdlatul Oelama-- itu adalah penyatuan tekad perjuangan para kiai. Adalah KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz dari Ampel, Surabaya, yang mengusulkan nama itu. 

Dari namanya saja sudah jelas. Konon, sebelumnya juga diusulkan nama Nuhudlul Ulama oleh KH. Abdul Hamid Sidayu, Gresik. Namun KH. Mas Alwi memberikan argumentasi mendalam bahwa kebangkitan ulama bukan lagi mulai atau akan bangkit. Menurutnya, kebangkitan itu sudah berlangsung sejak lama dan bahkan sudah bergerak jauh sebelum adanya tanda-tanda akan terbentuknya Komite Hijaz itu sendiri. Hanya, kebangkitan atau pergerakan ulama kala itu memang belum terorganisir secara rapi (Choirul Anam, 1999).

Bahwa kemudian pertemuan Kertopaten itu menjadi tonggak kelahiran NU, itulah fakta sejarah. Tapi kronik historis lain perlu dikaji lebih mendalam lagi.

Sayangnya, sampai hari ini kajian tentang NU masih didominasi dengan kajian politik, berkaitan dengan peran politik NU, baik keterlibatannya secara langsung dalam kancah politik dengan menjadi parpol maupun pasca kembali ke Khittah. Karya paling lengkap yang disusun Choirul Anam --Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama (1999)-- yang oleh KH. Yusuf Hasyim dianggap "babon"-nya kajian tentang NU sekalipun, masih dominan dengan tinjauan politik kesejarahan.

Penelitian mendalam Dr. Endang Turmudzi juga begitu, dengan hasil karyanya "Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan" (2004) juga hanya berhasil menjelaskan tentang sisi-sisi peran politik kiai. Dan masih banyak lagi. Termasuk para Indonesianis yang konsen dengan NU, seperti Mitsuo Nakamura, Martin van Bruinessen, Andree Feillard, Greg Fealy, dll.

Padahal, khittah ulama merupakan perjalanan panjang ke belakang, memotret latar kesejarahan bagaimana kepeloporan KH. Wahab Hasbullah, tentu atas "restu" Hadlratus-Syaikh, dalam menggerakkan solidaritas para kiai untuk memecahkan berbagai persoalan keumatan.

Terlebih saat itu, kolonialisme Belanda tidak saja menjajah secara fisik tapi juga mengeksploitasi seluruh sumber daya. Karena dimanapun, kolonialisme memang berwatak hegemonik yang dipraktekkan melalui sarana hukum, pendidikan, dan praktek feodalistik lainnya. Pramoedya Ananta Toer (w.2006) menggambarkan dengan apik dalam karya monumentalnya "Bumi Manusia" (1980) yang telah difilmkan pada 2019 itu.

Yang kemudian harus dipahami sebenarnya bahwa spirit khittah, tada lain, merupakan gerakan "perlawanan" terhadap praktek hegemoni itu sendiri. Apa dikira resolusi kepada Raja Saudi sekadar perjuangan tentang madzhab keislaman? Resolusi para kiai itu sejatinya melawan kecenderungan praktek hegemoni paham keagamaan.

Meskipun baru dua tahun kemudian setelah NU terbentuk, tepatnya pada 10 Mei 1928, KH. Wahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Ghanaim al-Misri bisa diterima Raja Ibnu Saud dan melakukan diplomasi secara "santun," itulah gaya ulama nusantara. Apalagi kepada raja muslim, bukankah Musa As juga diperintahkan Allah menghadapi Fir'aun dengan kelembutan? (Qs.20:43-44)

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement