REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof. Cecep Darmawan, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia dan Direktur CeQu Darul Hikam Bandung
Kabar dicabutnya sektor pendidikan dalam RUU Cipta Kerja, disambut baik oleh para akademisi dan praktisi pendidikan di tanah air. Namun, ketika palu sidang diketuk oleh Pimpinan DPR untuk pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU, justru ada pasal residu alias pasal sisa yang mengatur perizinan pendidikan.
Padahal sebelumnya Dirjen Dikti maupun Ketua Komisi X DPR RI sudah menegaskan seluruh ketentuan yang berkaitan dengan pendidikan dicabut dalam RUU Cipta Kerja. Kejadian ini menunjukkan tidak ada sinkronisasi, koordinasi, dan kerja sama yang mumpuni, baik antarkelembagaan di DPR yakni Komisi X, Panja, Baleg, dan Paripurna DPR RI, maupun antara pemerintah dan DPR.
Pasal 65 UU Cipta Kerja memiliki dua ayat. Ayat (1) menyebutkan bahwa pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Ayat (2) Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 65 ini seakan menjadi pasal sapujagat tentang perizinan pendidikan yang dimasukan dalam domain perizinan bisnis. Meski memakai frase “dapat” dalam pilihan katanya, tetap saja sektor pendidikan tertentu akan masuk rezim perizinan bisnis.
Jika ini yang dikehendaki pemerintah dan DPR, maka dapat dipastikan Peraturan Pemerinatah (PP) yang dikeluarkan pun akan mereduksi hakikat pendidikan sebagai ranah publik. Apalagi pada level PP yang atributif, agak sulit hadirnya ruang-ruang partisipasi publik dibandingkan dengan undang-undang.
Di dalam proses pembentukan UU, ada tahapan uji publik atau dengar pendapat. Namun, di dalam proses pembuatan PP, nyaris tidak ada ruang uji publik itu. Karenanya, eksistensi pasal 65 UU Cipta Kerja seakan menjadi pintu otomatis yang dapat membuka peluang sektor pendidikan dimasukan pada perizinan bisnis.
Kontroversi atas pasal residu ini semakin mencuat seiring dengan maraknya aksi penolakan berbagai pihak terutama kaum buruh dan mahasiswa terhadap UU Cipta Kerja. Publik perlu mengetahui motif apa yang ada dalam benak anggota DPR, sehingga perizinan pendidikan seakan dipaksakan sedemikian hingga harus masuk domain perizinan berusaha? Apakah anggota dewan menyadari bahwa jika pendidikan diarahkan ke ranah bisnis, maka hancurlah dunia pendidikan di Tanah Air.
Atas maraknya aksi penolakan UU Cipta Kerja khususnya bidang pendidikan, ada beberapa alternatif yang mungkin dapat dilakukan oleh DPR dan pemerintah. Pertama, DPR melakukan paripurna untuk mengkaji ulang ketentuan khususnya pasal yang bermasalah bidang pendidikan dalam UU Cipta Kerja.
Akan tetapi, mekanisme ini tentunya akan sulit jika kekuatan politik di DPR sendiri justru akan mempertahankan putusannya. Untuk melaksanakan alternatif ini harus asa political will atau good will anggota dewan yang secara legowo lebih memperhatikan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Jika DPR secara ikhlas dan rela meninjau ulang pasal 65 UU Cipta Kerja, merupakan sikap berpolitik yang amat elegan bagi kebaikan bangsa dan negara.
Kedua, seluruh elemen masyarakat khususnya para akademisi, mahasiswa, dan praktisi pendidikan maupun organisasi masyarakat dan organisasi buruh mendesak Presiden untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang isinya membatalkan berbagai pasal 65 yang bermasalah dalam UU Cipta Kerja. Namun, mekanisme ini pun dirasa kecil kemungkina untuk dilaksanakan. Pasalnya, pembentukan UU Cipta Kerja ini merupakan usulan dari pemerintah sendiri sehingga ada pertaruhan reputasi jabatan.
Namun, jika presiden lebih menilai kebaikan bersama bagi dunia pendidikan daripada sekedar pertaruhan jabatan, presiden bisa dengan segera mengeluarkan Perppu khusus mencabut pasal 65 bidang pendidikan. Kalau ini dilakukan presiden, dukungan kampus dan pemangku kepentingan pendidikan akan semakin kuat kepada pemerintah.
Ketiga, mekanisme yang paling memungkinkan untuk ditempuh ialah masyarakat yang memiliki legal standing melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Judicial review dilakukan untuk menguji berbagai aspek formil yakni proses pembentukan UU maupun aspek materiil yakni materi muatan dalam UU Cipta Kerja yang dipandang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Pemohon dapat meminta uji formil ke MK berkaitan dengan prosedur pembentukan RUU menjadi UU. Apakah pembentukan undang-undang memenuhi ketentuan berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 atau tidak? Sekaligus pemohon dapat melakukan uji materi berkaitan pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang berpotensi bertentangan dengan konstitusi.
Dasar gugatan ini diatur dalam Pasal 51 Ayat (5) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Apa pun nanti hasil dari putusan MK, kita hormati dan hargai sebagai bentuk ketaatan warga negara kepada putusan pengadilan dan melaksanakan prinsip negara hukum yang demokratis.
Kita yakin putusan MK adalah putusan yang sangat memperhatikan rasa keadilan di masyarakat dan dalam rangka menegakkan nilai-nilai konstitusi dalam kehidupan kenegaraan.
Dengan demikian melalui ketiga alternatif di atas, dapat menjadi model dalam upaya melaksanakan politik hukum yang dapat melindungi hak-hak konstitusional warga negara.