REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Faozan Amar, Dosen FEB UHAMKA dan Direktur Al Wasath Institute
Sudah lebih dari enam bulan wabah Covid-19 melanda Indonesia. Hampir semua aspek kehidupan manusia terdampak, tak terkecuali dunia pendidikan pada semua jenjang. Sehingga aktivitas pendidikan menuntut adanya adaptasi kebiasaan baru (AKB) yang dalam dalam beberapa hal berbeda dengan situasi normal. Hal ini dimaksudkan agar keselamatan dan keamanan pendidik, anak didik, tenaga kependidikan dan warga masyarakat tetap terjaga.
Tentu tak mudah melaksanakan adaptasi kebiasaan baru dalam dunia pendidikan di tengah wabah pandemi yang belum bisa diprediksi kapan akan berakhir. Karena itu, sejak Maret 2020 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengubah sistem pembelajaran tatap muka (PTM) menjadi pembelajaran jarak jauh (PJJ). Walaupun, sebenarnya PJJ bukanlah hal baru dalam pendidikan karena telah diterapkan di kampus Universitas Terbuka (UT) sejak lama.
Kebijakan ini paling tidak mengakibatkan lebih kurang 28,6 juta siswa dari SD sampai dengan SMA/SMK di sejumlah provinsi terdampak program belajar mengajar jarak jauh ini. Belum lagi ditambah dengan jumlah mahasiswa yang juga dihentikan sementara proses perkuliahannya (Kompas, 26/3/2020). Berdasarkan data UNESCO ada pada 18 Maret 2020 jumlah negara yang menerapakan PJJ bertambah menjadi 112 negara.
Ada berbagai macam kendala yang dihadapi selama pembelajaran jarak jauh, yakni kemampuan sumber daya manusia yang terbatas, jaringan internet belum merata di seluruh wilayah Indonesia, kepemilikian komputer, komputer tablet, dan smartphone yang masih terbatas serta kuota internet yang boros dan mahal.
Hal ini diperkuat dengan beberapa data dan fakta sebagai berikut; Pertama, penelitian yang dilakukan Cambridge International Universitas Cambridge Inggris tahun 2018 menemukan bahwa pelajar Indonesia adalah yang tertinggi secara global dalam penggunaan ruang komputer (40 persen). Peringkat kedua tertinggi dalam penggunaan komputer desktop (54 persen) setelah Amerika Serikat. Di samping itu, lebih dari dua pertiga siswa Indonesia menggunakan ponsel pintar di kelas. Sekitar delapan dari sepuluh dari siswa Indonesia menggunakannya untuk mengerjakan pekerjaan rumah.
Kedua, hasil riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2018 menunjukkan, penetrasi pengguna internet dalam bidang pendidikan sangat tinggi. Ada sekitar tujuh dari sepuluh siswa dan 92 persen mahasiswa menggunakan internet. Ketiga, data pengguna internet separuh lebih berada di wilayah Jawa, diikuti wilayah Sumatera (21,6 persen), kemudian 10,9 persen di kawasan Sulawesi-Maluku-Papua (10,9%), lalu di Kalimantan sebanyak 6,6 persen, serta Bali dan Nusa Tenggara sebanyak 5,2 persen.
Keempat, Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan keluhan soal kuota internet tercatat paling tinggi yakni sebanyak 43 persen dan tidak punya smartphone/komputer tablet itu 29 persen. Hal ini berdasarkan survei terhadap 1.700 siswa yang jadi responden survei (Kompas, 8/8/2020).
Bantuan Kuota Internet
Untuk memperlancar Pembelajaran Jarak Jauh selama pandemi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan bantuan kuota pulsa internet dengan anggaran Rp. 7,2 triliun. Tahap pertama, telah mengirimkan bantuan paket data internet kepada 27,3 juta guru, siswa, mahasiswa dan dosen hingga September. Paket bantuan tertinggi diterima oleh siswa jenjang SD, yaitu sebanyak 11,3 juta siswa. Jumlah tersebut akan bertambah dan terus dibuka pendaftarannya (Republika, 29/9/2020).
Adapun alokasi kuota yang diberikan, yakni untuk peserta didik Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebanyak 20 GB/bulan, peserta didik jenjang pendidikan dasar dan menengah 35 GB/bulan, pendidik pada PAUD dan jenjang pendidikan dasar dan menengah 42 GB/bulan, serta untuk mahasiswa dan dosen 50 GB/bulan. Seluruhnya mendapatkan kuota umum sebesar 5 GB/bulan, sisanya adalah untuk kuota belajar.
Bantuan ini disalurkan langsung ke nomor-nomor ponsel yang telah terdaftar pada sistem Data Pokok Pendidikan (DAPODIK) untuk jenjang PAUD dan Dikdasmen. Operator sekolah memasukkan nomor ponsel siswa dan guru ke Dapodik. Untuk jenjang pendidikan tinggi, pengelola Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti) di tiap perguruan tinggi menginput nomor ponsel mahasiswa dan dosen ke PD Dikti.
Target penerima bantuan kuota data internet sebanyak 50,7 juta peserta didik dan 3,4 juta pendidik, serta sebanyak 5,1 juta mahasiswa dan 257.217 dosen. Jenis bantuan yang tersebar yakni untuk SD, SMP, SMA, SMK, PAUD, Kesetaraan, SLB, mahasiswa vokasi, mahasiswa akademi, guru, serta dosen.
Dalam teleconference Mendikbud Nadiem Anwar Makarim (25/9/2020) dengan para penerima bantuan, ternyata bantuan kuota internet sangat bermanfaat dan memperlancar Pembelajaran Jarak Jauh. “Saya di sini merasa mendapatkan kenikmatan menggunakan teknologi dalam pembelajaran, tapi setelah mendengar Pak Erick Tohir menjelaskan bahwa kita sedang berjuang untuk memperbaiki infrastruktur agar seluruh pelosok negeri di Indonesia mendapatkan internet yang sama itu seperti mimpi yang jadi nyata. Saya sangat senang sekali kalau pemerintah sudah berupaya untuk memberikan fasilitas berarti kita sebagai guru juga harus memperbaiki kualitas kita dalam pembelajaran,” kata Santi Kusuma Dewi, guru SMP Islam Baitul Izzah, Nganjuk.
Sementara itu, menurut Gita Kobandaha, orang tua Keyra Divia SD Negeri 1 Tanoyan Kabupaten Bolaang Mongondow mengatakan “Yang pertama dipakai untuk belajar, pak, karena di sini PJJ-nya pakai jaringan. Jadi kalau kami dapat bantuan itu alhamdulillah bersyukur karena termasuk di sini ekonomi daerahnya masih rendah. Jadi kasihan pak kalau teman-teman atau anak-anak biasanya cuma pinjam kuota,” ujarnya.
“Alhamdulillah dapat bantuan 50 GB dari Kemendikbud dan Tri memberikan 30+6 GB. Apalagi saya mahasiswa informatika. Alhamdulillah terbantu. Jadi overall sangat membantu. Saya di perbatasan, ada yang belum mendapatkan infrastruktur sinyal, apalagi di dekat perbatasan Malaysia sangat sulit mendapatkan sinyal, harus di satu tempat. Tapi secara keseluruhan, sangat membantu, apalagi saya mahasiswa yang tugasnya sangat banyak,” jelas Harris Munandar, mahasiswa Teknik Informatika Universitas Tanjungpura.
Sekalipun demikian, ternyata bantuan kuota yang diberikan belum sepenuhnya menuntaskan persoalan tantangan PJJ. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 11 aduan dari siswa SMK terkait bantuan kuota internet, yakni tidak cukup untuk pembelajaran praktik. Sebab siswa SMK lebih banyak menggunakan video sebagai media pembelajaran. Untuk belajar keahlilan praktik harus lihat video yang ada di ada di Youtube. Sedangkan Youtube tidak termasuk aplikasi yang ada di dalam kuota belajar. Karena itu, siswa SMK yang melapor ke KPAI meminta agar sepenuhnya bantuan berupa kuota umum (Republika, 27/9).
Setidaknya, bantuan kuota membantu memperlancar Pembelajaran Jarak Jauh, walaupun masih belum sempurna. Kini pengiriman tugas-tugas sekolah dan kuliah dalam PJJ tak lagi ngaret berkat adanya bantuan kuota internet. Ini sebagai salah satu bukti bahwa negara tetap hadir untuk melaksanakan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Sekalipun di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.