REPUBLIKA.CO.ID, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menilai, pengumuman pemberlakuan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berimbas pada pasar keuangan. Menurut dia, kebijakan 'rem darurat' yang diumumkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada Rabu (9/9) menyebabkan volatilitas pasar keuangan meningkat pada perdagangan kemarin.
Seperti kita ketahui, perdagangan di pasar modal ataupun rupiah, sepanjang hari kemarin terpuruk. Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Kamis sore, ditutup turun 56 poin atau 0,38 persen menjadi Rp 14.855 per dolar AS dari sebelumnya Rp 14.799 per dolar AS.
Pasar merespons rencana penerapan PSBB di DKI Jakarta dengan rasa khawatir karena upaya pemulihan ekonomi nasional tahun ini tidak akan berjalan mulus. Apalagi, DKI sangat berpengaruh dalam transaksi pasar uang dengan berkontribusi 70 persen dari total transaksi di Indonesia.
Hal yang sama juga dialami pasar modal. Indeks harga saham gabungan (IHSG) ditutup melemah 257,92 poin atau 5,01 persen ke posisi 4.891,46. Sementara kelompok 45 saham ung gulan atau indeks LQ45 bergerak turun 48,24 poin atau 6 persen menjadi 756,12. Bahkan, transaksi di Bursa Efek Indonsia (BEI) sempat dihentikan setelah anjlok ke level 4.892,87.
Tak hanya kondisi pasar uang dan pasar modal yang jauh dari kata membaik, jumlah kasus positif virus korona (Covid- 19) di Indonesia, kemarin, bertambah 3.861. Dengan penam bahan tersebut, total kasus positif Covid-19 menjadi 207.203. Angka 3.861 tercatat sebagai rekor baru tambahan kasus positif Covid-19. Sebelumnya, rekor terjadi pada 3 September dengan tambahan kasus positif per hari sebanyak 3.622 kasus.
Jumlah peningkatan kasus Covid-19 sepanjang hari kemarin, seakan menjadi bukti kebijakan yang diambil oleh Gubernur DKI Anies Baswedan sudah tepat. Anies memberlakukan kembali PSBB Jakarta mulai Senin, (14/9) mendatang.
Hal ini diputuskannya dengan mempertimbangkan kasus penyebaran virus Covid-19 yang sudah tak terkendali di Ibu Kota. Ruang ICU rumah sakit di DKI Jakarta sudah dalam kondisi yang mengkhawatikan karena pasien yang terus bertambah.
Bagi Anies, PSBB adalah satu-satunya cara untuk menekan laju penambahan kasus Covid-19. Anies ingin menerapkan kebijakan seperti saat awal Covid-19 melanda Indonesia karena saat itu, jumlah positif Covid-19 di Jakarta lebih terkendali karena diterapkan PSBB. Kala itu sejumlah aktivitas bisnis dibatasi. PSBB saat itu, membuat ekonomi di Jakarta hancur lebur.
Kita tidak bisa menyalahkan Anies. Sebagai gubernur, dia mempunyai hak untuk menyelamatkan warganya dari ancaman Covid-19. Namun, pertanyaannya, apakah tidak ada pilihan selain penerapan PSBB yang sama-sama kita ketahui, akan memberi dampak buruk ke ekonomi masyarakat.
Rencana penerapan PSBB di DKI juga menggambarkan secara lugas bahwa menyandingkan kebijakan pencegahan penyebaran Covid-19 dan pemulihan ekonomi sulit jalan beriringan. Upaya pemerintah pusat yang bertekad menyatukan kebijak an penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi dengan satuan tugas yang dibentuknya, seperti tidak bertaji dengan rencana PSBB DKI Jakarta mulai Senin (14/9).
Padahal, bila kasus Covid-19 yang tidak terkendali di DKI me nye babkan rumah sakit-rumah sakit di DKI penuh, pemerin tah pusat bisa mencari jalan keluarnya dengan memfasilitasi pembentukan rumah-rumah sakit darurat. Pemerintah pusat juga dapat menyediakan lokasi-lokasi baru untuk tempat isolasi korban yang terjangkit Covid-19 di DKI.
Jangan-jangan peme rintah pusat dan Pemerintah DKI Jakarta belum berkoordinasi untuk mencari jalan keluar bersama untuk menangani kasus Covid-19 di DKI yang terus meningkat. Jika kita mencoba berkaca pada kasus Covid-19 di Jawa Timur yang pernah nyaris tidak terkendali, pemerintah pusat beberapa kali memberikan masukan dan saran soal cara menanganinya. Dan Jawa Timur tidak menerapkan kebijakan PSBB yang bisa dipastikan akan membuat ekonomi warganya menjadi menderita.