REPUBLIKA.CO.ID, oleh Haedar Nashir
Indonesia anugerah Tuhan termahal yang patut disyukuri oleh seluruh elite dan warga bangsa. Para pendiri bangsa dengan kearifan luhur mengakui kemerdekaan Indonesia sebagai “Berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Ada kuasa Tuhan menyertai kehadiran Indonesia di muka bumi.
Di antara nikmat Allah yang tercurah bagi Indonesia, ialah kehadiran umat Islam sebagai penduduk mayoritas. Bersama umat agama dan golongan lainnya, umat Islam sepanjang sejarahnya telah banyak berkorban dan memberi yang terbaik untuk negeri ini. Pancasila, menurut Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara, merupakan hadiah terbesar umat Islam bagi Indonesia.
Jangan ada pihak yang mempertentangkan umat Islam dan Indonesia. Apalagi menjadikan umat terbesar ini terpinggirkan dan tidak berdaya. Jika umat Islam sebagai pilar utama lemah atau hancur, maka runtuhlan Indonesia. Negara pun berkewajiban melindungi penduduk agama terbesar ini, laksana anak berbuat baik kepada orangtuanya. Sebaliknya, umat Islam dengan seluruh komponennya juga penting menjaga Indonesia layaknya ibu yang melahirkan dan membesarkan anaknya dengan cinta seluas samudra.
Ketika saat ini umat Islam menyambut tahun baru Hijriyah 1442 di tengah perayaan 75 tahun kemerdekaan Indonesia, selayaknya hadir komitmen kolektif bagaimana menjadikan umat Islam Indonesia bersama komponen bangsa lainnya semakin meraskan hidup tenteram, aman, dan sentausa di negeri yang dilahirkannya. Menjadi tuan di negerinya sendiri, serta tidak terpinggirkan dan seolah menumpang di negeri orang.
Umat Islam pun wajib merasa memiliki Indonesia jiwaraga, tidak tergoda rumput tetangga. Seraya bertanggungjawab bagaimana menjadikan Indonesia sebagai negeri idaman yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sebagaimana dicita-citakan para pejuang dan pendiri Indonesia. Aktif memberi solusi dan tidak senang bila negeri ini dirundung masalah dan nestapa. Bila Indonesia jatuh, umat Islam pun runtuh.
Islam Indonesia
Islam Indonesia menjadi mayoritas merupakan karunia Allah yang termahal. Para penyebar Islam di seluruh penjuru kepulauan telah berjasa besar menjadikan Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia. Menjadikan Islam mayoritas bukan pekerjaan mudah, tetapi melalui proses Islamisasi kultural yang masif serta sarat perjuangan yang lentur dan damai.
Para penyebar Islam sejak fase awal abad ketujuh dan era kedua abad ke-13 dari golongan ulama, saudagar, dan elite kerajaan telah berjasa sangat besar menjadikan Indonesia berpenduduk muslim terbesar. Padahal saat itu masyarakat di kepulauan luas ini mayoritas animisme dan penganut Hindu yang telah mengakar kuat. Secara sosiologis tentu Islamisasi generasi awal itu benar-benar mempraktikkan cara dakwah bil-hikmah, mauidhah hasanah, dan mujadalah dengan ihsan (QS An-Nahl: 125).
Dobbin (2008) mencatat, Islam masuk ke Indonesia berhadapan dengan kebudayaan masyarakat Indonesia yang bertumpu pada stratum masayarakat petani yang banyak dipengaruhi oleh kepercayaan animisme. Dalam telaahan Benda (1974), Islam masuk ke Nusantara ketika agama Hindu telah mengakar kuat dalam masyarakat setempat. Kala itu terutama di Jawa telah berlangsung proses “Hinduisasi” atau lebih tepat “Indianisasi” yang tembus secara mendalam dan meninggalkan bekas lama sekali.
Bagaimana para penyebar Islam yang menurut catatan sejarah berasal dari Arab dan India, masuk dan mengubah alam pikiran masyarakat adat dan kepercayaan setempat menjadi Islam. Tentu mereka memiliki pendekatan sekaligus agen sosial yang dapat diterima oleh komunitas setempat. Inilah proses Islamisai masyarakat Indonesia yang bercorak kultural. Menurut Kartodirdjo (1993), Islamisasi di kepulauan Indonesia merupakan bentuk penyebaran Islam melalui proses sosial-kultural dan sosial-ekonomi yang dilakukan para penyebar dan saudagar Muslim di kepulauan Nusantara.
Proses Islamisasi yang kultural itu telah melahirkan umat Islam Indonesia generasi awal berabad-abad sebagai kaum muslim moderat. Akibat dari Islamisasi yang damai dan kultural itu, Islam Indonesia menampilkan karakter dan wajah yang moderat, lembut, toleran, dan adaptif dalam multikultur (Esposito, 1997). Proses Islamisai dan pembentukan Islam tengahan, damai, dan toleran ini berlangsung lama dan terus bersambung dalam dinamika kontinyuitas dan diskontinyuitas yang tidak sederhana (Abdullah, 1974).
Kehadian gerakan Islam moderen awal abad ke-20 seperti Muhammadiyah, juga memiliki persambungan atau kontinyuitas dengan Islam Indonesia gelombang awal plus nilai-nilai pembaruan. Meskipun sering dikaitkan dengan pembaruan Islam di Timur Tengah, Kyai Ahmad Dahlan justru menampilkan karakter Islam moderat dan modern yang mengindonesia. Di dalamnya menurut Nakamura (1983) dan Van Niel terdapat orientasi kultural. Kyai Dahlan dalam pengakuan tokoh ilmuwan dan budayan Prof R. Ng. Purbatjaraka, pernah membolehkan kaum muslim abangan yang belum bisa shalat menggunakan bacaan Arab dengan bahasa Jawa sampai berkemampuan. Bukan Muhammadiyah yang keras dan galak. Deliar Noer (1996) menyebut Muhammadyah sebagai gerakan Islam modern yang fleksibel, berbeda dengan lainnya.
Transformasi Baru
Dalam lintasan sosio-hostoris yang panjang dan penuh pergumulan, memang menjadi suatu diskontinyuitas bila di kemudian hari ada fase “pengerasan” atau puritanisasai-ekstrem dalam proses Islamisasi di Indonesia, termasuk pascareformasi. Proses ini tentu dapat dijelaskan dari banyak perspektif, namun tidak menjadi harapan bagi masa depan Islam. Umat Islam Indonesia saat ini tentu perlu melakukan reorientasi agar proses pertumbuhan keislaman mutakhir tidak memutus matarantai dan arus utama Islam Indonesia berwajah kultural yang dinamis.
Islam masa depan sejalan dengan perkembangan zaman yang mengarah pada multikulturalisme yang membuana, meniscayakan transformasi yang kontinyu dari karakternya yang moderat dan kultural sekaligus beradaptasi dengan tuntutan dunia posmodern abad ke-21 yang meniscayakan nilai-nilai baru yang maju dan inklusif. Dalam apresiasi Esposito (1997), pengalaman yang menakjubkan tentang Islamisasi kultural di Indonesia akan tumbuh memainkan peran dalam kepemimpinan di dunia Muslim. Majalah Time (23/9/1996), bahkan memprediksikan sebagai “The New Face of Islam”, yang menerangi jalan menuju sebuah masa depan Islam yang besar.
Karenanya diperlukan transformasi yang dinamis antara persambungan Islam Indonesia di masa lalu dan kini ke masa depan yang adaptif pada perubahan menuju apa yang ditawarkan Tariq Ramadan (2004) sebagai muslim modern yang beradaptasi dengan lingkungan dia berada seperti menjadi Muslim Eropa, Muslim Amerika, dan sebaginya sehingga membumi di kawasannya. Islam perlu beradaptasi dengan lingkungan di mana kaum muslim hidup, bukan mengambil jarak dan berkonfrontasi, seperti kearifan pepatah Minang dan Melayu “Di mana bumi dipijak, Di situ langit dijunjung”. Islam yang membumi itu tentu tanpa terputus dari dan bahkan tetap terkoneksi dengan watak kesemestaan Islam sebagai agama rahmatan lil-‘alamin.
Dalam transformasi baru itu boleh jadi perlu pula proses revitalisasi kultural dari Islam generasi awal yang cenderung kultus pada tradisi, patrimonial dan feodalistik, dan komunaliitas yang meminjam istilah WS Rendra berkebudayaan “kasur tua”. Namun tidak mencerabut kebudayaan Indonesia secara serampangan dalam puritanisasi yang naif atau ekstrem. Proses transformasi dan revitalisasi Islam Indonesia yang mengindonesia, moderat, dan berkemajuan menjadi suatu keniscayaan jika Islam Indonesia berambisi menghadirkan model Islam ke pentas dunia dalam misi Islam rahmatan lil-‘alamin.
Proses transformasi itu mensyaratkan umat Islam Indonesia tidak membiarkan dirinya bangga berlebihan pada Islam Indonesia aseli “kasur tua”, sebaliknya Islam “luar” yang angkuh diri dan mencerabut keindonesiaan. Bersamaan itu penting menghilangkan apa yang disebut Carol Kersten (2019) sebagai muslim apologetics dan siege mentality. Kondisi dan mentalitas yang merasa terkepung, terzalimi, marjinalisasi, dan situasi korban konspirasi hanya akan membentuk mentalitas “deprivasi relatif”. Seraya kehilangan kekuatan dan kemandirian untuk hadir sebagai “umatan wasatha li-takunu syuhadaa ‘alan-nas” (QS Al-Baqarah: 143). Bukankah Nabi dan kaum muslimun juga berjuang dengan segala masalah dan rintangan yang sangat berat.
Proses transformasi Islam Indonesia yang membumi dan berkemajuan dapat mengurangi ketegangan dialektis yang selama ini terjadi dalam sejumlah fase sejarah dan perkembangan Islam Indonesia. Sekaligus membuka ruang sosiologis baru bagi rekonstruksi Islam Indonesia dalam memasuki dunia posmodern tanpa kehilangan karakter keislamannya yang mengindonesia dan keindonesiaannya yang Islami dengan tetap terkoneksi dalam watak universalitas Islam. Apalagi kini terjadi proses baru konvergensi Islam santri dan abangan maupun tradisional dan modern yang mengoreksi tesis dialektika Geertz. Optimisme harus dibangun menuju Islam Indonesia masa depan yang moderat, maju, dan membumi di negeri muslim terbesar ini.
Mudah-mudahan integrasi keislaman fase baru ini tidak terinterupsi oleh ledakan politik identitas dan letupan-letupan konflik politik ideologis di tubuh umat Islam maupun kebangsaan yang membuat arah gerak keislaman dan keindonesiaan menjadi mundur ke belakang. Di sinilah pentingnya keseksamaan mengelola orientasi gerakan-gerakan Islam Indonesia era mutakhir yang sangat beragam plus dinamika kebangsaan yang sarat masalah. Kondisi pelik ini menuntut kearifan para elite muslim maupun elit bangsa pada umumnya untuk tidak mendaur-ulang sentimen-sentimen politik-ideologis era 1950-an yang semestinya dikubur bersama sebagai penanda hijrah umat Islam Indonesia gelombang baru!