REPUBLIKA.CO.ID, oleh Agung Sasongko*
Indonesia dikenal dengan banyak talenta sepak bola. Sayangnya, bibit terbaik itu berguguran sebelum waktunya. Belum sempat menikmati sajian permainan dan prestasi golden generation, sudah bubar duluan.
Sebelum Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi balapan prestasi. Lebih dahulu mereka menjejaki level yang umumnya dilakukan para calon pesepak bola profesional. Messi lebih dulu mengenyam pendidikan sepak bola di La Masia.
Kiprah La Masia melahirkan bintang sepak bola menemui momentumnya ketika Johan Cruyff membangun tim impiannya. Pep Guardiola merupakan bagian tim yang merupakan asli didikan La Masia.
Dari sekian banyak jebolan La Masia yang kemudian menjadi bintang tidaklah banyak. Artinya apa, pembinaan serius saja belum tentu melahirkan banyak bintang, bagaimana tidak ada pembinaan?
Sebagaimana normalnya talenta baru, Messi melalui tim junior hingga akhirnya menjadi bagian penting. Bahkan, bakal berlabel legenda Barcelona.
Setali tiga uang, Ronaldo mengawali karirnya di Sporting Lisboa. Sebelumnya, sejumlah klub junior dibelanya. Pada level ini, klub raksasa Inggris Manchester United mengendus bakatnya. Di Old Trafford, Ronaldo masuk daftar pemain berpunggung nomor tujuh terbaik dimiliki United. Bicara prestasi, sudahlah.
Langkah dua bintang besar ini menurut saya telah melalui tahapan normal sebagai seorang bintang sepak bola. Kerja keras dan bakat dibarengi dengan sistem pembinaan muda yang bagus membuat keduanya merasakan keberhasilan dan popularitas. Tidaklah mungkin ujug-ujug menjadi pemain besar. Mata rantai yang hilang inilah yang harus segera ditemukan jalan keluarnya.
Saya kira, resepnya untuk menjaga pemain muda ini berada di jalurnya tentu membuat kompetisi yang berjenjang. Mulai dari usia dini, menengah, kampus, hingga akhirnya muncul pada draft yang kemudian akan menjadi pillihan klub profesional. Skemanya mirip sistem bola basket di Amerika, melihat dari luasnya wilayah dan sebaran klub sepak bola.
Memang ide memainkan pemain muda di kompetisi seketat Liga 1 perlu pertimbangan matang. Faktor kematangan emosional dan teknik menjadi landasannya. Seperti saya bilang tadi, tiba-tiba main comot saja pemain muda agar memenuhi kuota tentu bukan itu maksudnya.
Pemain muda ini sadar kemampuan mereka harus terus dipoles. Kepercayaan dan wadah menjadi sangat penting untuk mereka. Banyak sekali talenta ini, harus selesai di tarikan kampung. Paling mentok, ya main futsal. Masa depan di rasa realistis lantas banting stir, ada yang mungkin jadi ASN atau banyak pilihan kerjaan lain yang mau menerima mereka.
Karenanya, membuat skema membangun kepercayaan dan wadah ini yang harus dioptimalkan. Siapkan jalurnya dan kawal. Saya lebih percaya melihat keberhasilan sebuah tim nasional tak lepas dari tindakan nyata dalam pembinaan pemain muda.
Spanyol misalnya, begitu banyak talenta besar baru bisa mencicipi gelar juara dunia di media 2010. Mereka menjalani proses yang sangat panjang. Karena mereka punya wadah misalnya Barcelona B atau Madrid Junior. Kompetisi dibangun sedemikian rupa sehingga mereka tampil kompetitif. Ketika kompetisi berjalan, baru bicara timnas. Sepak bola Spanyol pun melalui masa keemasannya. Ini baru bicara sepak bola belum cabang olahraga lainnya.
Setelah jalurnya diamankan, mulailah atur lalu lintasnya. Manajemen olahraga memainkan peran penting disini. Lalu berikan fasilitas. Bicara fanatik sepak bola tidak perlu dirisaukan karena sudah menjadi modal awalan yang cukup. Yang pasti, investasi tak akan bohong. Usaha tidak akan khianati hasil.
Dani Pedrosa pebalap MotoGP pernah mengatakan kepada media seperti apa rahasia sukses 'Matador' mendirikan kerajaan olahraganya tak lepas dari keberhasilan pembinaan di usia muda. "Sukses ini membuktikan bahwa pembinaan para olahragawan di negara kami sejak muda berjalan dengan baik. Dan federasi pun memberikan dukungan yang penuh pada setiap cabang olahraga,"kata dia.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id