Senin 15 Jun 2020 06:13 WIB

Pramono di Antara Kasus Cebongan dan Modernisasi Alutsista

Warisan terbesar Pramono Edhie adalah pembelian tank Leopard dan helikopter Apache.

Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) periode 2011-2013, Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo.
Foto: @KRMTRoySuryo2
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) periode 2011-2013, Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo.

 REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra*

Langkahnya tegap. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Pramono Edhie Wibowo langsung menyapa wartawan begitu memasuki ruangan. Dengan mengenakan pakaian dinas harian (PDH) Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD), ia duduk di meja konferensi pers lantai dua Markas Besar AD (Mabesad), Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Puluhan media lengkap sudah menanti sesi konferensi pers pada 29 Maret 2013, yang dijadwalkan pukul 16.00 WIB.

Penulis ikut hadir meliput acara yang bakal mengakhiri kasak-kusuk di masyarakat tentang pemberitaan tewasnya empat penghuni Lapas Cebongan, Sleman tersebut. Ditemani komandan Pusat Polisi Militer AD (Puspomad) Mayjen Iran Syaefudin, komandan Pusat Intelijen AD (Pusintelad) Brigjen Teddy Lhaksmana, dan kepala Dinas Penerangan AD (Dispenad) Brigjen Rukman Ahmad, Pramono usai duduk sebentar, langsung menggelar pemaparan hasil temuan Tim Investigasi Kasus Cebongan. Sesi penjelasan berlangsung singkat dan padat.

Dari sesi konferensi pers itulah, untuk pertama kalinya Mabesad mengakui, keterlibatan pasukan Grup 2 Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dalam penyerbuan ke Lapas Cebongan. Dugaan adanya keterlibatan prajurit TNI AD benar terbukti lewat amunisi yang tertinggal di dalam sel. AD 1 pula yang mengakuinya. “Dari hasil temuan sementara, indikasinya ada peran oknum TNI AD yang bertugas di Jawa Tengah,” kata Pramono pada Jumat sore itu.

Menurut Pramono, informasi tersebut bersumber dari temuan Tim Investigasi Kasus Cebongan yang dipimpin Wakil Komandan Puspomad Brigjen Unggul K Yudhoyono. Tim terdiri berbagai unsur, yaitu polisi militer daerah, Korem 072/Pamungkas, Kodam IV/Diponegoro, Kopassus, dan Mabes AD. “Saya janji, siapa yang salah saya hukum. Siapa yang benar, saya bela. Itu prinsipnya,” kata KSAD ke-27 tersebut.

Singkat cerita, dari 12 prajurit yang terlibat penyerangan terhadap empat penghuni Lapas Cebongan, mereka dihukum sesuai dengan peran masing-masing oleh hakim Pengadilan Militer Yogyakarta. Ada empat berkas berbeda yang dibuat oditur militer dalam mengajukan tuntutan. Kasus itu pun akhirnya dituntaskan, sehingga publik tidak lagi bertanya-tanya tentang insiden Lapas Cebongan. Semua itu berkat perintah Jenderal Pramono, yang berupaya menegakkan keadilan bagi korban maupun pelaku dengan cara sesuai aturan.

Itulah sepenggal profil putra tokoh militer Indonesia, Letjen (Purn) Sarwo Edhie Wibowo tersebut semasa menjabat KSAD. Memang baru pada era Pramono lah, penulis berkesempatan meliput di Mabesad. Selama periode 2011-2013 menjadi KSAD, Pramono terbukti bisa mempercepat modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista). Dengan masa jabatan relatif singkat, yaitu 30 Juni 2011-20 Mei 2013, abituren Akademi Militer (Akmil) 1980, ini bisa membuat kebijakan yang warisannya sangat dirasakan TNI AD sekarang.

Pramono mengakui, alutsista Indonesia termasuk yang terbelakang, bahkan di tingkat Asia Tenggara. Di bawah kepemimpinannya, TNI AD akhirnya bisa mendatangkan MBT 2A6 Leopard dan helikopter AH-64E Apache. Kolaborasi apik antara Pramono bersama Wakil Menteri Pertahanan Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin menjadi kunci sukses TNI AD bisa mendatangkan alusista terkini dari Jerman dan Amerika Serikat (AS) itu. Adapun Sjafrie ditunjuk sebagai ketua high level committee yang memimpin rombongan meninjau pabrikan tank dan helikopter jenis serang tersebut.

Hadirnya 164 unit tank kelas berat Leopard membuat TNI AD setidaknya tak lagi dipandang remeh, dan dapat menimbulkan deterrence effect di kawasan. MBT Leopard sempat menjadi polemik lantaran dibahas dalam salah satu sesi debat calon presiden (capres) 2014. Kala itu, Joko Widodo (Jokowi) tidak setuju dengan pembelian Leopard, dan mendebat pernyataan Prabowo Subianto yang menjelaskan, pembelian tank asal Jerman itu sudah melalui kajian layak oleh TNI AD.

Jokowi merasa kehadiran tank Leopard tidak cocok dengan kontur jalan Indonesia. Dengan alasan memiliki berat 62 ton, tank tersebut bisa merusak jalan dan jembatan. Namun pada medio Desember 2014, Jokowi yang sudah menjadi presiden RI malah berfoto di atas tank Leopard ditemani KSAD Jenderal Gatot Nurmantyo dalam pameran alutsista di Monas. Dari situ terbukti, tank Leopard tidak merusak aspal sama sekali.

Hanya saja, ada satu program yang sempat direncanakan Pramono, dan hingga kini belum terwujud. Apa itu? Pengadaan helikopter Black Hawk yang tak kunjung terealisasi. Bisa jadi lantaran Pusat Penerbang Angkatan Darat (Puspenerbad) sudah diperkuat Apache, sehingga TNI AD tidak lagi ngoyo mendapatkan Black Hawk. Padahal, pada medio 2013, Pramono sudah mengunjungi pabrikan Sikorsky Aircraf yang menjadi produsen Black Hawk di Stratford, Connecticut, AS.

Karier lengkap

Jenderal (Purn) Pramono Edhie tergolong sebagai prajurit yang memiliki karier lengkap. Dia dibesarkan di Korps Baret Merah, Pramono akhirnya berdinas di ‘luar kandang’ saat terpilih menjadi ajudan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri pada 2001. Dia meninggalkan pos komandan Grup 1/Kopassus yang diembannya pada 1998-2001. Ketika menjadi ajudan Megawati, kakak iparnya, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maju di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004.

Rivalitas Megawati dan SBY yang panas kala itu, membuat Pramono dalam posisi sulit. Dia kerap mendapat sorotan. Dari berbagai pemberitaan media, ia akhirnya bisa menunaikan tugas dengan baik hingga masa jabatan Megawati berakhir pada 20 Oktober 2004. Selepas itu, Pramono yang sudah menempuh pendidikan Sesko TNI tidak langsung mendapat jabatan penting, meski kakak iparnya sudah menjadi RI 1. Pramono harus menduduki posisi staf sebagai Perwira Tinggi Staf Ahli Bidang Ekonomi Sesko TNI hingga 2005.

Barulah setelah itu, ia terus menduduki jabatan strategis. Di antaranya, Wakil Komandan Jenderal (Wadanjen) Kopassus pada 2005-2007, Kepala Staf Kodam (Kasdam) IV/Diponegoro pada 2007-2008, Danjen Kopassus pada 2008-2009, Panglima Kodam (Pangdam) III/Siliwangi pada 2009-2010, Panglima Kostrad pada 2010-2011, dan puncaknya menjadi AD 1 pada 2011-2013. Meski mendapatkan dukungan politik, karier yang dilalui Pramono terlihat wajar. Presiden SBY pun yang seharusnya punya hak prerogratif mendorong percepatan karier adik iparnya, sepertinya tidak digunakan.

Promosi yang dialami Pramono tidak bersifat vertikal, melainkan jalur yang biasa dilalui para perwira tinggi (pati) TNI. Alhasil, dia tiga kali menduduki jabatan Brigjen, dua kali posisi Mayjen, sekali jabatan Letjen, dan terakhir menjadi KSAD dengan pangkat bintang empat. Pramono pun melampaui capaian ayahnya, yang ketika dinas berakhir dengan pangkat Letjen. Meski begitu, Sarwo Edhie akhirnya mendapatkan gelar Jenderal kehormatan dari Presiden Soeharto atas pengabdiannya di dunia militer dan pemerintahan.

Jika merujuk perjalanan karier para KSAD, sangat sedikit di antara pati TNI AD yang pernah menjadi orang nomor satu di Kopassus, Pangdam, dan orang nomor satu di Kostrad. Dan, Pramono termasuk satu dari sedikit di antara jenderal yang pernah mengemban jabatan mentereng itu. Pramono mengikuti jejak Jenderal (Purn) Wismoyo Arismunandar yang menjadi KSAD periode 1993-1995.

Wismoyo pernah menjadi komandan Kopassandha (sekarang Danjen Kopassus) yang saat itu dijabat pati bintang satu atau Brigjen. Dia kemudian promosi menjadi Pangkostrad yang masih diduduki pati bintang dua atau Mayjen, selanjutnya promosi menjadi Pangdam IV/Diponegoro, Wakil KSAD, hingga ditunjuk sebagai KSAD menggantikan Jenderal (Purn) Edi Sudradjat yang naik menjadi Panglima ABRI. 

Berikutnya, selepas mengakhiri karier di militer pada 2013, Pramono aktif di Partai Demokrat. Dengan menjadi anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Pramono sempat mengikuti konvensi calon presiden (capres) 2014 yang diadakan partai bentukan SBY tersebut. Setelah itu, namanya jarang terdengar lagi di publik. Dia juga jarang muncul menghiasi media, meski masih aktif di partai berlambang mercy.

Tahu-tahu, tersiar kabar Pramono meninggal saat melakukan kunjungan pribadi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat pada 13 Juni 2020. Setelah jenazah dibawa ke rumah duka di Cikeas, Kabupaten Bogor, Pramono dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan pada Ahad, 14 Juni 2020 sekitar pukul 14.00 WIB.

Pemakaman dipimpin oleh empat eks KSAD, yaitu Jenderal Agustadi Sasongko, Jenderal Budiman, Jenderal Gatot Nurmantyo, dan Jenderal Mulyono. Selamat berpulang Jenderal!

*Penulis adalah wartawan Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement