REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Yusuf Maulana *
Ada beberapa peperangan yang langsung dipimpin Nabi Muhammad yang ternyata justru membuahkan kekalahan. Kekalahan dalam pertempuran ataupun peperangan itu biasa. Tapi, menjadi beda bila di tengah pasukan Muslimin yang menjadi panglima besar langsungnya adalah Nabi. Di medan Uhud, dan nyaris di Hunain, syubhat dan syak itu muncul di sebagian pasukan.
Kekalahan yang didera sementara di tengah mereka ada panglima yang seorang nabi dengan jaminan perlindungan Allah, mudah menggoyang sesiapa yang masih miliki jiwa rapuh. Kita hari ini tak sehebat para sahabat yang sempat didera guncang syak. Malah bisa jadi kita lebih parah atau turut pergi menyurut diri keluar dari barisan pasukan.
Di sinilah pelajaran Muslimin untuk berpikir, bertindak rasional. Bahwa kemenangan dan kekalahan itu tak semata-mata soal kesalehan puncak pada panglima besar. Adakah yang lebih meragukan dari keimanan nabi kita? Kekalahan bukan pertama-tama karena saleh atau tidaknya panglima utama, melainkan ada sesuatu yang salah di tubuh Muslimin.
Bila kesalehan panglima mampu menulari cepat di jiwa-jiwa guncang pasukan, kekalahan bisa dicegah dan bahkan berbuah kemenangan. Di Hunain terjadi ini, selepas Muslimin kalah akibat rapuh diri akibat jumawa dengan jumlah pasukan. Tapi, bagaimana bila kesalehan itu tak berhasil mencegah kerapuhan pasukan yang ada? Kekalahan adalah sebentuk pendidikan terbaik buat berpikir.
Begitulah Uhud mengajarkan bagaimana keluar dari keterpenjaraan diri akibat kekalahan yang dipicu tindakan tidak disiplin sebagian pasukan. Kekalahan dalam perang itu biasa. Namun, janganlah sampai kekalahan yang ada memenjarakan pikiran dan--terutama--cita-cita utama.
Kalau penguasa dan para pejabat publik kita hari ini lebih memilih mengajari bertindak pragmatis menyerah dari keadaan "perang" pandemi Covid-19, semestinya Muslimin jangan seturut menyerah dalam pikiran. Kita bukan pembeo satu rezim yang memang lemah dalam menegakkan cita-cita dan mudah dibui oleh kekalahan (tapi mudah juga lihai berkilah). Kita justru bukan dididik buat gampang "tawakal" yang tak lebih alibi enggan berpayah-payah menggalakkan riset dan berkorban dalam lanskap pengetahuan bagi kemanusiaan.
Sunnatullah kemenangan yang diturunkan Allah, rupanya tak semata "dimodali" kesalehan panglima utama pasukan, atau bahkan diri kita selaku prajurit.
Di titik ini, tafakur atas direbutnya Konstantinopel 29 Mei 1453, 567 tahun lampau, sekadar belajar mengagumi kesalehan sang panglima: Mehmed II. Yang bagi sebagian besar Muslim tentu "berat". Belajar melahirkan sang panglima itu penting; prosesnya bergenerasi dari lintas masa (ini sering dibahas dalam status saya).
Di sini perlu diingat juga bagaimana sunnatullah kemenangan dipikirkan, diikhtiarkan, dengan apik oleh Mehmed II. Bukan semata berpuas dengan kesalehan. Kurang apa kesalehan dari para panglima sebelumnya?
Di sini, hadits nubuwwah dan sekaligus apresiasi Nabi pada panglima penakluk Konstantinopel sebagai "sebaik-baik panglima" seyogianya bukan dihentikan pada soal "seperti apa" kesalehannya. Akan tetapi, lebih afdal dan realistis buat direpilkasi generasi kita: "bagaimana melahirkan secara kolektif", dan "bagaimana manifestasi kesalehan dengan kecerdasan melahirkan sunnatullah kemenangan".
Bahwa pertolongan Allah itu dekat pada Mukminin, itu benar adanya. Namun, jangan lupa, ini bukan premis jaminan Muslimin pasti dan selalu memang. Karena kemenangan bagi Muslimin tak semata dari capaian ditaklukkan atau dipukul mundurnya lawan. Toh dalam kekalahan Muslimin pun ada "kemenangan"; setidaknya dalam perspektif tarbiyah. Ada kemenangan yang ditunda dan diundur.
Di sini setiap Muslim dididik oleh Allah untuk dua hal: mensalehkan diri, sekaligus mencerdikkan diri dengan kesalehan tadi. Bagaimana transmisi iman bekerja dengan otak atau rasio di lapangan. Dan transmisi itu ditempuh dengan: belajar dan berdoa. Tidak cukup salah satu saja.
Oleh karena itu, kita akan dapati bagaimana gigih di luar ambang batas manusia hari ini seorang Mehmed II menempuh cita besarnya. Belajar tiada henti, berdoa tak pernah jemu. Simultan. Sayang, sebagian kita, sekurangnya penulis uraian ini, pernah terjerembab untuk sekadar puas pada salah satunya.
Sunnatullah kemenangan yang diturunkan Allah, rupanya tak semata "dimodali" kesalehan panglima utama pasukan, atau bahkan diri kita selaku prajurit. Tak berfaedah kalau hanya andalkan doa tapi malas membaca arus pemajuan zaman agar kemenangan itu diciptakan.
Tak ayal, dalam kronik peperangan Nabi, ada saja pelajaran bagaimana beliau menerima masukan dan inovasi para sahabat. Dari penguasaan sumber air sampai pembuatan parit. Padahal, masa itu Nabi merupakan panglima terbaik di jazirah Arab.
*Penulis "Mufakat Firasat", Pensyarah Perpustakaan Samben Yogyakarta