REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Sosok langka ini amat perlu dibaca. Atas kebaikan DR. Mohammad Sulthon Amien, pengusaha dan pengurus PWM Muhammadiyah Jawa Timur, permintaan saya untuk mendapatkan biografi Ir. Mohammad Nadjikh (8 Juni 1962-17 April 2020) susunan Tjahja Gunawan Diredja (mantan wartawan Kompas), Mohammad Nadjikh, Sang Teri Menggurita (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2020) cepat dijawab. Pada 20 April, buku itu telah saya terima. Ir. Nadjikh wafat pada 17 April 2020 setelah dirawat beberapa hari di Rumah Sakit Husada Utama, Surabaya.
Setelah biografi ini hampir rampung saya baca, kesimpulannya adalah: "Nadjikh bukan pengusaha biasa, melainkan pengusaha yang sering berada di luar kotak. Sebagian orang Muhammadiyah gagal paham tentang pribadi yang telah berjaya membangun imperium perikan an kelas dunia ini. Dia merangkak dari lantai yang paling bawah." Nadjikh, alumnus IPB tahun 1984, di samping sebagai ketua Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah, juga pernah menjadi pengurus Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), periode 2014-2019.
Semua sumber mengatakan bahwa Nadjikh, sekalipun bos kerajaan perikanan dan pengekspor besar ke berbagai belahan dunia, tetap rendah hati, pandai bergaul, dan sangat peduli dengan nasib para nelayan. Dengan PT KML (Kelola Mina Laut), Nadjikh punya staf dan karyawan sekitar 18 ribu orang dan membina lebih dari 350 ribu nelayan di seluruh nusantara.
Jika pada 1994, hanyalah antara satu-dua kontainer hasil bisnisnya yang diekspor saban bulan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, angka itu melonjak secara dramatis menjadi 150- 200 kontainer. (Mohammad Nadjikh, hlm. 114 dan hlm. 117).
Memang Nadjikh bukanlah pengusaha biasa. Dia fenomenal. Strategi bisnisnya sering menyimpang dari pola umum para pengusaha yang lain.
Berasal dari keluarga sederhana dari Desa Karangrejo, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Nadjikh anak sulung delapan bersaudara dari pasangan almarhum Moenardjo dan almarhumah Asnah. Desa ini dulunya terkenal miskin dan banyak malingnya.
Dengan usaha gigih Nadjikh, kini desa itu telah berubah menjadi desa yang semakin sejahtera dan aman. Saat ayahnya wafat, Nadjikh masih kuliah pada tahun terakhir di IPB. Ibu Asnah banting tulang untuk mendidik anakanaknya sampai suatu saat diambil alih oleh Nadjikh. Semua adiknya berhasil jadi sarjana di bidangnya masingmasing, padahal bangunan dapur rumahnya terpaksa dijual untuk sekadar menutupi biaya kuliah Nadjikh. Dan itu hanya cukup untuk setahun hidup di Bogor.
Bergumul dengan tekanan hidup yang berat inilah yang menyadarkan Nadjikh memutar otak untuk bisa bertahan secara mandiri di Bogor, tanpa bantuan orang tua. Nadjikh berhasil. IPnya tinggi karena memang sejak kecil sudah terlihat bahwa dia anak cerdas yang penuh bakti kepada orang tua.
Karena saya belum pernah kenal dekat dengan Nadjikh, kepada Sulthon saya kirim WA ini: "Pengusaha, sudah hampir separo buku tentang Nadjikh saya lalap dengan perhatian penuh. Pesan saya kepada penerus Nadjikh: Jaga, jangan sampai terjadi gempa bumi lokal dalam manajemen perusahaan. Bangun terus menerus kultur kekompakan, demi masa depan nelayan Indonesia yang semakin makmur."
Rupanya pesan ini disampaikan kepada Zainul Pekan (adik kandung Nadjikh). Inilah jawabannya: "Siap bapak. Kita setiap saat selalu berkoordinasi dan melakukan aksi dan konfirmasi. Nggak usah kuatir pak. Kita punya team yang cukup dan handal. Sudah ada pembagian dari team tersebut."
Tentu saja saya lega dengan jawaban ini untuk menepis kemungkinan bisnis keluarga tidak jarang hancur ketika ditinggal pendirinya. Apalagi, sang pendiri adalah sosok yang sangat kreatif, inovatif, dan dominan, sesuatu yang tidak mudah diwariskan.
Nadjikh meninggalkan istri seorang dokter hewan dan empat anak yang sudah merangkak dewasa. Bagi saya, tipologi pengusaha pribumi yang berhasil ini perlu ditiru oleh anak-anak muda Indonesia agar mentalitas inlander yang suka merengek dihalau jauh-jauh sekarang dan untuk selama-lamanya dari negeri ini. Inilah kesaksian sahabat saya, pengusaha DR. Sudhamek Agoeng Waspodo Soenjoto, teman sekerja Nadjikh di KEIN: "Beliau berangkat dari modal hanya 15 juta buya. 2019 salesnya sudah Rp 4 T lebih."
Akhirnya, filsafat bisnis Nadjikh berikut ini sebenarnya tidak ruwet amat: "Sebagai entrepreneur, kalau mau sukses harus bersedia turun ke lapangan, bersedia menawarkan ini-itu. Bisnis tak akan berjalan kalau urusan gengsi menjadi pertimbangan utama. Sindrom ini terutama akan menjangkiti pengusaha pemula yang sebelumnya merupakan seorang profesional atau karyawan mapan. Biasanya ada semacam perasaan gengsi untuk turun ke bawah." (Ibid., hlm. 86).
Itulah sekilas catatan tentang Ir. Mohammad Nadjikh yang terasa terlalu cepat meninggalkan kita semua. Kematiannya ditangisi ratusan ribu para nelayan. Semoga di ujung perjalanan duniawinya, pengusaha hebat ini mendapatkan husnul khatimah, aamiin.