Rabu 22 Apr 2020 05:03 WIB
Norwegia

Kisah Dari Norwegia: Cara Apresiasi Guru Untuk Murid

Cara guru di Norwegia memberi apresiasi terhadap murid

Cara guru di Norwegia memberi penilaian terhadap murid.
Foto: Savitry Icha Khairunnisa
Cara guru di Norwegia memberi penilaian terhadap murid.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Savitry Icha Khairunnsia, Penulis Buku dan WNI Tinggal Di Norwegia

Saya ingin bercita tentang cara guru di Norwegia mentransfer ilmu kepada muridnya. Ini terkait dengan apa yang terjadi kepada anak saya Fatih yang bersekolah di negeri ini. Saya pun telah menuliskan soal ini di media sosial.

Syukurlah selain pujian dan doa untuk Fatih, ternyata ada beberapa teman yang jeli memperhatikan komentar guru-guru Fatih. Dan saya jadi ingin cerita khusus tentang budaya guru di negara yang kini kami tinggali dalam cara memberi apresiasi atas hasil kerja murid.

Sejak Fatih kelas 1 SD, kami terbiasa menerima "surat cinta" guru. Ditulis dengan tangan, kadang disertai emoji baik atau hebat. Ujaran seperti "kjempebra" [very good], imponerende [impressive], så flink [so smart], dan du har full kontroll [you have full control (over the subject)], selalu kami dapatkan tiap kali Fatih membawa pulang PR atau hasil ulangannya.

Tentu bukan semata pujian dan pujian. Tak jarang ibu / bapak guru membuat catatan koreksian seperti: tulisan harus lebih rapi, hati-hati mengerjakan soal, atau perhatikan penggunaan tanda baca dan lainya ketika memberi penilaian untuk essay.

Sistem penilaian di Norwegia memang termasuk unik. Selama 7 tahun masa SD, murid tidak akan menerima nilai akademik dalam bentuk angka. Rapor pun tidak ada angka yang menunjukkan nilai (apalagi ranking) sama sekali. Masa SD adalah masa di mana pondasi pendidikan dan pengajaran harus dikuatkan. Murid harus dibuat senang untuk belajar, tanpa dibebani keharusan meraih nilai bagus.

Jadi ketika ulangan pun, hasil yang diterima bukan nilai angka atau huruf, tapi feedback dari guru.
Apakah si anak sudah memenuhi target pengajaran minggu / bulan / semester ini atau belum. Hal-hal apa yang harus dipertahankan dan diperbaiki. Guru juga selalu terbuka untuk menerima pertanyaan atau bahkan "protes" dari murid atau orangtua tentang hasil penilaiannya. Tentu disampaikan dengan cara yang baik, ya. Nggak pakai acara ngamuk-ngamuk apalagi sampai membully guru.

After all, nilai akademik selama SD memang nggak ada pengaruhnya. Toh semua murid pasti lulus. Bahkan sebelum lulus, mereka sudah tau akan lanjut ke SMP mana. Itu tugas Pemda untuk mendaftarkan murid secara otomatis. Seperti halnya SD, murid akan melanjutkan ke SMP yang terdekat jaraknya dari rumah.

                              *****

Sistem penilaian baru diberlakukan ketika masuk SMP.  Skala penilaiannya dengan angka 1-6 (1 terendah, 6 tertinggi). Dengan variasi seperti 5-, 4+, 6-, dsj. Guru akan memberi detail angka di tiap soal. Nilai yang kemudian akan dihitung jadi nilai total.


Semua ini berlaku untuk PR maupun ulangan. Anak saya, Fatih juga sudah terima rapor sekali, bulan Desember kemarin. Alhamdulillah nilai rata-ratanya 5,5. Kelemahan Fatih ada di pelajaran Keterampilan dan Olahraga.

Anyway, kembali ke soal komentar tertulis dari guru. Di SMP pun, guru bukan sekadar memberi nilai. Komentar tertulis tetap selalu menyertai. Seperti guru bahasa Perancis yang terkesan karena Fatih bisa menulis essay singkat dengan baik tanpa bantuan kamus. Atau, guru bahasa Inggris yang mengatakan bahwa Fatih menguasai subjek dengan baik. Ceritanya mengalir, nyambung antara paragraf satu dan lainnya, tulisannya enak dibaca. Ibu guru hanya mengingatkan supaya Fatih lebih memperhatikan hal-hal kecil namun penting seperti tanda koma.

Bukan hanya ulangan, PR pun tak luput dari feedback. Seperti salah satu foto ini. Pak Guru matematika mengomentari metode Fatih dalam mengerjakan soal aljabar. Kata Pak Guru, metode Fatih dan metode yang diajarkan sekolah sebetulnya sama.

Namun Pak Guru mengakui dengan besar hati, bahwa cara Fatih lebih efektif. Pak Guru berjanji bahwa cara Fatih itu akan dibahas di kelas ketika sekolah dibuka kembali.

Betapa senang hati Fatih. Bundanya juga senang, karena sebetulnya cara yang dipakai adalah cara Bunda, hasil pendidikan Indonesia puluhan tahun lalu.

Pujian, atau lebih tepatnya encouragement (penyemangat) seperti ini mungkin kelihatan remeh. Nggak lebih penting dari memberi nilai.

Namun buat guru-guru di Norwegia, feedback mereka punya kekuatan luar biasa untuk meningkatkan kepercayaan diri dan semangat murid untuk terus belajar dan berprestasi.  Feedback yang ditulis tangan / diketik dan ditujukan secara personal kepada tiap murid, sangatlah bermakna. 


Itu artinya guru sudi meluangkan waktu khusus untuk mengevaluasi kemampuan muridnya, satu persatu. Memikirkan kata-kata yang bisa jadi masukan yang konstruktif. Lalu menuliskannya dengan sepenuh hati.
Murid yang menerimanya berasa dapat surat cinta. Saya yang ikutan baca aja juga terharu.

                            *****

Mungkin memberi apresiasi tertulis adalah panduan dari pihak sekolah. Bisa jadi hal itu didapat para guru ketika mereka menjalani pendidikan guru. Atau mungkin memang sudah tradisinya demikian.

Tradisi menghargai pekerjaan murid, sekecil apapun itu. Penghargaan dan penyemangat yang diberikan secara kontinyu akan membentuk karakter murid dalam jangka panjang. Semangat untuk terus rajin belajar dan meningkatkan prestasi.

Karena tugas guru bukan sekadar mentransfer ilmu pengetahuan, tapi juga membentuk karakter generasi penerus bangsa.


Itulah betapa mulianya pekerjaan dan jasa para guru di manapun.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement