REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani*
Laga Real Madrid vs Barcelona yang kerap digelari El Clasico pekan lalu menyisakan cerita insiden konflik internal antara asisten pelatih Eder Sarabia dan Messi cs selain kekalahan dua gol tanpa balas Barca. Saat media-media Spanyol dan kebanyakan fan Barca membingkai cerita Sarabia vs Messi cs sebagai akibat dari ulah asisten Quique Setien itu, saya mencoba memberikan perspektif berbeda.
Semua terungkap ketika rekaman video milik Movistar beredar dan viral di media sosial beberapa hari setelah laga kekalahan Barca di Santiago Bernabeu. Dari bangku cadangan Barca, Sarabia tertangkap kamera kerap ngomel dan berteriak kepada pemain Barca yang malam itu memang bermain buruk. Kata-kata makian bahkan kotor keluar dari mulut Sarabia berdasarkan transkrip hasil teknik lips-reading yang tertera pada video itu.
Sarabia selalu terlihat kesal jika striker Real Madrid, Karim Benzema, berhasil mengacak-acak lini pertahanan Barca. Menyelingi aksi makiannya kepada Messi cs, Sarabia sesekali berbisik kepada Setien bahwa bek-bek Barcelona terlalu memberikan ruang gerak kepada striker-striker Madrid. Puncak kekesalan Sarabia paling terlihat kala Antoine Griezmann gagal mengonversi peluang emas menjadi gol pada suatu kesempatan.
Dalam rezim kepelatihan Barca saat ini, Setien dan Sarabia tampak berbagi peran pada setiap pertandingan. Jika Setien sering terlihat kalem duduk di bangku cadangan sebagai pemikir dan peramu taktik, Sarabia menerjemahkan hasil pemikiran Setien lewat aksi atraktifnya memberikan instruksi dari pinggir lapangan.
Dua peran berbeda antara Setien dan Sarabia itu sebenarnya jamak terjadi pada laga-laga Barca, bahkan sejak mereka masih bersama di Real Betis. Sesuatu yang mestinya biasa saja menjadi aneh dan memicu konflik skuat pelatih dan pemain setelah rekaman video Movistar beredar ke publik. Para pemain Barca dikabarkan tidak terima dengan gaya dan langgam Serabia pada El Clasico. Media Spanyol termasuk El Periodico melaporkan Sarabia mendapat kecaman dari para pemain.
Untuk meredam publikasi buruk soal ketidakharmonisan internal klub, Setien akhirnya harus tampil ke publik dan mengucapkan permintaan maaf mewakili Sarabia. Setien bahkan berjanji akan meminta Sarabia tidak mengulangi "kesalahan" pada laga-laga Barca ke depannya.
Kesalahan? Buat saya apa yang dilakukan Sarabia ya memang sudah semestinya dilakukan oleh seorang asisten pelatih. Itulah salah satu alasan mengapa para pemain Barca digaji hingga miliaran rupiah setiap pekannya, yakni tunduk dan patuh atas instruksi tim kepelatihan.
Yang muncul ke permukaan dari hasil konflik antara skuat Barca dan Sarabia mencerminkan betapa kuatnya pengaruh para pemain di klub. Setien yang sampai harus membuat permintaan maaf secara resmi kepada pers demi menjaga citra klub menunjukkan "kekuatan" skuat La Blaugrana yang dipimpin Messi saat ini.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa beberapa pemain inti di Barcelona saat ini disebut punya pengaruh besar dalam mengambil keputusan. Bahkan, sampai muncul julukan Club de Amigos atau Friends FC bagi Barca akibat peran para pemain inti itu, baik di dalam maupun luar lapangan. Mereka dikabarkan sampai punya hak untuk mengontrol bursa transfer, memilih starting XI, dan keputusan strategis klub lainnya.
Lionel Messi sang kapten berulang kali menegaskan bahwa dirinya tak punya kewenangan khusus sehingga menolak disebut sebagai "diktator" dan bagian dari Club de Amigos. Namun, bantahan Messi itu kerap dibalas dengan rentetan ulasan di media tengang bagaimana tak kuasanya beberapa pelatih Barcelona melawan tekanan dari dalam klub sampai akhirnya memilih mundur meski performa klub sebenarnya sedang tak jelek-jelek amat.
Mereka yang akhirnya hengkang bisa dibilang bukan pelatih kaleng-kaleng. Sebut saja Tata Martino, Luis Enrique, hingga terakhir Ernesto Valverde. Baik yang hengkang karena mundur maupun dipecat, menurut beberapa laporan media Spanyol, selalu ada peran Club de Amigos dalam pengambilan keputusan terhadap nasib pelatih.
Satu pelatih yang sukses melatih Barca dalam masa relatif lama dan mengangkat Messi cs ke puncak prestasi baik di Spanyol dan Eropa adalah Pep Guardiola. Seperti Sarabia, Guardiola adalah tipe pelatih yang tidak bisa hanya diam duduk di bench saat para pemainnya berlaga. Mungkin, bedanya, Guardiola begitu dihormati dan ditakuti oleh para pemain, termasuk Club de Amigos.
Gaya memimpin Guardiola tak berubah di Manchester City, klub yang dibuatnya dua kali juara Liga Primer Inggris berturut-turut. Guardiola tidak pernah memuji pemain setinggi langit, tetapi selalu bersikap keras. Bahkan, terhadap pemain yang mencetak gol dalam laga, Pep akan selalu bilang, “Apa yang kamu lakukan tadi bagus, tetapi besok kamu bisa lebih baik dari tadi.”
Di Liga Primer juga ada pelatih dengan gaya selalu berdiri di pinggir lapangan, memberikan instruksi tiada henti, dan sesekali memaki, yakni pelatih Liverpool Juergen Klopp. Liverpool pun kini memetik buah dari karisma dan ketegasan Klopp di pinggir lapangan, yakni menjadi juara Liga Champions dan untuk pertama kalinya dalam 30 tahun terakhir the Reds akan merasakan gelar Liga Primer Inggris.
Menyitir mantra masyhur Sir Alex Ferguson, “Tidak ada pemain yang lebih besar dari klub,” menurut saya, seperti itulah idealnya sebuah klub dalam dunia sepak bola modern saat ini. Sehingga, saya pun merasa apa yang terjadi di Barcelona, khususnya pascainsiden Sarabia vs Messi cs, adalah sesuatu yang norak dan tidak mencerminkan slogan Barca, "Mes que un club (lebih besar daripada klub)".
*penulis adalah Jurnalis Republika.