Rabu 04 Mar 2020 13:41 WIB

Menasehati Ataturk

Attaturk tahu betul dirinya sosok lemah. Ia hanya memiliki fantasi bagaimana membuang jauh citra kuno dan tertinggal dari setiap warisan sang khalifah.

Mustafa Kemal Ataturk
Foto:

Balik lagi ke sosok Rasyid Ghalib. Dalam suatu pertemuan, diundanglah ia. Kali itu Rasyid menjabat sebagai Menteri Pendidikan. Rasyid datang ke istana sudah menyadari posisinya. Ia merasa tidak enak hati mengingat kejadian berdebat dengan lelaki yang menahbiskan diri sebagai Ghazi. Perasaan itu mungkin semacam firasat.

Betul saja, tiba-tiba Ataturk memerintahkan pengawalnya untuk membawa keluar Rasyid. Dalam versi kesaksian yang lain, Rasyid diangkat para pengawal dan didudukkan di kursi dekat Ataturk. Tiba-tiba, Rasyid diturunkan dari kursi itu.

“Kembalikan lagi ke tempatnya semula!” titah Ataturk kepada para pengawal. “Doktor, seperti itulah kami. Kami mengangkat seseorang seperti itu dan menurunkannya seperti itu juga,” ujarnya pada Rasyid.

Atas kejadian itu, Dhabith berkesimpulan singkat, “Sesungguhnya Ataturk itu manusia yang sangat pengecut!”

Ataturk dikabarkan tidak berani berhadapan dengan Rasyid. Tapi ia tahu caranya menjatuhkan sang lawan. Sama halnya dengan para intelektual yang lain, Ataturk memilih untuk merontokkan wibawanya. Kali ini, taktik buat membalaskan sakit hati pada kelancangan Rasyid Ghalib adalah dengan menaikkannya sebagai menteri lalu menjatuhkannya pada saat tepat. Dan inilah yang kelak terjadi.

Rasyid Ghalib yang disebut-sebut sebagai orang pertama yang berani mengangkat kepala di hadapan Ataturk ketika semua orang dipaksa untuk menyembahnya. Sayang, wibawa Rasyid runtuh cepat kala ia menjabat di kementerian hingga berujung derita sakit dan kematian.

Keberanian Rasyid Ghalib adalah awalan yang baik. Ia jadi pembeda ketika banyak orang berilmu dipaksa meruntuhkan kewibawaan diri. Pilihan untuk tunduk atau menjilat dihadirkan dengan risiko di depan mata.

Sang Ghazi tidak sekadar otoriter, tapi juga bertindak bak Tuhan. Di saat itu, tidak banyak yang berani menentang. Memilih sadar untuk berbeda hanya berarti menyetor dera siksa atau malah justru nyawa.

Ataturk tahu betul dirinya sosok lemah. Ia hanya memiliki fantasi bagaimana membuang jauh citra kuno dan tertinggal dari setiap warisan sang khalifah. Ia inginkan sebuah tatanan baru ala Barat, yang diserapnya habis-habisan. Semua yang berbau ajaran keyakinannya (tentu saja: Islam) malah dicampakkan. Tidak jelas apakah ia masih beragama ataukah tidak. Atau jangan-jangan benarlah judul buku yang dituliskan Abdul Latip Talib, pengarang novel sejarah terkemuka dari Malaysia, bahwa Ataturk itu “Penegak Agenda Yahudi”.

Rasyid Ghalib sendiri hadir mewariskan satu ironi sekaligus tragedi tentang orang-orang pandai yang meniti di kancah kekuasaan. Ternyata ia memang belum selevel dengan Said Nursi, sang ulama terkemuka yang juga berani menasihati Ataturk akan kelancangannya merobohkan sendi Islam. Ternyata istiqamah pada zaman penguasa lalim menuhankan diri tidak cukup di awal. Keberanian yang ada tentu tidak ingin dibiarkan penguasa. Akan ada tekanan dari pelbagai penjuru untuk menghentikan keberanian sang alim.

Dan warna putih sampul Cagaptay seolah selarasi suasana mengasa: apa yang semestinya hari ini diperbuat Muslimin. Perbuat atas pelajaran di ujung jatuhnya Ottoman.

TENTANG PENULIS: Yusuf Maulana, Pemilik Pustaka Rumah di Samben, Bantul, DIY

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement