Selasa 08 Oct 2019 03:22 WIB

Saat Produk Rokok dan Tembakau Diblokir oleh Android

Sekalipun sudah diblokir produk rokok tetap bisa diakali untuk dibuka.

Nidia Zuraya
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya*

"Lah kok nggak muncul ya?," kata suami saya saat ia mengetik kata kunci cerutu dan rokok di kolom pencarian produk di laman salah satu marketplace.

Pesan selanjutnya yang muncul di layar gawainya adalah: produk tidak ditemukan. Mohon coba kata kunci yangn lain atau yang lebih umum. Hal serupa juga terjadi saat saya mengetik kata kunci vape atau rokok elektrik.  

Ketika saya tanyakan perihal menghilangnya keyword rokok dan/atau cerutu kepada salah seorang pedagang produk tembakau yang ikut membuka lapak di marketplace, saya mendapat jawaban: "Diblokir sama Shopee kak. Ini info terbaru kak, mulai 19 September 2019, produk tembakau, rokok elektrik, dan turunannya tidak lagi bisa dimunculkan pada seluruh aplikasi Android, termasuk Shopee versi Android."

Namun, menurut si pedagang, pembeli tetap bisa melakukan pencarian produk tersebut di Shopee melalui mobile site, iOs, dan desktop.

Sementara pedagang lainnya menyarankan saya untuk mengganti kata kuncinya. "Kata kuncinya nggak bisa cerutu. Pakai 'lisong' kata kuncinya."

Dan, benar saja ketika saya mengetik kata kunci 'lisong' (seperti yang disarankan si pedagang), di layar gawai langsung muncul deretan produk rokok cerutu.

Larangan menjual produk tembakau, rokok elektrik dan produk turunannya di aplikasi Android ini menurut penjelasan dari pihak marketplace merupakan kebijakan global baru dari Google Play. Di mana aplikasi dilarang memfasilitasi penjualan produk turunan tembakau seperti rokok elektronik dan cairan vape dalam platform Android.

Sebelumnya, larangan memajang produk rokok sudah diterapkan kepada pengusaha ritel modern. Pada awalnya, aturan larangan display rokok ini mendapat penolakan.

Larangan tersebut dianggap menurunkan penjualan produk rokok di ritel modern hingga 30 persen. Namun, kini suara-suara penolakan tersebut menghilang.

Di Indonesia, selama bertahun-tahun industri produk tembakau menjadi andalan penerimaan negara. Tak hanya itu, industri ini juga menjadi sektor industri yang banyak menyerap tenaga kerja setelah industri tekstil dan produk tekstil.

Menurut data Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, penerimaan terbesar Bea Cukai pada 2018 disumbang oleh penerimaan cukai rokok. Tercatat penerimaan cukai tahun lalu mencapai Rp 159,7 triliun, yang terdiri dari cukai rokok Rp 153 triliun, minuman (beralkohol) Rp 6,4 triliun dan etil alkohol Rp 0,1 triliun, serta cukai lainnya Rp 0,1 triliun.

Sementara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat, total tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri hasil tembakau sebanyak 5,98 juta orang. Terdiri dari 4,28 juta adalah pekerja di sektor manufaktur dan distribusi, serta sisanya 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan.

Namun, angka penyerapan tenaga kerja yang dirilis Kemenperin ini jauh lebih kecil dari data yang dimiliki Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI). Menurut data GAPPRI, industri hasil tembakau menyerap tenaga kerja sebanyak 7,1 juta jiwa yang meliputi petani, buruh, pedagang eceran, dan industri yang terkait.

Seiring perkembangan zaman dan kesadaran masyarakat perihal kesehatan organ jantung dan paru-paru mereka, kampanye negatif banyak dilayangkan kepada pelaku industri produk tembakau di Tanah Air.

Dari sisi kebijakan, pemerintah pun mengeluarkan sejumlah aturan. Mulai dari larangan iklan rokok di internet, rencana kenaikan tarif cukai rokok mulai Januari 2020 hingga kasus yang baru-baru ini ramai di lini masa yakni polemik soal eksploitasi anak di audisi umum beasiswa bulutangkis antara PB Djarum dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Menyikapi hal tersebut, para pelaku industri rokok mengaku pasrah. Setidaknya itulah ungkapan yang disampaikan sejumlah pengusaha rokok golongan kecil di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, terkait keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 23 persen pada 2020.

 

Jika sekarang platform marketplace juga ikutan menghadang produk tembakau, apakah ini bakal menjadi awal dari matinya industri rokok di Tanah Air? Jika saat itu tiba, apakah pemerintah siap untuk kehilangan sebagian pendapatan untuk kas negara dan menghadapai lonjakan angka pengangguran di dalam negeri?

   

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement