Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
"Sriwijaya itu fiktif?,’’ Begitu pernyataan budayawan Betawi yang kini menjadi viral perbicangan di media sosial. Banyak orang yang kelabakan dan tak terima. Tapi banyak pihak juga yang bersikap biasa saja karena penulisan sejarah itu adalah ilmu pengetahuan yang tak dapat dimutlakan, apalagi dikriminalkan.
Di sini juga ada pendapat bila sejarah itu layaknya rumpun ilmu sosial (sastra) alias bukan eksakta yang bersifat serba 'mutlak-mutlakan'. Sejarah adalah yang dalam bahasa Inggris kadang disebut juga istilah yang mirip ‘plesetan’ his story’ atau cerita versi dia': Yang berkuasa (pemenang) itulah yang menuliskan sejarah. Tak ada cerita yang kalah itu menuliskan sejarah. Istilahnya keren ala Inggirs: ‘The winner take all’ atau dalam kata yang gampang sang pencabut ubi itu berhak ambil semuanya tak hanya daun, bahkan sampai umbi di akarnya.
Pada sisi lain, apa yang dikatakan Ridwan juga sebenarnya bukan barang baru. Pada dekade 1980-an lalu ada pernyataan yang mirip-mirip. Kali itu datang dari 'datuk' cendikiawan Malaysia yang kelahiran Bogor: Prof DR Nuquib Alatas. Ada salah satu pendapatnya yang kala itu juga menjadi perhatian publik, meski tak seramai seperti sekarang yang berada dalam era digitial komunikasi, Saat itu Nuquib mengatakan: Sejarah Indonesia memang berusaha menyembunyikan atau dpisah dari peran Islam!
Saat itu juga muncul pro dan kontra. Ini misalnya merujuk pada penentuan Boedi Oetomo yang disebut sebagai ‘pelopor pegerakan nasional’ seperti yang tertulis pada buku sejarah resmi yang diajarkan di bangku sekolah.
Namun yang kontra membantah bila sebenarnya pelopor pergerakan nasional adalah Sarikat Dagang Islam (yang kemudian berubah) jadi Sarikat Islam karena berdiri sejak awal tahun 1900-an, atau 1904. Jadi beda dengan Budi Utomo yang berdiri pada 20 Mei 1908.
Maka tak beda dengan sekarang, pihak pro dan kontra tentu saja melakukan perang klaim, dan celakanya sejarah tetap tak berubah, minimal memuat kontroversi soal ini. Padahal Boedi Oetomo didirikan nyata-nyata khusus untuk ‘orang Jawa’ dan ingin membangunkan kebesaran budaya dan bahasa Jawa. Ini berbeda dengan SDI/SI yang lebih menasional, lintas suku, dan ada di mana-mana. Bedanya yang satu memakai dasar Islam dan yang satu memakai dasar Jawa yang kemudian ‘diam-diam’ menjadi budaya Indonesia karena mayoritas elit Indonesia berasal dari etnis ini.
''Mengapa Islam. Ya kala itu yang satu-satu alat ekpresi yang mempersatukan tanah air dan rakyat jelata di dalam meawan kolonial adalah Islam. Bukan dengan ekpresi kedaerahan,'' kata sejarawan DR Taufik Abdullah dalam sebuah perbincangan di Bandara Minangkau beberapa tahun silam.
Belakangan juga ada gugatan senada. Ini misalnya soal sosok pahlawan pendidikan nasional. Ada ihak yang mempertanyakan mengapa harus Ki Hajar Dewantara? Mengapa tidak KH Ahmad Dahlan yang telah meninggalkan ratusan univerisitas dan ribuan sekolah yang kini eksis di seluruh wilayah Indonesia. Peninggalan KH Ahmad Dahlan kini begitu eksis melebihi Ki Hajar Dewantara, mengapa tidak dijadikan bapak pendidikan nasional?
Tanggapan lain juga saya dengar persis di hari Jumat pekan lalu tersebut. Dalam sebuah diskusi di Galeri Cemara, Menteng, soal sosok Inggit Garnasuh ada juga gugatan mengapa peran Kartini dilebih-lebihkan sebagai pengajur emansipasi wanita. Dan pernyataan seperti ini pun sebenarnya 'agu lama' karena dahulu sudah dikatakan juga oleh mendiang sejarawan UI, Prof DR Harsya Bakhtiar.
Gugatan itu begini: ada yang mengatakan sejarah itu nggak adil dengan RA Kardinah. Mengapa Belanda hanya ngangkat Kartini? Mengapa sejarawan tidak menulis tentang Kardinah karena sebenarnya yang mewujudkan gagasan Kartini tentang sekolah untuk perempuan itu dia. Bahkan Dewi Sartika, menurut cerita tutur masyarakat Jawa Barat, melakukan studi banding dengan mengunjungi Kardinah sebelum membuka sekolah untuk kaum perempuan. Kardinah adalah aktivis pendidikan perempuan. Dia juga terlibat dalam pengumpulan tulisan Kartini yang merupakan kakaknya."
Pertanyaan soal Kartini dan Kardinah itu sebenarnya patut juga terus diajukan. Sebab, sudah lama ada bila Kartini di pahlawankan itu akibat kebijakan etis pemerintahan kolonial Belanda. Mereka ingin agar ada sosok pejuang perempuan. Uniknya, segala ketelibatan Kartini dengan guru spiriritualnya 'Syekh Darat' yang menerjemahkan Alqurand ditiadakan. Belanda terlihat khawatir bila sosok Kartini menjadi Islami. Maka Kartini lebih citrakan sebagai bangsawan Jawa meski ini kemudian diprotes oleh Pramoedya Ananta Toer dengan novelnya yang terkenal "Panggil Aku Kartini Saja'.
Pada saat yang sama dalam diskusi mengenai sosok Inggit Garnasih juga ada gugatan terhadap penulisan sejarah. Ini mengingat jasa begitu besar yang diberikan oleh perempuan Sunda yang mendampingi Soekarno hidup dalam pembuangan dan sebagaian besar masa perjuangannya. Gugatannya sangat mengenai dan menghujam langsung ke soal kebenaran sejarah: ’’Para pendiri tokoh pergerakan pendiri bangsa semua mengakui Inggitlah ibu mereka. Meski tak berpendidikan formal (Inggit adalah anak pesantren dan bapaknya kyai di Tatar Sunda dan sebeeum kenal Sukanro, Inggit bersama suamianya sempat terlibat dalam pergerakan nasional Sarikat Islam).
''Mengapa Inggit tidak juga diakui sebagai pahlawan nasional. Padahal para tokoh di zaman pergeraan itu Inggitlah yang menyediakan makan dan tempat menginap selama ada diksusi politik bersama Soekarno. Selain itu dialah yang mencarikan uang kepada Soekarno dan juga kerap membagikan uang kepada setiap aktivis pergerakan nasional yang datang ke rumahnya sebagai bekal perjalanan."
"Jadi lebih besar mana jasa Inggit yang mendampingi Soekarno dalam kepahitan perjuangan dan pembuangan, dari pada dengan Fatmawati yang hanya menjahit bendera dan langsung bisa hidup di sisi Sokerno ketika mulai memasuki Istana atau dipuncak kegelimangan? Atau Inggit tak diakui sebagai pahlawan karena oran biasa dan hanya berpendidikan pesantren dan tak bisa baca tulis huruf latin?"
Dalam diskus itu kemudian juga terkuak bagaimana sebuah gelar pahlawan akan diberikan serta bagaimana lika-liku perdebatannya sebelum seseorang diakui negara sebagai pahlawan. Berbagai soal tersibak, misalnya bagaimana kontroversi yang timbul ketika hendak memberikan gelar pahlawan kepada sosok M Nastir, Syafrudin Prawiranegara, Ki Bagus Hadikusimo, Tan Malaka, Kasman Singodimedjo, dan tokoh bangsa lainnya. Kala itu pun muncul kesadaran dibenak para pengusul bila sejarah dan politik memang bersisian layaknya keping mata uang.
Dan tak hanya soal Sriwijaya dan sosok pahlawan dalam sejarah nasional, sosok kerajaan Majapahit hingga Gajah Mada juga dipertanyakan. Di sini pertanyaannya adalah apakah kerajaan Majapahit adalah laksana sebuah imperium kelautan? Sedangkan pada Gajah Mada pertanyaanya adalah apakah Gajah Mada sosoknya seperti ada dalam buku-buku sejarah sekolah atau teks babon sejarah 'resmi'?
Dan segala soal tersebut pun sudah ramai dan kemudian menghilang begitu saja. Yang pasti soal Majapahit ini muncul berkat tangan M Yamin dan juga peran Bung Karno yang ingin memompa semangat kebesaran Indonesia. Pikiran mereka terindikasi bahwa layaknya manusia, bangsa juga harus punya suatu mitos untuk harga diri: kalau orang Eropa bisa besar karena punya masa lalu imperium Romawawi (dan puasa peradabannya Yunani), Indonesia juga punya masa lalu yang gemilang yakni Majapahit dan Sriwijaya.
''Jangankan soal Majapahit dan Sriwijaya, M Yamin malah mengatakan bila sang Dwi Warna itu sudah menjadi bendera selama 6000 tahun. Nah. bagaiman ini kota bisa mengecek kebenarannya,'' kata Lukman Hakiem, mantan anggota DPR dan penulis sejarah berbagai tokoh nasional yang juga mantan staf M Natsir dan staf ahli Wapres Hamzah Haz.
Nah, maka sebenarnya tak perlu takjub, emosi, apalagi benci terhadap klaim sejarah seperti yang dikatakan Ridwan Saidi itu. Kenyatannya sejarah memang harus terus ditulis, dan tak ada kebenaran mutlak dalam sejarah karena juga bukan merupakan kebenaran hukum.
Penulisan sejarah laksana kebenaran ilmiah yakni bila ada kebenaran baru, maka kebenaran lama dipinggirkan. Sejarah bukan permainan ‘Zero Some Game’ di mana ada pemenang dan dikalahkan. Ingatlah sosok Pangeran Diponegoro yang di masa kolonial dianggap sebagai pengkhianat negara dan di kala kemerdekaan dianggap sebagai pahlawan. Padahal sejatinya kebenaran atau sosok pahlawan atau pengkhianat idealnya bukan ditentutkan oleh kebenaran politik.
Akhirnya dalam soal sejarah maka patut diingat sejarawan Inggris peneliti Diponegoro yang kini mengajar di Universitas Indonesia, DR Peter Carey. Dia sempat menyatakan hal yang mengenaskan ketika sebagian besar penulis sejarah di Indonesia adalah ‘orang asing’. Sitasui ini tentu saja membahayakan sebab penghancuran bangsa adalah dimulai dari penghancuran sejarahnya. Apalagi prespsi klaim kebenaran sejarah kerapkali merupakan klaim politik yang gampang sekali berubah.
Maka situasinya sangat wajar bila kemudian banyak yang hilang akal dan memori. Jangankan soal lama yakni tak adanya cerita Inggris ketika merampok manuskrip Kerajaan Mataram di Jawa pada awal 1800-an, soal baru misalnya pelaku pemberontakan PKI tahun 1965, Komando Jihad, pembantaianTanjung Priok, Haur Koneng, atau hingga pembunuhan Munir juga kisahnya tetap tak jelas, alias benar atau tidak dan siapa pelakunya?
Jadi Bang Ridwan gak usah khawatir akan kontroversi ini. Lagian abang pan tahu bangsa ini ingatan sejarahnya pendek? Jangan kate yang ribuan atau ratusan tahun silam, yang beberapa tahun --ekstrimya baru terjadi 'beduk shubuh' kemarin-- sudah banyak terlupa? Lagian abang kan tahu, kerajaan Inggris yang sudah ada sejak zaman Majapahit dan Sriwijaya sekarang masih keberadaannya masih eksis dan nyata, sedangkan Majapahit sudah hilang tanpa bekas memadai. Pan Abang pun tahu ketika Magna Charta ditulis di Inggris, di Jawa kala itu zaman kerajaan Singasari yang sibuk bunuh-bunuhan akibat Ken Arok.
Ah, ude ye bang. Biarin. Gak use jadi repot ye..! Semua juga tak tahu kan apa yang jadi alasan Bung Karno meruntuhkan bekas rumahnya yang jadi tempat pembacaan Proklamasi di bilangan Pegangsaan Timur itu. Apa ini juga dimaksudkan penghilangan jasa aktivis Islam yang keturunan Arab? Akibatnya, semua yang berbau Islam itu akan hilang seperi kata banyak orang yang percaya sejarah-nasionalisme Indonesia terpisah dari Islam.
Ah sude ye bang. Aye kagak mau perpanjangin pertanyaan. Ruwet?