Kamis 18 Jul 2019 14:51 WIB

Amil dan Budaya Literasi

Literasi rendah bisa berkontribusi pada rendahnya produktivitas bangsa

Nana Sudiana, Sekjend FOZ & Direksi IZI
Foto:

Amil dan Budaya Menulis

Menjadi amil tak semua hal harus bisa dikerjakan. Namun dalam urusan kemampuan dasar seperti membaca dan menulis, idealnya seorang amil bisa melakukan keduanya dengan baik. Rendahnya literasi berkorelasi dengan kemajuan bangsa.

Bagi amil korelasi ini tentu berkaitan dengan kemajuan gerakan zakat Indonesia. Literasi rendah bisa berkontribusi pada rendahnya produktivitas bangsa, dan bagi amil, kurang lebih sama. Literasi yang rendah yang dimiliki seorang amil akan berdampak pada produktivitas amil yang rendah. Dan bila ini terjadi, tentu saja bisa mengakibatkan kurangnya kemampuan amil dalam membantu meningkatkan kesejahteraan para mustahik yang sedang diperjuangkan.

Literasi ini juga berkaitan dengan soal kesenjangan kemampuan amil. Tersebab hal ini, perlu ada upaya-upaya serius dari berbagai pihak untuk meningkatkan tingkat literasi amil zakat Indonesia. Salah satu cara untuk mengatasi masalah literasi ini dengan melatih amil meningkatkan kapasitas literasinya. Perlu dibentuk juga komunitas amil yang mendorong terciptanya learning society.

Hal ini harus disadari bersama karena budaya membaca ternyata tidak dapat dibangun secara cepat bagaikan membalikkan telapak tangan. Budaya membaca  yang paling efektif harus dibangun perlahan dan terus menerus tanpa henti.

Para amil, harus membiasakan diri secara personal minimal setiap hari membaca buku atau bahan bacaan lain 30 menit hingga 1 jam. Gerakan membaca ini semakin lama akan semakin baik, apalagi didukung oleh keluarga masing-masing atau komunitas.

Selain itu, gerakan zakat (termasuk OPZ masing-masing) harus sudah menyediakan perpustakaan khusus bagi amilnya. Perpustakaan ini tergantung masing-masing kemampuan organisasi amil. Namun setidaknya dapat berisi buku-buku yang digunakan sebagai sarana membangun budaya literasi zakat.

Buku soal fikih, manajemen, marketing, sosiologi, akuntansi, pemberdayaan masyarakat dan lain sebagainya secara bertahap harus terus dilengkapi. Walau mungkin kecil tempatnya, usahakan posisi perpustakaan ini mudah dijangkau sehingga menarik minat untuk membaca koleksi bukunya. 

Menulis bagi seorang amil idealnya bukan hal yang sulit. Tokh dalam keseharian pekerjaan seorang amil ada tugas-tugas yang berhubungan dengan laporan. Dan laporan yang baik tentu saja tak melulu berisi foto dan video.

Diperlukan narasi untuk menjelaskan proses sebuah program/project yang sudah atau masih sedang berlangsung. Dengan tuntutan membuat laporan secara terus menerus, setidaknya memaksa amil terus memperbaiki kualitas kemampuannya dalam menulis.

Menulis memang terlihat mudah, namun tanpa latihan terus menerus, kemampuan ini tak akan terasah baik. Ibarat pisau, ia akan semakin tajam bila terus digunakan dan sering di asah secara rutin. Menjadi penulis profesional mungkin akan butuh waktu panjang, bagi amil cukuplah ia bisa merangkai kata dengan baik dan menata kalimat-kalimatnya secara runtut agar orang paham jalan pikiran dan gagasan utama yang ingin disampaikan.

Di tengah padatnya kesibukan para amil, sejatinya kegiatan menulis bisa dijadikan sarana rekreasi pikiran dan hati. Jangan jadikan menulis sebagai sebuah beban. Mulailah menulis sebagai sebuah kewajiban, sehingga merasa harus terus dicoba dan dilakukan setiap saat.

Menulis pada awalnya bisa juga dengan mengikuti mood dan perasaan. Jangan menyulitkan diri dengan ketatnya jadwal dan target penulisan. Bila ingin menulis ya menulis saja, dan bila sedang tak ada mood menulis ya berhenti menulis. Saat berhenti menulis inilah saatnya membaca dan menghabiskan buku-buku yang disukai untuk diselesaikan.

Dalam benak seorang amil yang ingin maju dan terus berkembang, harus tertanam jawaban yang kuat, "kenapa saya harus menulis?".  Jawaban ini tak harus mencari-carinya dalam paparan alasan terkait kompetensi amil. Di sana memang ada soal kemampuan pelaporan, namun tak secara khusus menyinggung soal apakah seorang amil dituntut harus bisa menulis. Dikaitannya dengan portofolio amil juga, tak ada juga soal menulis ini dijadikan bahan pembuktian sebagai pendukung portofolio yang dipersyaratkan.

Sebagai amil, mari kita sadari bersama bahwa keterampilan menulis dan membaca ini adalah kemampuan dasar yang harus dikuasai dengan baik. Tak mungkin amil yang ingin memperbaiki gerakan zakat di negeri ini mengabaikan soal kemampuan literasi ini. Apalagi bagi para amil yang punya idealisme untuk menjadi bagian penting dakwah zakat di negeri ini. Dalam dakwah zakat sendiri diperlukan kemampuan edukasi akan nilai-nilai zakat bagi kehidupan.

Seseorang yang banyak membaca dan mempelajari sesuatu tak bisa hanya berhenti di sana. Untuk melakukan hal tersebut, agar apa yang dipelajari dan dibaca semakin terikat kuat dalam memori, seseorang perlu menuliskannya kembali.

Dengan menuliskannya kembali, makin kuatlah apa yang didapatkan manusia lewat apa yang dialami dan dirasakannya, termasuk juga apa yang dipelajarinya. Menuliskan kembali ilmu, pengetahuan, wawasan, pengalaman dan penglihatan dan perasaan yang dialami setiap hari memudahkan kita menghubungkan setiap informasi yang ada menjadi lebih berharga.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement