Ahad 30 Jun 2019 11:29 WIB

Belajar Demonstrasi dari Hong Kong

Massa membawa alat perlindungan diri saat demonstrasi.

Pengunjuk rasa berdemonstrasi menentang RUU ekstradisi dekat Dewan Legislatif di Hong Kong, Senin (17/6).
Foto: AP Photo/Kin Cheung
Pengunjuk rasa berdemonstrasi menentang RUU ekstradisi dekat Dewan Legislatif di Hong Kong, Senin (17/6).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nuraini*

Sebuah video memperlihatkan kerumunan massa demonstrasi di Hong Kong yang memberikan jalan kepada ambulans, mendapat perhatian di media sosial. Demonstrasi di Hong Kong tersebut menuntut pencabutan rencana amandemen undang-undang ekstradisi yang tengah dibahas pemerintah. Jalannya demonstrasi di Hong Kong sejak awal Juni 2019 tersebut menarik, tidak hanya soal isu tuntutan, tetapi juga cara mereka menyampaikan tuntutan layak menjadi perhatian.

Gerakan pro-demonstrasi di Hong Kong mengemuka sejak Inggris resmi mengakhiri kolonialisasi dan menyerahkan wilayah pusat bisnis tersebut ke Cina pada 1997. Penyerahan wilayah itu didahului dengan Deklarasi 1984 yang menjamin hak-hak serta kebebasan wilayah Hong Kong. Deklarasi tersebut membuat posisi Hong Kong menjadi wilayah pemerintahan khusus Cina tetapi memiliki kedaulatan hukum. Rencana amandemen UU ekstradisi kemudian dianggap mengancam kedaulatan hukum Hong Kong. Hal itu karena, jika UU ekstradisi disahkan, maka tersangka kejahatan seperti pembunuhan dan pemerkosaan bisa dikirim ke Cina, Taiwan, dan Makau untuk diadili. Padahal, sistem peradilan Cina yang dikendalikan Partai Komunis selama ini dikritik oleh pengacara terkemuka dan kelompok hak asasi manusia, melakukan penyiksaan dan pengakuan paksa, penahanan sewenang-wenang, dan membatasi akses dengan pengacara.

Pembahasan RUU ekstradisi tersebut bermula dari kasus seorang pria Hong Kong berusia 19 tahun diduga membunuh kekasihnya yang berusia 20 tahun, saat mereka berlibur bersama di Taiwan pada Februari 2018. Pria itu kemudian melarikan diri dari Taiwan dan kembali ke Hong Kong. Otoritas Hong Kong menahan pria tersebut atas kasus pencurian karena menggunakan ATM milik kekasihnya yang sebelumnya dilaporkan oleh keluarga telah hilang dan kemudian menguak kasus pembunuhan. Kasus tersebut cukup kompleks karena pembunuhan yang dilakukan oleh warga Hong Kong dilakukan di Taiwan. Pengadilan kasus tersebut harus mensyaratkan permintaan ekstradisi pemerintah Taiwan ke Hong Kong. Akan tetapi, Taiwan dan Hong Kong tidak memiliki kesepakatan ekstradisi.

Atas kasus tersebut, amandemen undang-undang ekstradisi Hong Kong diajukan ke legislatif pada Februari 2019. Akan tetapi, banyak pihak menyuarakan penolakan termasuk pebisnis, pengacara, hakim, dan pemerintahan asing. Selain mengancam kedaulan hukum Hong Kong, reputasi internasional sebagai pusat keuangan Asia dipertaruhkan. Rencana amandemen undang-undang ekstradisi tersebut telah membuat taipan Hong Kong mulai memindahkan kekayaannya ke luar negeri.

Kekhawatiran atas amandemen undang-undang ekstradisi meluas yang menemui puncaknya pada aksi protes warga Hong Kong. Demonstrasi menuntut RUU ekstradisi dibatalkan. Sumber dari massa demonstrasi menyebut sekitar dua juta warga Hong Kong terlibat demonstrasi, tetapi sumber otoritas menyebut 338 ribu orang berdemonstrasi. Demonstrasi dimulai dari Victoria Square sebagai titik kumpul massa yang kemudian bergerak pelan menyusuri jalanan utama. Aksi yang semula berlangsung damai, berangsur memanas saat aparat kepolisian mencoba memukul mundur konsentrasi massa pada 12 Juni. Polisi menembakkan gas air mata dan merangsek maju ke kumpulan massa yang menutup jalanan utama pusat bisnis di Hong Kong. Satu orang tewas karena jatuh dari sebuah gedung saat dikejar oleh polisi.

Dalam bentrokan antara massa dan kepolisian tersebut, pemandangan tak biasa diperlihatkan oleh warga Hong Kong dalam demonstrasi. Sebagian besar dari mereka menggunakan pelindung kepala berupa helm. Mereka juga membawa payung, atribut yang sebelumnya digunakan dalam demonstrasi populer pada 2012 "Gerakan Payung" untuk memprotes pendidikan patriotik di sekolah-sekolah Hong Kong. Sebuah video yang beredar di media sosial, massa terlihat memberikan helm dan payung kepada reporter yang tengah memberitakan demonstrasi di Hong Kong. Video lainnya memperlihatkan sebagian dari massa, dengan sigap menyiram peluru gas air mata yang ditembakkan polisi dengan air dari botol. Cara itu menghentikan keluarnya gas air mata.

Cara-cara demonstrasi semacam itu, sepanjang pengamatan saya, jarang ditemui, bahkan bisa dikatakan tidak ada dalam aksi demonstrasi di Indonesia. Massa sangat jarang yang membekali diri dengan alat pelindung untuk mengantisipasi hal-hal di luar kendali seperti helm, payung, tanda pengenal, dan lainnya. Hal yang lebih parah, wartawan yang turun ke lokasi demonstrasi tidak memiliki perangkat keselamatan kerja dan pengetahuan tentang keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Memang, tidak ada yang menginginkan demonstrasi berujung pada kerusuhan atau bentrokan. Demonstrasi bisa dilakukan dengan cara-cara damai dan bentrokan kerap memberi stereotipe negatif pada aksi massa menyampaikan pendapat yang dijamin kebebasannya oleh negara demokrasi. Sayangnya, kebebasan penyampaian pendapatan di muka umum tidak dipahami sebagai salah satu metode protes damai atau nir-kekerasan. Cara-cara kekerasan kerap dijadikan strategi dalam menarik perhatian publik hingga mencapai tujuan demonstrasi. Kondisi itu juga tidak dibarengi dengan pemahaman aparat kepolisian bahkan negara, yang harus menjamin hak kebebasan berekspresi dalam menyampaikan pendapat di muka umum di negara demokrasi. Pendekatan kekerasan juga diambil oleh aparat. Hal yang kerap menambah parah kondisi, di mana aparat selalu berlindung atas nama keamanan negara dan kondusivitas untuk bertindak sewenang-wenang.

Demontrasi di Hong Kong hingga kini belum mereda. Rencana amandemen UU Ekstradisi telah ditangguhkan oleh pemerintah. Pemimpin Hong Kong, Carrie Lam minta maaf hingga dua kali kepada warga Hong Kong atas gejolak yang ditimbulkan oleh RUU ekstradisi. Akan tetapi, hal itu tidak membuat massa demonstrasi mundur. Tentu, hal itu karena tuntutan massa demonstrasi belum dipenuhi yaitu membatalkan secara permanen RUU ekstradisi agar ke depan rencana itu tidak lagi muncul, yang menjadi kepentingan umum bagi warga Hong Kong.

Melihat cara demonstrasi warga Hong Kong, membuat saya bertanya mengenai kebebasan berekspresi di Indonesia, yang (katanya) adalah negara demokrasi. Demonstrasi damai, yang lebih sering didengar adalah cara-cara menyampaikan pendapat dengan memungut sampah, tidak menginjak tanaman taman kota, dan bernuansa kegiatan agama, ketimbang menilik sebagai strategi untuk mencapai tujuan kepentingan bersama. Selain itu, demonstrasi masih dimaknai sebagai aksi negatif, ketimbang kebebasan berekspresi yang dijamin oleh negara.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement