REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nuraini*
Peribahasa "Sesama gajah bertarung, pelanduk mati di tengah" nampaknya cocok untuk menggambarkan politik Amerika Serikat saat ini. Pemerintahan federal AS mengalami tutup sebagian atau biasanya diistilahkan dengan government shutdown terlama dalam sejarah negara itu yakni memasuki satu bulan. Penyebab penutupan operasional pemerintahan itu adalah pertarungan elite politik dalam penentuan anggaran AS.
Presiden AS Donald Trump mengajukan anggaran untuk membangun tembok perbatasan AS-Meksiko yang menjadi janji kampanye saat Pilpres 2016. Anggaran yang diajukan mencapai 5,7 miliar dolar AS atau hampir Rp 80 triliun. Akan tetapi, anggaran itu ditolak oleh House of Representative yang dikuasai oleh Partai Demokrat, oposisi partai pengusung Donald Trump. Alih-alih sepakat membangun tembok, House hanya menyediakan 1,3 miliar dolar AS untuk keamananan perbatasan.
Pembangunan tembok bagi House dianggap sebagai pemborosan anggaran negara. Akan tetapi, penolakan House itu tidak membuat Trump mengurungkan niatnya. Kebuntuan pun terjadi dalam pembahasan anggaran negara. Akibatnya, dana untuk kebutuhan operasional pemerintah tak bisa dicairkan.
Akibat shutdown itu, badan atau dinas federal yang dianggap bukan krusial harus menghentikan semua operasionalnya. Pegawainya pun harus berhenti bekerja atau mengambil cuti tanpa mendapatkan bayaran. Dinas yang dianggap vital seperti penegakan hukum dan keamanan negara harus tetap beroperasi. Pegawainya harus bekerja tanpa upah. Sebanyak 800 ribu pekerja pemerintahan federal belum mendapat gaji, mereka termasuk agen FBI dan pekerja keamanan bandara.
Badan-badan vital AS seperti dinas penerbangan, keamanan transportasi AS, dan perlindungan lingkungan harus menghadapi lonjakan pekerja yang mengajukan izin tidak masuk kerja. Pekerja federal terpaksa menjual barang-barang mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sejumlah kampanye dan penggalangan dana dilakukan untuk membantu para pekerja federal yang tidak menerima upah. Sayangnya, pekerja federal yang menerima bantuan itu terancam dihukum karena mereka dilarang menerima gratifikasi.
Publik AS menyatakan protes dan kemarahannya kepada elite politik atas shutdown tersebut. Protes salah satunya dilakukan oleh penyanyi rap Cardi B yang mengunggah video dalam akun media sosialnya. Dia menyerukan aksi untuk menghentikan shutdown pemerintahan. Akan tetapi, hal itu tidak cukup untuk membuat para elite politik tergerak hatinya untuk mencari solusi.
Pertentangan antar-elite politik AS justru terus terjadi saat mereka mengajukan tawaran kebijakan untuk mengakhiri shutdown. Donald Trump mengusulkan kesepakatan imigrasi untuk mengakhiri shutdown pemerintahan. Tawaran itu termasuk perlindungan bagi imigran muda dan imigran pemegang status dilindungi sementara. Usulan itu kembali ditolak oleh House of Representative karena dianggap tidak memberikan kepastian hidup bagi imigran. Dengan penolakan itu, pembayaran gaji bagi ratusan ribu pekerja pemerintahan masih tanpa kepastian.
Gejolak politik di AS tersebut cukup layak untuk menggambarkan bahwa rakyat kecil yang akan menjadi korban pertama saat para elite politik bertarung. Tentu akan lebih miris lagi, jika rakyat yang menjadi korban tersebut justru saling bertarung demi membela pilihan elite politiknya. Kalau sudah begitu maka rakyat sudah mati di tengah, tertimpa tangga pula.
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id