Rabu 02 Jan 2019 17:30 WIB

Zainal Abidin Ahmad dan Gagasan Negara Islam

Zainal Abidin memiliki pemikiran Islam yang progresif dan modern.

Nasihin Masha
Foto:

Bagi ZAA, ciri-ciri seperti yang dimiliki tiga negara itu bukanlah termasuk negara Islam, karena tak sesuai ajaran Islam. Kendatipun Saudi mengaku dirinya sebagai negara Islam. “Walaupun negara-negara itu menamakan dirinya negara Islam tetapi tidaklah mempunyai sifat-sifat yang diajarkan oleh Islam,” katanya.

Lalu apa ukuran yang dibuat ZAA untuk menilai sebuah negara sebagai negara Islam. Pertama, negara itu harus memiliki dasar-dasar pokok yang asasi. Dasar-dasar pokok itu adalah amanah, keadilan, ketuhanan, dan kedaulatan rakyat. Menurutnya, hampir keempat dasar ini tercantum di dalam dasar negara Pancasila.

Kedua, sifat-sifat negara yang melekat pada negara tersebut. Sifat-sifat itu adalah negara berdaulat, negara agama, negara hukum, negara konstitusi, negara musyawarah, negara parlementer, negara republik, dan negara perdamaian. Sifat-sifat negara yang sesuai ajaran Islam ini hampir seluruhnya dimiliki oleh negara Indonesia.

Dari delapan itu hanya satu yang ia nilai masih kurang yaitu negara agama. Namun ini pun sudah ada dasarnya di dalam konstitusi yaitu Negara Berdasar atas Ketuhanan YME.

Menilik pada kecukupan syarat-syarat itu, ZAA sampai pada kesimpulan bahwa negara Republik Indonesia cukup dijadikan batu loncatan atau jembatan emas untuk mewujudkan negara Islam di Indonesia. “Negara Islam tidak harus digantungkan kepada “nama” atau kepada “rumusan” dan tidak boleh digambarkan terlalu jauhnya sehingga menimbulkan kesan seolah-olah negara yang kita miliki sekarang tidak cukup syarat-syaratnya,” katanya. ZAA menegaskan bahwa “ideologi negara Islam bukanlah masalah formalitas, tetapi ia adalah masalah isi dan dasar yang dipakai serta cita-cita yang didukung oleh negara itu”.

Menurutnya, negara Republik Indonesia mempunyai syarat-syarat yang cukup untuk mencapai cita-cita negara Islam. Setelah Indonesia ia sebut sudah cukup syarat untuk disebut sebagai negara Islam, lalu apa yang ia maksud dengan cita-cita negara Islam? ZAA tak cukup menguraikan apa yang ia maksud dengan cita-cita negara Islam, namun secara implisit ia menekankan masalah rahmatan lil ‘alamin dan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Di dalamnya mengandung pengertian tentang tata kelola bernegara yang mewujudkan tujuan-tujuan bernegara dan sekaligus menjamin kehidupan beragama. Hal ini bisa dipahami dengan membaca bukunya yang lain tentang Konsepsi Negara Bermoral dan Negara Adil Makmur.

Pandangan ZAA yang lebih menekankan masalah isi daripada masalah wadah dan formalitas maka hal itu mengingatkan pada gagasan Cak Nur, Gus Dur, dan Sjadzali. Bahkan dalam hal isi ini, Sjadzali yang mengalami duduk di pemerintahan memiliki kesempatan untuk mewujudkannya dalam isu-isu spesifik tentang keagamaan, yaitu kodifikasi hukum Islam ke dalam hukum nasional seperti masalah perkawinan, waris, zakat, wakaf, dan sebagainya.

Demikian pula tentang kebebasan beragama. Namun ZAA tak pernah berbicara soal itu, ia lebih menekankan ihwal etika bernegara dan mewujudkan pemerataan ekonomi. Tak heran, jika banyak sekali gagasan-gagasan ZAA yang mendahului zamannya seperti memilih nonmuslim dalam pemilu. Jadi, bagi ZAA, negara Islam bukan soal nama, rumusan, dan formalitas, tapi soal isi, dasar, dan cita-cita mulia sebuah negara.

Namun satu hal yang akan selalu kontroversial adalah pentingnya negara mengakui agama alias religiusitas. Ini pun tak otentik Islam atau tak otentik Indonesia, karena ini juga bisa dilacak pada pemikiran St Augustine dan Thomas Aquinas.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement