Rabu 02 Jan 2019 17:30 WIB

Zainal Abidin Ahmad dan Gagasan Negara Islam

Zainal Abidin memiliki pemikiran Islam yang progresif dan modern.

Nasihin Masha
Foto:

Apalagi kolonialisme awal dimulai oleh jargon Gold, Glory, Gospel. Kolonialisme awal datang beriringan antara eksploitasi ekonomi dan juga penyebaran agama. Sedangkan marxisme hanya melawan kolonialisme ekonomi. Dalam konteks itulah ZAA perlu meluruskan bahwa cita-cita adil dan makmur juga memiliki dasar dalam perjuangan Islam.

ZAA mengakui bahwa adil dan makmur adalah soalan ekonomi. Hal itu kemudian ia rujuk dalam tarikh Islam. Dimulai sejak masa Madinah antara Anshor yang kaya dan Muhajirin yang tak memiliki apa-apa. Pemaduan politik kenegaraan dengan perwujudan adil dan makmur dalam Islam adalah fakta yang ada dari awal – ZAA menyebutnya intervensi negara dalam distribusi ekonomi untuk mewujudkan adil dan makmur.

Sejak masa Rasul hingga khalifah kedua, hal itu tertib dilakukan. Namun pada khalifah ketiga ia sebut negara tak lagi melakukan intervensi. Dari situlah pemberontakan lahir. Tarik menarik soal hadir dan absennya negara dalam mengintervensi distribusi ekonomi ini merupakan bagian dari sejarah Islam. Hal itulah yang kemudian menjadi perhatian Ibnu Sina untuk merumuskan konsepsi Negara Adil Makmur.

Dalam Konsepsi Negara Bermoral, ZAA memulai dengan pendapat Aristoteles seperti ditulis dalam buku Politeia dan Nicomachean Ethics, dilanjutkan dengan pemikiran St Augustine dalam Civitate Dei, lalu Thomas Aquinas dengan Summa Theologiae dan Summa Contra Gentiles, bahkan hingga Martin Luther dan Calvin. Dalam Negara Adil Makmur, ZAA memulainya dengan Plato.

Dengan mengurai pemikiran Ibnu Sina, ZAA mencatat 12 prinsip untuk mencapai negara adil makmur. Di antaranya adalah manusia sebagai makhluk sosial, pengakuan adanya hak milik pribadi, perlindungan dan rasa aman, kesetaraan pria dan wanita, pemilihan kepala negara.

Namun magnum opus ZAA adalah buku Membentuk Negara Islam. Di buku inilah ia mengemukakan gagasannya secara utuh. Jika menilik buku-buku yang ia tulis secara kronologis, maka kita akan menemukan bahwa ZAA memulai dari kesimpulan lalu membuat rinciannya. Kesimpulannya adalah tentang isi negara Islam tersebut. Lalu buku-buku selanjutnya menjelaskan tentang kelengkapan gagasan sebelumnya, mengisi ruang-ruang yang ada seperti tentang moralitas bernegara dan prinsip adil makmur dalam bernegara.

Lalu apa yang ia maksud dengan negara Islam? Inilah diskusi panjang yang terus diulas hingga kini. Fisher Zulkarnain menyimpulkan bahwa ZAA berpendapat “negara Islam tidak semestinya menonjolkan nama Islam sebagai dasar, tetapi yang lebih penting adalah penerapan nilai Islam itu sendiri yang bersifat universal”.

Selain itu, kata Fisher, walau ZAA ikut memperjuangkan Islam sebagai dasar negara di dalam Konstituante, tapi ZAA “lebih rasional” daripada “emosional”. Kata Fisher, ZAA berpendapat bahwa “negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila sudah mengandung unsur Ketuhanan Yang Maha Esa. Karenanya, nilai-nilai keislaman sudah masuk di dalamnya”. Itulah kesimpulan Fisher. Fisher juga memasukkan ZAA sebagai ulama, bukan politisi.

Bagi ZAA, negara Islam bukanlah cita ideal yang utopis dan sulit dijangkau. “Dia bukanlah barang yang jauh dari kita, dari tiap-tiap kemanusiaan, tetapi dia sangat dekat sekali, berada di dalam diri setiap orang yang baik yang mengharapkan damai dan aman bagi seluruh dunia,” katanya. Dengan demikian, sudah menjadi tugas kita untuk “mendekatkan segala cita-cita negara Islam kepada hati masing-masing yakyat”.

Bagi ZAA dengan cara itu maka Islam menjadi rahmatan lil ‘alamin dan terwujudnya baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur – rahmat bagi semesta serta negeri yang baik dan penuh ampunan Tuhan. Dengan cara itu maka negara Islam tak lagi dicurigai dan ditakuti oleh pihak-pihak di luar Islam, takut digencet dan diperkosa hak asasinya.

Melalui narasi seperti itu, ZAA menilai negara Republik Indonesia – seperti yang ia lihat pada 1956 saat buku itu ditulis – mempunyai cukup syarat-syarat untuk mencapai cita-cita negara Islam. Bahkan, katanya, “jauh lebih mencukupi untuk menjadi negara Islam daripada negara-negara yang menamakan dirinya negara Islam”. Ia kemudian menunjuk negara Arab Saudi, Turki, dan Yaman. Saudi berbentuk monarki, Turki merupakan negara sekular, dan Yaman tak memiliki konstitusi.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement