REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Indira Rezkisari*
Kebutuhan akan ruang publik merupakan salah satu kebutuhan bagi jiwa manusia. Jangan heran kalau sejak Jakarta memiliki banyak ruang terbuka publik, masyarakat secara antusias memenuhinya.
Coba datang ke Lapangan Banteng di Sabtu dan Ahad malam. Bila tidak hujan, hampir seluruh tempat duduk untuk menonton air mancur menari penuh. Hal sama terjadi ketika Asean Games dan Monas memiliki pertunjukan video mapping atau laser yang ditembakkan ke Monas dan bercerita tentang sejarah pertandingan olahraga tersebut.
Taman publik seperti Taman Menteng, Taman Suropati, Taman Lembang, dan banyak taman lainnya yang bisa diakses tanpa biaya bahkan makin diminati. Membuat iri warga penyangga Jakarta yang juga menginginkan banyak ruang terbuka publik.
Kota dengan akses ke ruang terbuka publik merupakan salah satu bentuk kota yang manusiawi. Badan Kesehatan Dunia PBB atau WHO telah menegaskan setiap kota membutuhkan ruang terbuka yang hijau.
Menurut WHO, ruang terbuka hijau seperti taman, lapangan olahraga, hutan kota, atau ekosistem lain merupakan komponen fundamental dari ekosistem urban. Daerah hijau tersebut memfasilitasi kebutuhan fisik masyarakatnya sekaligus memberi tempat untuk rileks dan menghindari dari polusi suara.
Pepohonan akan menghasilkan oksigen dan membantu memfiler polusi udara yang berbahaya. Ruang terbuka dengan kolam, danau, sungai, bahkan air mancur bisa membantu menurunkan suhu menjadi lebih dingin.
Taman urban menurut WHO memainkan peran penting membuat suhu kota lebih adem. Tak hanya itu taman atau ruang publik memberi tempat bagi interaksi sosial dan rekreasi. Dalam estimasi terbaru yang dikutip dari laman WHO, minimnya aktivitas fisik yang dikaitkan dengan kekurangan jalan kaki atau akses ke area rekreasi menyumbang ke 3,3 persen angka kematian global.
WHO mencatat pula, ruang terbuka hijau penting bagi kesehatan jiwa. Memiliki akses ke ruang hijau sama dengan mengurangi ketidaksetaraan kesehatan, meningkatkan kesehatan jiwa, dan merupakan pengobatan bagi penyakit kejiwaan.
Sejumlah analis menyarankan, aktivitas fisik di lingkuman alami bisa menjadi obat bagi depresi sedang. Termasuk bisa mengurangi indikator stres fisiologis.
Manfaat besar ruang terbuka publik atau ruang terbuka hijau di Jakarta namun belum bisa dirasakan maksimal. Luas ruang terbuka hijau di Jakarta baru sebesar tujuh persen. Dikutip dari laman Berita Jakarta, data ruang terbuka hijau tersebut juga sudah mencakup kawasan publik yang tidak dimiliki Pemprov DKI, sebagian juga merupakan kementerian.
Berdasarkan data Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI, ruang terbuka hijau yang dikelola Pemrov luasnya baru 2.748,80 hektare atau 4,15 persen dari luas DKI Jakarta. Sementara berdasarkan perhitungan dengan menggunakan citra satelit yakni perhitungan dari tingkat kehijauan vegetasi, luas tutupan vegetasi ruang terbuka hijau di Jakarta tahun 2014 sekitar 9,8 persen dari luas total daratan di DKI. Itu berarti masih jauh dari batas minimal untuk sebuah kota.
Sebuah kota untuk bisa disebut layak minimal harus memiliki ruang terbuka hijau sebesar 30 persen. DKI Jakarta sebenarnya memiliki target penambahan ruang terbuka hijau lewat Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan sebesar 3 hektare untuk hutan dan 40 hektare untuk tanaman pangan dan holtikura.
Upaya Pemprov DKI menambah ruang terbuka hijau namun tak semudah itu. DKI terkendala lahan untuk bisa membuat ruang terbuka hijau.
Setidaknya tahun ini DKI pernah menargetkan bisa menambah 10 titik taman baru, bukan revitalisasi taman yang sudah ada. Satu taman membutuhkan lahan seluas 750 meter hingga 1.500 meter. Biaya untuk menggarap satu taman sekitar Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar. Tempat yang dibidik untuk dibangun taman sebagai ruang terbuka hijau diantaranya Rorotan, Bambu Apus Cipatung, Jalan Raya Pesanggrahan Mas Jaksel, Jalan Pahlawan Kebon Jeruk, Jalan Pagelaran Cipayung, hingga Jalan Lenteng Agung Jagakarsa.
Beraktivitas di alam terbuka sejatinya merupakan kebutuhan hidup manusia. Semakin banyak manusia urban yang lebih menikmati berada di bawah pohon rindang, mendengarkan gemericik air, atau melihat hamparan hijau ketimbang masuk pusat perbelanjaan mewah yang modern namun kaku.
Keluarga-keluarga di Jabodetabek juga tampak menggemari wisata ke ruang terbuka publik Jakarta. Karena itu ajang Car Free Day tidak pernah sepi, wisata ke Monas, dan taman-taman Jakarta yang gratis juga selalu digemari. Alasannya sederhana, anak-anak bisa berlari bebas di taman terbuka, keluarga bisa bercengkerama santai terbebas dari tembok-tembok rumah yang luasnya makin sempit.
Sebagai penikmat ruang terbuka publik, saya sungguh berharap niat baik Pemprov DKI memperbanyak taman diikuti pula oleh pemerintah daerah penyangga Jakarta. Rasanya kebutuhan untuk bersantai dan membebaskan kepenatan merupakan kebutuhan siapapun.
Saya iri melihat kota tetangga seperti Singapura yang dengan mudahnya bisa ditemukan taman atau tempat bermain anak. Rasanya di tiap blok tempat tinggal tersedia ruang bagi anak untuk bermain bebas. Apalagi mengingat warga Singapura yang mampu yang bisa tinggal di rumah jejak. Pemerintahnya pun meyakini warga apartemen berarti membutuhan ruang terbuka.
Tak perlu muluk-muluk agar sebuah ruang terbuka hijau bisa menarik. Selama banyak ditanami pohon dan tanaman, memiliki kawasan untuk berolahraga, seperti jalur jogging misalnya, serta memiliki tempat bagi anak untuk bermain, rasanya warga akan cukup senang.
Agar memberi wawasan ke warga, karya seni atau instalasi juga bisa diletakkan. Keberadaan karya seni bisa memberi stimulasi ke otak. Tak hanya itu karya seni di tempat publik sanggup mentransformasi daerah tempat tinggal, tempat kerja dan tempat bermain. Manfaat lainnya termasuk menciptakan tempat berinteraksi hingga menjadi kawasan wisata yang bisa menarik minat turis.
Semoga kota-kota di Indonesia semakin menyadari pentingnya taman, hutan kota, hingga ruang terbuka publik lainnya. Karena masyarakat yang sehat jiwa dan fisik adalah masyarakat yang sanggup berkarya lebih baik bagi bangsanya.
*penulis adalah redaktur Republika.co.id