Senin 11 Jun 2018 01:01 WIB

Asian Games Bukan Hanya Milik Jokowi

Para influencer politik seperti menempatkan Asian Games eksklusif milik pemerintah.

Logo Asian Games 2018.
Foto: Republika/ Wihdan
Logo Asian Games 2018.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ratna Puspita*

Asian Games, yang akan digelar di Jakarta dan Palembang pada 18 Agustus hingga 2 September mendatang, bukan hanya milik Presiden Joko Widodo. Ajang supremasi olahraga tertinggi di Asia ini juga bukan hanya milik Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla.

Ajang ini juga bukan milik Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, yang sibuk mempromosikannya melalui berbagai jaringan. Juga, bukan hanya hajatan Ketua Panitia Penyelenggara Asian Games 2018 Erick Thohir.

Ajang ini adalah milik kita semua, sebagai bangsa Indonesia. Pada 25 Juli 2014 atau hampir empat tahun lalu, Dewan Olimpiade Asia (OCA) menunjuk Jakarta sebagai Ibu Kota Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games.

Jakarta, yang kemudian didampingi oleh Palembang, Sumatra Selatan, menggantikan Hanoi, Vietnam, yang memutuskan mengundurkan diri. Kala itu, Jokowi bahkan belum menjadi presiden Republik Indonesia.

Menilik hal tersebut, sudah seharusnya semua orang terlibat menyukseskan event ini. Kita semua, apapun latar belakang politiknya, selayaknya peduli dan turut memberikan sumbangsih agar event empat tahunan ini terselenggara tanpa hambatan.

Jika ajang ini sukses maka sukses akan menjadi milik Indonesia, milik kita semua. Bukan hanya milik Jokowi. Jika ajang ini berantakan maka Indonesia pula yang menuai malu. Bukan hanya pemerintah.

Saya menuliskan pembuka yang panjang ini karena merasa khawatir dengan percakapan di media sosial yang memosisikan Asian Games 2018 hanya milik pemerintah. Upaya untuk mempersiapkan Asian Games hanya dianggap sebagai cara untuk mencari nama demi Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.

Perselisihan politik yang terjadi sejak Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 memang membuat masyarakat, khususnya warga di internet, terbelah menjadi dua dalam berbagai hal. Hal tersebut pada gilirannya membuat segala hal yang dilakukan oleh pemerintah ditempatkan pada posisi politik. Termasuk Asian Games 2018.

Padahal, Asian Games merupakan pesta olahraga, yang seharusnya tidak dicampuri dengan politik. Pada pesta empat tahunan ini, atlet-atlet kita akan bertanding dan mereka membutuhkan dukungan masyarakat untuk mendulang medali.

Bertanding di negeri sendiri, para atlet seharusnya memiliki keuntungan sebagai tuan rumah yang mendapat sorak-sorai paling kencang di arena pertandingan. Karena itu, Asian Games seharusnya menjadi ajang pemersatu golongan yang selama ini bertikai lantaran politik.

Semua orang mendukung Indonesia Raya berkumandang dan bendera Merah Putih berkibar. Tanpa ada sekat politik, apalagi perang tagar yang belakangan ini terjadi di media sosial, hingga ke Bundaran Hotel Indonesia (HI), dan jalur mudik.

Kendati demikian, saya juga menyadari kritikan soal Asian Games 2018 jadi ajang mencari nama tidak bisa dilepaskan dari peristiwa beberapa hari lalu di Istana Negara. Pada Selasa (5/6) pekan lalu, Jokowi mengumpulkan para seniman, pemusik, dan pemain film di Istana Negara, untuk meminta mereka berpartisipasi mempromosikan Asian Games 2018.

Jokowi memang berulang kali mengungkapkan keresahannya terkait demam Asian Games yang belum terasa. Berdasarkan catatan Republika, Jokowi sudah dua kali ‘menyentil’ promosi Asian Games.

Jokowi mengkritik promosi Asian Games pada April lalu. Kemudian, dia kembali berbicara soal 'demam' Asian Games pada akhir Mei lalu.

Pada waktu-waktu tersebut, Jokowi sebenarnya berupaya mempromosikan Asian Games pada setiap ajang. Jokowi kerap mengenakan jaket berlogo Asian Games seperti ketika menghadiri buka bersama di DPP Golkar.

Hal serupa juga dilakukan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pada awal Mei silam, Kalla bersemangat membumikan Asian Games dengan cara mengenakan kaus Asian Games bersama salah satu cucunya.

Namun, upaya-upaya tersebut belum berhasil. Karena itu, Jokowi mengundang seniman untuk lebih menggaungkan Asian Games 2018. Sayangnya, di antara undangan yang hadir terselip influencer atau buzzer yang selama ini lebih dikenal mengunggah konten politik.

Tentu, langkah Jokowi mudah dipahami. Pemerintah akan merangkul siapa saja yang bisa membuat pesan tentang Asian Games lebih menggema, termasuk para influencer di bidang politik. Namun, keberadaan mereka justru seperti menempatkan Asian Games eksklusif milik pemerintah.

Kendati demikian, belum terlambat untuk melakukan perubahan. Pemerintah, termasuk juga Inasgoc selaku panitia penyelenggara, masih punya waktu dua bulan untuk menggaungkan Asian Games.

Sesuai harapan banyak orang bahwa Asian Games bisa menjadi ajang pemersatu kelompok yang selama ini berselisih pendapat. Pemerintah dan penyelenggara bisa merangkul kelompok-kelompok yang menjadi 'terpinggirkan' dengan undangan menyukseskan Asian Games 2018 di Istana.

Di sisi lain, ada dua alasan mengapa Asian Games tidak terasa, meski pemerintah, baik pemerintahan Jokowi-Kalla di pusat, pemerintahan Alex Noerdin di Sumatra Selatan, maupun pemerintahan Anies Baswedan-Sandiaga Uno di Jakarta, sudah memasang berbagai berbagai medium promosi. Alasan tersebut, yakni penyelenggaraan Piala Dunia 2018 dan minimnya prestasi olahraga Indonesia di kancah internasional.

Menilik hal tersebut, promosi Asian Games bisa lebih dikencangkan usai pesta sepak bola sejagad bulan depan. Selain itu, Inasgoc juga bisa mempromosikan atlet yang akan berlaga pada Asian Games 2018.

Tidak hanya atlet Indonesia, tetapi juga atlet internasional. Promosi atlet internasional ini bukan untuk meminggirkan atlet Indonesia. Promosi atlet internasional ini untuk menunjukkan level persaingan Asian Games, yang hanya satu tingkat di bawah Olimpiade.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement