Kamis 19 Apr 2018 21:02 WIB

Stunting dan Bagaimana Dana Desa Jadi Solusi

Stunting adalah terhentinya pertumbuhan pada anak.

Anak-anak yang mengalami stunting cenderung bertubuh kerdil
Foto: BBC
Anak-anak yang mengalami stunting cenderung bertubuh kerdil

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Edy Sutriono*

Stunting di sini bukanlah stunt (man) seperti peran Jackie Chan atau Arnold Schwarzenegger yang secara berani melakukan sendiri adegan berbahaya dalam film Project A dan Commando. Stunting dalam ulasan ini berarti pendek, kerdil atau terhentinya pertumbuhan.

Sebagian dari kita mungkin masih merasa asing mendengar istilah stunting. Stunting adalah sebuah kondisi tinggi badan seseorang ternyata lebih pendek dibandingkan tinggi badan orang lain pada umumnya (seusianya) atau dengan kata lain mengalami kekerdilan. Penyebab kekerdilan adalah kekurangan asupan gizi orang tersebut sejak dari janin/bayi dalam kandungan dan pada masa awal lahir dan dapat dikatakan gagal tumbuh masa balita. Keadaan stunting baru nampak setelah anak berusia 2 (dua) tahun.

Dampak Buruk Stunting

Lebih jauh menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyebutkan bahwa penyebab anak mengalami kekerdilan tersebut antara lain (1) faktor gizi buruk yang dialami ibu hamil dan anak usia balita; (2) kurangnya pengetahuan ibu hamil tentang kesehatan dan gizi, baik saat sebelum dan masa kehamilan maupun setelah melahirkan; (3) terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan sebelum dan sesudah melahirkan serta pembelajaran dini yang berkualitas; (4) kurangnya akses ke makanan bergizi; (5) kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi.

Dari sisi fisik dan kualitas sumber daya manusia, stunting dapat berdampak buruk yang akan menurunkan kualitas, produktivitas dan daya saing bangsa. Dalam jangka pendek mengakibatkan terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh.

Sedangkan jangka panjang dapat menurunkan kemampuan kognitif dan prestasi belajar (IQ), produktivitas kerja, menurunkan kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi untuk munculnya berbagai macam penyakit dan disabilitas pada usia tua serta memperpendek usia manusia. Anehnya, stunting tidak hanya terjadi kepada masyarakat berpenghasilan rendah, tapi juga masyarakat menengah ke atas.

Sementara itu dari sudut pandang ekonomi, stunting dapat menurunkan produktivitas pasar tenaga kerja dan bermuara kepada pelambatan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, stunting juga dapat berkontribusi pada melebarnya kesenjangan dan juga menyebabkan kemiskinan antar-generasi. Logikanya sudah barang tentu dengan kondisi SDM (tenaga kerja) yang 'kurang gizi', loyo, malas, bagaimana mungkin akan kreatif dan produktif. Kondisi tersebut berakibat upah pekerja dihargai dengan sangat rendah dan akan berakumulasi menghilangkan potensi pendapatan nasional. Yah, akankah sejauh itu dampak stunting terhadap perekonomian? Mari kita simak.

Stunting di Indonesia dan Kepri

Melihat dampaknya yang buruk, luas dan jangka panjang, stunting yang sering kita anggap hal yang lumrah, ternyata tidak dapat dianggap angin lalu dan disepelekan. Indonesia menduduki peringkat kelima yang masih menghadapi permasalahan gizi yang berdampak serius terhadap kualitas sumber daya manusia ditunjukkan dengan masih besarnya angka stunting.

photo
Pemanfaatan Dana Desa Kepri untuk menekan stunting. (Sumber Kanwil Ditjen Perbendaharaan Kepri dan Dinas PMD Pemprov Kepri)

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mengenai prevalensi balita pendek memperlihatkan persentase status gizi balita pendek (pendek dan sangat pendek) sebesar 37,2 persen pada Tahun 2013 dan mencapai 27,5 persen pada Tahun 2016. Sementara itu batasan ideal stunting menurut WHO adalah kurang dari 20 persen. Hal ini berarti pertumbuhan yang tidak maksimal dialami oleh sekitar 8,9 juta anak Indonesia, atau 1 dari 3 anak Indonesia mengalami stunting.

Lebih dari 1/3 anak balita di Indonesia tinggi badannya berada di bawah rata-rata. Persentase tahun 2013 tertinggi di NTT (51,7 persen), Sulawesi Barat (48,0 persen) dan NTB (45,3 persen). Lalu, bagaimana dengan Kepri? Kepri merupakan provinsi dengan tingkat stunting terendah di Indonesia sebesar 26,3 persen disusul DI Yogyakarta (27,2 persen) dan DKI Jakarta (27,5 persen). Meskipun angka stunting Kepri termasuk terendah di Indonesia, namun masih berada di atas standar ideal.

Studi empiris Departeman Gizi Masyarakat, FEMA, Institut Pertanian Bogor,2016, mencatat potensi kerugian ekonomi nasional akibat menurunnya produktivitas karena stunting, yaitu sekitar Rp 3.057 miliar sampai dengan Rp 13.758 miliar (0,04 sampai dengan 0,16 persen) dari total PDB Indonesia. Sementara Kepri dengan angka stunting sebesar 26,3 persen, membawa dampak potensi hilangnya ekonomi sekitar Rp3 miliar sampai dengan Rp 11 miliar (0,003 persen sampai dengan 0,01 persen) dari PDRB Kepri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement