REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr KH Didin Hafidhuddin
Isu pengumpulan zakat Aparatur Sipil Negara (ASN) yang beragama Islam, saat ini menjadi topik hangat di berbagai media. Pro dan kontra muncul menyusul pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin awal Februari 2018 lalu seputar rencana pemerintah akan menerbitkan Peraturan Presiden tentang pengumpulan zakat bagi ASN Muslim. Sebagaimana dikutip sejumlah media bahwa pemerintah sedang menyiapkan kebijakan pengumpulan zakat 2,5 persen bagi ASN muslim lewat Peraturan Presiden (Perores).
Menteri Agama mengatakan, prinsipnya tidak ada pemaksaan karena setiap pegawai Muslim akan mengisi formulir kesediaan gajinya disisihkan 2,5 persen sebagai zakat, dan bagi yang keberatan bisa mengajukan permohonan keberatan, karena zakat (menurut menteri agama) bukanlah paksaan.
Sebelum Menteri Agama menyosialisasikan rencana penyusunan Perpres tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat, dalam Rapat Koordinasi Nasional Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) di Jakarta pada 4 -6 Oktober 2017, telah dicetuskan resolusi untuk mengembangkan zakat nasional. Salah satu resolusi Rakor Baznas tersebut ialah mendorong peningkatan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat Di Kementerian/Lembaga, Sekretariat Jenderal Lembaga Negara, Sekretariat Jenderal Komisi Negara, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah Melalui Badan Amil Zakat Nasional menjadi Peraturan Presiden (Perpres) tentang pemotongan ASN Muslim dan pegawai BUMN/BUMD serta perusahaan (swasta) untuk zakat.
Pada waktu Baznas mengangkat wacana Perpres zakat ke media, relatif tidak ada reaksi dan resistensi serta kontroversi. Namun setelah Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan hal yang sama, mendadak jadi isu nasional dan polemik.
Presiden Joko Widodo yang sebelumnya telah memberi isyarat mendukung ide Perpres Zakat tersebut, sebagaimana disampaikan melalui pimpinan Baznas, memastikan Perpres bagi ASN Muslim baru wacana dan belum ada keputusan apa-apa, sehingga tidak perlu dipolemikkan. Langkah yang diambil presiden untuk meredakan polemik dan kesalahpahaman soal Perpres Zakat tersebut, mudah-mudahan tidak menyebabkan kemunduran dalam rencana penyusunan regulasi untuk mengoptimalkan pengumpulan zakat (perpres).
Sejatinya, pemerintah dalam hal ini Menteri Agama selaku instansi pemrakarsa penyusunan perundang-undangan di bidang agama tidak boleh ragu-ragu terhadap rencana mewajibkan zakat bagi ASN Muslim yang sudah masuk katagori muzakki. Secara syariah kebijakan ini sudah benar sejalan dengan firman Allah dalam QS At-Taubah [9] ayat 103. Abu Bakar Shiddieq pernah akan memerangi orang yang mau shalat, tetapi tidak mau menunaikan zakat melalu amil yang ditunjuk oleh kepala negara.
Di negara kita, pelaksanaan ajaran Islam bagi pemeluknya sejalan dengan ketentuan UUD 1945 dan falsafah negara Pancasila. Bahwa ada kelompok masyarakat yang pro dan kontra itu adalah wajar sebagai sebuah dinamika dalam merespons suatu kebijakan. Menurut faktanya, beberapa BUMN sudah ada yang menerapkan kewajiban zakat bagi para pegawainya yang Muslim dan wajib membayar zakat melalui mekanisme pemotongan langsung dari gaji.
Penggalian potensi zakat yang besar di negara kita, memerlukan campur tangan pemerintah lewat perundang-undangan dan kebijakan. Peraturan Presiden atau apapun yang dianggap sesuai oleh para ahli hukum merupakan sebuah kebutuhan sekaligus sebuah keniscayaan. Zakat tidak diragukan lagi merupakan salah satu pilar kesejahteraan bangsa.
Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian Agama tidak cukup hanya memfasilitasi pegawai yang Muslim untuk membayar zakat. Sudah seharusnya, sesuai jiwa konstitusi dan dasar negara kita yang menegaskan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, pemerintah bisa mewajibkan pegawai Muslim yang memiliki penghasilan dari negara, yang sudah mencapai nishab, untuk dipungut zakatnya.
Dari sudut pandang hukum agama, Muslim yang ingkar atau enggan mengeluarkan zakat dapat diberi sanksi sosial. Bahkan, dalam QS. Fushilat [41] ayat 6-7, orang yang secara sadar dan sengaja enggan menunaikan zakat dianggap musyrik dan dianggap kafir terhadap urusan akhirat.
Zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam untuk memerangi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan serta meningkatkan kesejahteraan kaum dhuafa (perhatikan QS. At-Taubah [9] ayat 60). Karena itu, peran pemerintah dalam urusan zakat bukanlah sekedar untuk mengimbau dan memfasilitasi, karena pelayanan pembayaran zakat sudah difasilitasi oleh Baznas (Baznas Pusat, Provinsi, dan Kota-Kabupaten).
Di sisi lain, masyarakat seharusnya perlu menyadari bahwa kalaupun uang zakat diwajibkan pemerintah, bukan berarti dana yang terkumpul akan dipergunakan oleh pemerintah dan dimasukkan ke APBN. Dana zakat tersebut dikumpulkan dan dkelola oleh Baznas dan Lembaga-lembaga Amil Zakat (LAZ) untuk kemudian disalurkan kepada mereka yang berhak menerima zakat atau disebut mustahik, seperti tergambar dalam QS. At-Taubah [9] ayat 60.
Dengan adanya Perpres tentang Zakat, kita semua berharap akan ada peningkatan dana zakat yang terhimpun secara nasional, dari sekitar Rp 6 triliun menjadi Rp 10 triliun setiap tahun dan bisa lebih banyak. Dana hasil pengumpulan zakat sebesar itu akan bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa khususnya kaum miskin dan dhuafa di Tanah Air kita, melalui penyaluran yang sifatnya konsumtif atau produktif (melalui pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan peningkatan akhlak).
Skema penyaluran zakat telah dilakukan oleh berbagai organisasi pengelola zakat selama ini dan hasilnya positif untuk mengurangi angka kemiskinan. Bidang dakwah, dana zakat disalurkan untuk bantuan pembangunan masjid/mushalla, pengiriman dai ke wilayah pedalaman dan terisolir, beasiswa pendidikan kaderisasi ulama, dan lain-lain.
Di bidang pendidikan dalam bentuk pembangunan sekolah gratis khusus untuk anak yatim dan dhuafa, beasiswa biaya pendidikan tinggi untuk anak-anak dari keluarga tidak mampu, dan lain-lain. Di bidang kesehatan, organisasi pengelola zakat membangun klinik/rumah sakit gratis, mendirikan rumah singgah pasien tidak mampu, dan sebagainya.
Sementara di bidang ekonomi berupa penyediaan modal usaha, program pemberdayaan masyarakat di desa-desa tertinggal melalui dana zakat dan sebagainya. Di bidang kemanusiaan, dana zakat berkontribusi membantu masyarakat di daerah bencana. Bantuan tanggap korban bencana banjir, kebakaran, gempa, tanah longsor serta bantuan kemanusiaan untuk warga Palestina, Myanmar, dan lain-lain merupakan bukti kontrit betapa kontribusi zakat untuk mengatasi masalah kemanusiaan tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga membawa misi kemanusiaan Indonesia ke luar negeri.
Program pendistribusian dan pendayagunaan zakat untuk mendorong kesejahteraan bangsa akan maksimal jangkauan dan penerima manfaatnya sekiranya pengumpulan zakat meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu potensi pengumpulan zakat yang besar dan perlu dioptimalkan ialah zakat penghasilan di lingkungan pemerintahan, badan usaha milik negara dan daerah. Peran pemerintah melalui perundang-undangan dan kebijakan sangat diperlukan karena zakat pada hakikatnya tidak bisa diserahkan hanya kepada kesadaran setiap individu.
Dalam ayat Alquran, perintah Allah yang ditegaskan secara eksplisit adalah perintah kepada ulil amri untuk memungut zakat (hudz min amwalihim, sebagaimana QS. At-Taubah [9] ayat 103), bukan perintah menerima zakat. Presiden Republik Indonesia beserta jajarannya menurut kesepakatan para ulama adalah waliyul amri yang memiliki wewenang dan sah untuk mengatur urusan kaum muslimin, termasuk dalam memungut zakat dan mengamanatkan pengelolaannya melalui badan amil yang dibentuk.
Semoga Allah SWT meridlai dan memudahkan segala urusan bangsa dan negara yang kita cintai ini. Wallahu a’lam bisshawab.