Sabtu 04 Nov 2017 06:03 WIB

Alexis dan Calon Presiden

Arif Supriyono, wartawan Republika
Foto:

Mengapa pada kasus Alexis mereka memikirkan keberadaan tenaga kerja yang kemungkinan bakal mennganggur, sedangkan terhadap reklamasi yang menghilangkan mata pencaharian nelayan justru tak dipikirkan sama sekali? Karyawan Alexis hanya ratusan dan paling banyak 1.000 orang. Adapun nelayan Teluk Jakarta yang kehilangan mata pencaharian mencapai puluhan ribu. Total jumlah nelayan yang terganggu mata pencahariannya (bersama anggota keluarganya) ada sekitar 104 ribu.

Cara berpikir dan bersikap adil harusnya mereka tunjukkan sejak dalam niat. Jangan hanya karena kebijakan itu dibuat oleh koleganya atau junjungannya, maka akan didukung habis-habisan, apa pun bentuknya. Sedangkan kebijakan yang dibuat pihak lain, sekalipun bernilai sama, harus dipersoalkan atau digugat.

Salah satu langkah yang akan ditawarkan Pemprov DKI adalah membuat persewaan mobil dinas anggota DPR yang jumlahnya ratusan unit agar bisa menampung sebagian eks karyawan Alexis. Memang rencana itu, kalaupun terwujud, belum tentu mampu menampung seluruh karyawan Alexis yang bakal menganggur. Meski begitu, hal tersebut merupakan bukti nyata dan kepedulian Pemprov DKI atas konsekuensi kebijakan yang diambilnya.

Kalaupun ada masukan kepada Anies soal tak diperpanjangnya izin Alexis, mestinya kebijakan itu bukan harga mati. Surat penolakan untuk memperpanjang izin itu seyogianya diberi keterangan tambahan, bahwa larangan beroperasinya Alexis berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan. Jika manajemen Alexis mampu menghentikan praktik pelacuran kelas dunia tersebut dan juga menutup diri atas segala bentuk peredaran narkoba di dalam lingkungan hotel, mungkin izin operasinya bisa diaktifkan lagi.

Sebagai sebuah hotel dan dilengkapi dengan sarana hiburan, Alexis memang berhak hidup. Sepanjang pengoperasiannya tidak menerabas pagar aturan, maka tak ada alasan untuk menghentikannya. Apa yang dialami oleh manajemen Alexis saat ini, tidak keluarnya izin perpanjangan TDUP, pastilah berhubungan dengan pelanggaran yang mereka lakukan bukan sekadar kebijakan untuk memenuhi janji kampanye Anies-Sandi belaka.

Selain penutupan Alexis, hal lain yang kini menjadi pembicaraan hangat masyarakat adalah kelanjutan reklamasi Teluk Jakarta. Dalam pelbagai kesempatan, Wagub Jakarta, Sandiaga Uno, mengutarakan keputusan untuk menghentikan reklamasi. Pertimbangan utamanya tentu karena dampak kerusakan ekosistem laut akibat reklamasi, hilangnya mata pencaharian puluhan ribu nelayan, dan peruntukannya yang hanya buat kalangan tertentu. Demi untuk kepentingan sekelompok orang (termasuk rencana pembangunan bandara di salah satu pula), reklamasi harus mengorbankan puluhan ribu nelayan.

Rencana kelanjutan reklamasi tentu harus dihentikan. Sedangkan pulau-pulau yang sudah telanjur direklamasi dan dibangun mungkin ada baiknya dimanfaatkan untuk kepentingan umum yang lebih luas, tak sekadar untuk memenuhi kehendak pengembang saja. Membiarkan begitu saja pulau yang sudah dibangun dan direklamasi, tentu juga bukan keputusan yang bijak. Pulau-pulau yang sudah dibangun ini pun harus dimiliki oleh pemerintah dan tak boleh sepenuhnya menjadi milik swasta.

Keputusan Anies-Sandi untuk tidak meneruskan reklamasi bukan sekadar tindakan yang berani. Selain keputusan yang tepat, hal itu juga menunjukkan keberpihakan keduanya pada kepentingan yang jauh lebih besar, yakni keseimbangan ekosistem dan kemaslahatan bersama. Para pengusaha kelas kakap, termasuk Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan dan Presiden Joko Widodo, yang berada di belakang kebijakan reklamasi tak boleh menjadi penghalang, bila keputusan yang diambil merupakan jalan kebenaran.

Beberapa pihak berpendapat, jika Anies mampu menghentikan rencana reklamasi, maka posisinya akan semakin kuat dan bukan tidak mungkin mendapat simpati luas masyarakat. Ini memperlihatkan independensi Anies yang tinggi keteguhan dalam bertindak. Dengan begitu, sebagian kalangan berpendapat dan bahkan cenderung mendorong, bahwa Anies dianggap layak untuk sekaligus maju sebagai salah satu alternatif capres dalam pemilu 2019.

Saya sungguh tidak sependapat dengan pandangan ini. Jika kemudian Anies benar-benar mau maju sebagai capres 2019, itu adalah bentuk pengkhianatan kepada warga Jakarta yang telah memilihnya. Baru dua tahun menjabat, sudah hendak meninggalkan posisinya untuk semata mengejar kedudukan yang lebih tinggi, itu bukanlah bentuk pengabdian. Justru itu contoh nyata dari sosok yang berorientasi pada kekuasaan semata.

Cukuplah sudah kebohongan itu sekali terjadi pada warga Jakarta. Hendaklah tidak lagi menambah luka bagi penduduk Jakarta yang sekadar dijadikan pijakan untuk mengais popularitas dan meloncat lebih tinggi lagi demi ambisi pribadi. Pengabdian dan komitmen yang tulus untuk membangun dan menyejahterakan warga Jakarta sudah barang tentu akan otomatis membawa dampak popularitas bagi pejabat yang bersangkutan.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement