Jumat 03 Nov 2017 01:59 WIB

Menerjemah Kalam Langit

Alquranul Karim (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com
Alquranul Karim (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rosihon Anwar, Guru Besar UIN Bandung, salah seorang tim Revisi Terjemah Alquran Kemenag

Mulai tahun 2016, Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran (LPMQ) Kementerian Agama membentuk sebuah tim yang terdiri dari pakar tafsir dan pakar Bahasa Indonesia. Tim ini bertugas untuk merevisi Terjemahan Alquran versi Kementerian Agama.

Revisi ini sendiri merupakan amanat dari Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Ulama Alquran tahun 2015 di Bandung. Kegiatan ini ditargetkan rampung tahun 2018 mendatang. Karena terjemahan ini diterbitkan oleh pemerintah, maka selayaknya menjadi terjemahan otoritatif yang menjadi acuan semua elemen muslim di Indonesia. Itu sebabnya, kegiatan revisi dipandang perlu agar otoritas tersebut tetap dapat dipelihara.

Meskipun terma ‘terjemah’ sudah populer dan sering didengar, tetapi ketika dikaitkan dengan Alquran, tema itu memiliki pemaknaan yang lebih khusus. Ini mengingat yang diterjemahkan adalah firman Allah yang diyakini memiliki keluarbiasaan (baca: mukjizat), baik dari susunan, diksi, makna, kandungan bahkan sampai tata letak.

Oleh karena itu, menerjemah Alquran, pada beberapa sisi, tidak sama dengan menerjemah teks biasa. Diperlukan beberapa keahlian untuk melakukannya, bukan saja Bahasa Arab dan seluk-beluknya, tetapi juga disiplin keilmuan Islam lainnya seperti Fiqih, Ushul Fiqih, Ilmu Tafsir, bahkan-untuk kasus ayat-ayat tertentu-ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu sosial.

Di balik ramainya perbincangan mengenai terjemah Alquran, penting untuk dicatat bahwa terjemah Alquran-sebaik dan sesempurna apapun-bukanlah Alquran itu sendiri. Terjemah adalah terjemah dan Alquran adalah Alquran. Keduanya berbeda.

Jika Alquran dijamin kebenarannya, tidaklah demikian dengan terjemahannya. Terjemahan Alquran masih memiliki potensi ketidak-tepatan atau boleh jadi kekeliruan. Oleh karena itu, revisi mutlak diperlukan untuk menyajikan terjemah yang semaksimal mungkin mendekati apa yang diinginkan oleh Yang Memfirmankannya.

Selain dari itu, terjemah memiliki keterbatasan sendiri, terutama dalam mengungkapkan keluasan makna kandungan Alquran. Itu sebabnya, dalam banyak kasus ayat, tidak cukup hanya membaca terjemahannya untuk mengetahui maksud yang dikehendaki.

Pengkaji harus juga membaca kitab-kitab tafsir yang relatif memberikan penjelasan lebih mendetail. Contohnya adalah ayat-ayat yang dikategorikan para ulama sebagai ‘ayat-ayat mutasyabihat’, di antaranya yang berbicara tentang sifat-sifat Tuhan seperti ‘yadullah’ (‘Tangan’ Allah) dan ‘wahj rabbik’ (‘Wajah’ Tuhanmu).

Terjemah pada dasarnya adalah interpretasi atau tafsir. Itu sebabnya sedikit banyak subyektivitas penerjemah akan masuk ke dalam hasil penerjemahan. Dalam menerjemahkan ayat tentang teologi, di sana banyak acuan dalam melihatnya: Ada perspektif Asy`ariyah, Qadariyyah, Jabariyyah, Murji`ah, atau lainnya.

Demikian pula ayat-ayat tentang hukum (ayat Ahkam) dan tasawuf. Maka, tidak mungkin hasil terjemahan Alquran bisa memuaskan semua pihak. Selalu ada pihak yang tidak puas dengan hasil terjemahan, termasuk versi Kemenag.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement