Sabtu 28 Oct 2017 01:00 WIB

Polemik Kata Pribumi: Pemahaman yang tidak Membumi?

Inlander (pribumi) menganglut penyu di Jawa Barat pada tahun 1900.
Foto: Gahetna.nl
Inlander (pribumi) menganglut penyu di Jawa Barat pada tahun 1900.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Afdhal Kusumanegara *)

"Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini telah merdeka, kini saatnya kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri.” Demikian salah satu kalimat Anies Baswedan dalam pidato perdananya sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Senin 16 Oktober 2017 di Balai Kota DKI Jakarta. Sampai sekarang, kalimat tersebut masih dianggap kontroversial karena terkait isu ras dan kebangsaaan Indonesia.

Ada dua tema pokok yang menjadi landasan kontroversi terhadap penggunaan diksi tersebut. Pertama, kata “pribumi” dianggap tidak lagi patut digunakan dalam konteks kenegaraan. Alasan itu, mengacu pada Instruksi Presiden RI No. 26 Tahun 1998 tentang penghentian penggunaan istilah pribumi dan non pribumi.

Kemudian yang kedua, kata itu dianggap menyentil isu ras dan golongan, karena kata “pribumi” dianggap merujuk pada kalangan tertentu. Hal itu dianggap dapat memicu dan memacu perpecahan sosial dan politik.

Jika ditelisik lebih lanjut, kontroversi itu muncul karena minimnya pemahaman pada teks secara menyeluruh dan mendalam pada kata “pribumi”. Membaca teks bukan hanya mengidentifikasi dan memahami teks secara terpisah, namun terdapat entitas di luar teks yang mesti diperhatikan. Apakah benar penggunaan kata “pribumi” memiliki efek negatif atau justru hanyalah perihal yang normatif saja?

Buta huruf kekinian

Sekarang, kita hidup di era teknologi dan informasi. Berdasarkan data APJII perkuartal akhir 2016, lebih dari setengah penduduk Indonesia (133 juta jiwa) sudah terhubung ke dunia maya dan mampu membaca. Maka, tidak heran kita sering menemukan adagium, “Mereka yang buta huruf bukan lagi mereka yang tidak bisa membaca buku dan teks, tetapi mereka yang tidak bisa mengoperasikan komputer dan internet.”

Secara kuantitatif, angka buta huruf telah berkurang drastis akibat ekspansi perangkat teknologi dan informasi. Namun demikian, buta huruf juga harus diberi makna kualititatif. Mereka yang buta huruf (illiterate) di abad ke-21, demikian dikemukakan futurolog Alvin Toffler, bukanlah orang-orang yang tidak bisa membaca dan menulis, tetapi orang-orang yang tidak bisa belajar, melupakan ajaran masa lalu yang tidak benar, dan kembali belajar (learn, unlearn, and relearn).

Dari definisi tersebut, Alvin telah memperluas pemaknaan dari buta huruf (dan aktivitas membaca). Pertama, membaca bukan hanya membaca teks yang tertulis, tetapi juga membaca hal-hal di luar teks, yakni membaca koteks dan konteks. Membaca koteks maksudnya memperhatikan teks lain yang hadir sebelum dan sesudah teks yang dibaca. Teks yang dibaca tentu dipengaruhi oleh teks yang ada di depan maupun di belakangnya. Kemudian yang paling penting adalah membaca konteks.

Michael Halliday telah jauh hari memberikan bagaimana membaca konteks, yakni dapat dilihat medan wacananya seperti apa (field of discourse), dalam posisi apa (tenor of discourse), dan disampaikan melalui apa (mode of discourse). Dengan melihat konteks, kita dapat dengan bijak memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Kedua, membaca tidak hanya memahami, tetapi juga menggunakan bacaan untuk bertindak yang baik dan benar. Dengan demikian, sangat penting untuk menghindari buta huruf (dalam artian yang lebih luas) pada pelbagai kondisi dan tujuan.

Membaca kritis-positif

Dari redefenisi buta huruf tersebut, maka membaca teks apapun hendaknya disikapi secara kritis-positif. Kalimat yang mengandung kata “pribumi” dalam pidato tidak termasuk dalam indiktor pelarangan dalam instruksi presiden yang dikeluarkan pada tahun 1998.

Penggunaan kata “pribumi” tidak berada dalam konteks perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan, akan tetapi berada dalam konteks sejarah dengan pemarkah harapan. Makanya, cukup riskan jika kita hanya membaca judul dari sebuah instruksi presiden, kemudian dianggap bahwa itu melanggar aturan. Lagipula, jika ditinjau secara diakronis, instruksi presiden yang dikeluarkan Presiden BJ. Habibie pada saat itu untuk menjaga stabilitas negara pascareformasi.

Beberapa kalimat sebelum kalimat yang mengandung kata “pribumi” merupakan kalimat-kalimat yang menunjukkan konteks sejarah Indonesia. “Kolonialisme”, “penjajahan”, dan “merdeka”, merupakan beberapa kata kunci yang menunjukkan bahwa tidak ada klasifikasi makna secara khusus untuk kondisi masyarakat sekarang. Artinya, tidak ada spesifikasi yang merujuk suku tertentu.

Adapun penyebutan beberapa referensi dari berbagai daerah merupakan representasi Jakarta yang memang sebagai ibukota bagi semua suku di Indonesia. Penafsiran lebih lanjut mengenai hal tersebut merupakan overextension (penggelembungan makna) atau menjadi makna yang sengaja diambil.

Jika membaca teks pidato secara keseluruhan, setidaknya terdapat 5 subtansi yang dapat dibaca; refleksi historis untuk menumbuhkan semangat kebangsaan, kontestasi politik secara alamiah, pentingnya persatuan dan komunikasi, penyandaran referensi pada nilai-nilai Pancasila, dan rencana kinerja untuk masyarakat Jakarta. Maka perujukan makna semata pada isu ras dan golongan menjadi prematur, karena isi pidato lebih luas daripada itu.

Lebih jauh, sebenarnya yang cukup krusial untuk dibaca oleh masyarakat Indonesia adalah ‘bacaan’ untuk kemajuan dan kesejahteraan. Termasuk membaca diri, membaca masa lalu, juga masa depan. Demikian juga membaca peluang demografi, membaca progres besar bisnis daring, dan kekayaan alam Indonesia, semuanya itu seharusnya mampu dibaca oleh masyarakat untuk digunakan sebaik mungkin. Bukan sibuk membaca untuk mencari-cari kesalahan, demi kepentingan kelompok tertentu, dan untuk hal-hal yang tidak lagi berguna.

Data-realita menunjukkan bahwa hoax (berita bohong), bullying (perundungan), dan hate speech (ujaran kebencian) yang masih cukup dominan pada pemakaian internet di Indonesia sedikit banyak disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat membaca konteks, kurangnya budaya membaca kritis-positif, dan menyerap informasi secara independen.

Sebagai harapan untuk menjadi negara maju dan modern, masyarakat Indonesia seyogianya memiliki kebiasaan membaca dan memahami yang baik dan mengubahnya menjadi hal positif-konstruktif untuk mencerdaskan dan menyejahterakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Amin.

*) Mahasiswa S3 Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement