REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rudi Agung *)
Belum hilang keresahan publik terhadap banyaknya korban Kipi atau kejadian ikutan paska imunisasi alias usai vaksin, yang tak jelas nasibnya. Seperti orangtua almarhum Ghina Nazhifa Yasmin siswi SD Sentul 1.
“Kenapa terjadi tiba-tiba, akibat dari apa, bisa langsung menyerang paru-paru? Sedang riwayat paru-parunya dinyatakan tuntas oleh dokter, kenapa dirasakan penyakitnya tiba-tiba parah pas sehabis vaksin?” demikian dilansir Pojokjabar, Kamis, 24/8/2017. Orangtua korban pun malah diminta bungkam.
Berikutnya, tak jelas juga kenapa vaksin tak boleh salah. Seperti jeritan orangtua balita di Blitar yang juga wafat usai vaksin, sang anak yang salah, vaksin selalu benar. Ini belum termasuk yang dirawat, yang koma, sakit biasa.
Pun ketidakjelasan lambatnya pengurusan sertifikasi meski Ketua MUI Bidang Fatwa Professor Huzaimah, anggota DPR PKS Ahmad Zainuddin, Ulama, NU, dan seluruh elemen masyarakat mendesak harus ada sertifikasi halal.
Faktanya, belasan juta anak sudah keburu divaksin, lalu tanggal 7/9/2017, produsen vaksin MR baru mempelajari skema sertifikasi halal. Kelambanan mengurus sertifikasi halal terus mengundang keresahan publik dan tuntutan untuk dihentikan. Ini mengingatkan masyarakat terhadap reklamasi dan Meikarta.
Publik sempat diresahkan terhadap reklamasi yang berjalan tanpa izin. Pun Meikarta, yang belum kantongi izin, tapi pemasarannya berjalan luar biasa. Serupa dengan vaksin. Tak ada sertifikasi halal, tapi tetap lanjut jalan. Kalau tak berpegangan pada syariat dan UU, lantas mau berpedoman apa?
Publik pun tak pernah tahu, dimana kegentingan diteruskannya vaksin hingga tetap jalan dengan sweeping walau belum ada SH dari MUI, seperti tak jelasnya kegentingan lahirnya Perppu Ormas. Padahal tahun 2009, Menkes Siti Fadilah pernah menolak vaksin flu babi. Lantaran jenis vaksin baru, tak ada pula wabah. Sama kondisinya dengan MR.
Publik makin heran: anggap ada wabah, kenapa rentangnya dijadwalkan. Jawa 2017, luar Jawa 2018. Setahun. Jauh sekali jaraknya. Dimana gentingnya? Dimana wabahnya? Darurat kok dijadwalkan. Mungkin nyawa generasi korban usai vaksin sudah tak lagi berharga. Jerit orangtua mereka, menyeret memori pada satu puisi:
Alangkah mengharukan
Anak-anak yang istirahat di pengembaraan ini
Memeluk kedamaian abadi
(Kubur di Atas Bukit/ Sutikno WS).
Belum hilang segala keresahan publik terhadap balada vaksin MR, masyarakat diresahkan kembali dengan ditangkapnya Ustadz Alfian Tandjung usai dibebaskan. Disusul dilaporkannya mantan jurnalis SCTV dan RCTI sekaligus aktivis kemanusiaan Dhandy, atas tulisannya di Facebook.
Dandhy Dwi Laksono dipolisikan karena menulis masalah Rohingya, Aung San Su Kyi, dan Megawati. Ia dinilai mencemarkan nama baik dengan jeratan pasal karet UU ITE. Sejak dulu, ia banyak memberitakan kasus kekerasan di Aceh di masa darurat militer ketika banyak media bungkam.
Tentu saja, atas laporan itu, pelbagai dukungan terus mengalir dari pelbagai kalangan. Mulai jurnalis, aktivis, praktisi hukum, sampai masyarakat luas. Pria yang dikenal kritis melalui karyanya itu, satu oase sekaligus aset bagi bangsa ini.
Ia pun kaget dengan pelaporan itu. Alih-alih mendapat kiriman artikel bantahan atau perspektif pembanding, yang datang justru kabar laporan pemolisian. Kita tidak pernah bisa menyamakan persepsi dan nurani seisi bangsa. Di dunia ini selalu ada dua sisi: baik, buruk. Tajam, tumpul. Kasar, lembut. Penjilat, kritikus. Loyalis, pengkhianat, dan sebagainya.
Pun ada pula dua sisi Ulama. Ada Ulama pewaris nabi, ada pula ulama su'u: sang pecinta kemewahan, popularitas dan gemerlap dunia. Terlebih di akhir zaman dalam atsmosfir alam demokrasi. Tak bakal bisa kita samakan.
Dilaporkannya Dhandy dengan pasal karet atas tulisannya itu menjadi fenomena gunung es. Jika dirinci banyak sekali. Aneh pula, di rezim ini begitu marak aksi saling lapor polisi.
Diletakan dimana budaya bangsa ini yang welas asih, toleran, saling menghargai, saling memaklumi, saling mengisi. Entah. Namun kalau dirunut, tak hanya di rezim ini saja sebetulnya sebenatr-sebentar dilaporkan. Nyaris dalam perjalanan rezim nasib penulis kritis kerap menjadi buruan penguasa. Ada pula aksi saling lapor.
Di era SBY, publik juga sempat dihebohkan aksi saling lapor polisi. Salah satunya terhadap penulis buku Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century, almarhum George Junus Aditjondro.
Mantan wartawan Tempo sekaligus aktivis pendiri 20 organisasi di Indonesia dari Jawa sampai Papua, itu, dilaporkan Politisi Partai Demokrat Ramadhan Pohan atas dugaan pemukulan saat launching buku terkait, 2009.
Setelah George dijadikan tersangka dengan tiba-tiba, giliran Pohan dilaporkan aktivis Petisi 28, Haris. Dalam laporan resmi bernopol LP 556\/K\/II\/2010\/SPK Unit II, Haris melaporkan Ramadhan Pohan atas tudingan provokasi.
Meski akhirnya buku itu dilawan dengan buku tandingan, tapi publik menilai kentalnya daya kurung kritikus pada penguasa. Jadi, entah bagaimana ceritanya kita mau mengagungkan alam demokrasi.
Tulisan, tandingi dengan tulisan. Buku dengan buku. Karya dengan karya. Kalau tulisan dilawan dengan laporan dan ancaman penjara, mau jadi apa bangsa ini? Biaya merawat napi pun tak murah. Amat sangat merugikan negara.
Simak pula penulis buku Jokowi Undercover, Bambang Tri. Ketika menerbitkan bukunya dan meminta Jokowi test DNA, ia malah dijadikan tersangka. Divonis tiga tahun penjara. Entah bagaimana nasibnya saat ini.
Keburaman nasib Bambang Tri, dalam konteks berbeda mengingatkan kita pada nasib Ahok, yang keberadaannya juga amat gelap. Apa benar Ahok dipenjara? Hanya langit yang Maha Tahu. Media pun tak ada lagi yang menyajikan foto Ahok dibui. Dulu, nyaris tiap hari foto dan statementnya mejeng, dipoles media.
Kembali pada Dhandy. Meski ia belum ditahan, namun laporan terhadapnya telah meresahkan publik. Cara apa lagi mengungkapkan fakta, evaluasi dan ekspresi pada penguasa?
Bukankah selaiknya penguasa malah gembira jika kekurangannya diingatkan: demi perbaikan bersama. Itu tandanya masih diperhatikan. Bukan dilaporkan, apalagi dipenjarakan.
Dan hal menyayat hati lainnya, datangnya gelembung hisapan pajak bagi penulis. Ini adalah duka mendalam bagi dunia literasi dan tradisi keilmuan bangsa Indonesia. Ancaman laten yang pelan tapi pasti bakal merugikan seisi bangsa.
Sampai-sampai untuk melakukan aksi protesnya, penulis sekelas Tere Liye, resmi menghentikan penerbitan bukunya. Untung saja, bentuk protesnya tidak dilaporkan ke polisi atau dipenjara hehehe.
Protes Tere Liye diikuti penulis lain, dengan pelbagai bentuknya. Keresahan mereka ditulis dari sosial media sampai media massa. Suara kepiluan penulis sebagai hulu dari tradisi keilmuan dan dunia literasi Indonesia terus menggema.
Ironi memang. Di tengah rendahnya budaya membaca anak-anak bangsa, nasib penulis justru ditekan di titik terendah. Padahal mereka adalah hulu literasi, yang seharusnya diistimewakan.
Apakah kita memang sengaja mau membonsai dunia literasi? Mengcreate anak-anak bangsa menjadi bodoh dan malas membaca. Alih-alih menulis. Tak boleh pula kritis. Bukankah bangsa-bangsa besar adalah bangsa yang menghargai karya penduduknya. Gembira tampilnya kritikus, memberi perhatian pada penguasa.
Faktanya, saat ini malah dibalik. Ragam kegelisahan datang dari pelbagai penjuru: jeritan atlet berprestasi, balada cendekiawan muda yang berprestasi di ajang internasional, jua penulis ternama. Pun kritikus yang dikekang daya kekritisannya.
Kegelisahan Tere Liye, mengingatkan kerisauan penyair ternama Sutikno WS. Tahun 2010, saya sempat diajak ke rumah almarhum Sutikno Wirawan Sigit. Bagi pecinta esai dan sastra khususnya puisi, nama beliau tak asing lagi.
Pak Tik, begitu sapaan akrabnya, salah satu penyair Indonesia terbaik era-66 an. Satu karib dekat mendiang Ananta Pramoedya Toer, yang sama-sama pernah dipenjara di Pulau Buru. Serupa pula kasusnya: kritis pada penguasa.
Ketika itu, almarhum berkisah. "Dari buku saya ini alhamdulillah bisa beli mobil dan rumah. Sekarang rendah sekali apresiasi pada penulis, ya," ujarnya, seraya menunjukan satu buku goresan pena beliau, terbitan 1984.
Sayang, baru sebulan mau memulai proses penulisan biografinya, beliau telah keburu berpulang, 28 September 2014. Walau namanya lekat dengan Lekra yang diidentikan afiliasi komunis, namun karakternya amat lembut dan tawadhu.
Tahun 2010, beliau merasakan kegelisahan berkurangnya apresiasi pada penulis. Tujuh tahun dari kegelisahan beliau, kini kerisauan makin hebat turut dirasakan para penulis lain. Tak terkecuali Tere Liye, yang diguyur gundah atas nasib literasi. Hal mendasar yang dirisaukan penulis adalah tentang keadilan. Kalau keadilan bagi mereka malah terancam, aset bangsa mana lagi yang bakal dikungkung?
Jika perkara-perkara di atas tak segera dievaluasi, hal ini justru menambah daftar panjang preseden buruk bagi Jokowi. Bahkan menjadi sejarah kelam yang bakal dikenang di masa depan.
Bagaimana mau dua periode? Jauh panggang dari api. Belum lagi bila kita mengamati perkembangan ekonomi yang makin terpuruk. Diiringi utang yang menggunung. Pun carut marut rekening 502 dan 506.
Ataukah ini alibi menutupi audit finansial global terhadap sengkarut kejahatan finansial masa lalu dan penyelesaian ketetapan 97? Bukankah saat ini pihak justice internasional sedang gencar-gencarnya melakukan pemeriksaan.
Tangisilah bumi ini yang letih dan sengsara
merunduk dalam lecutan siksa dan kesakitan
tangisilah kehidupan ini di mana kuncup-kuncupnya
layu diserap mainan kepalsuan… (Nyanyian dalam Kelam, Sutikno WS).
Semoga tak ada gelombang kejut sosial ekonomi, seiring gencarnya audit finansial global. Hanya waktu yang bisa mengungkap segala tabir. Kita doakan yang terbaik bagi seluruh bangsa. Tulisan ini didekasikan untuk keluarga korban Kipi, alm Sutikno WS, Dhandy, Tere Liye, dan para penulis di Tanah Air. Jaya selalu generasi bangsa dan tradisi keilmuan Indonesia. Shalaallahu alaa Muhammad.
*) Pemerhati masalah sosial