Senin 24 Jul 2017 00:19 WIB

Dana Desa dan Kemiskinan Kita

William Henley
Foto: istimewa
William Henley

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: William Henley  *)

Awal pekan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis profil kemiskinan di Indonesia Maret 2017. Berdasarkan data BPS, pada bulan itu, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Tanah Air mencapai 27,77 juta orang (10,64 persen). Jika dibandingkan dengan kondisi September 2016 yang tercatat sebesar 27,76 juta orang (10,70 persen), ada penambahan sekitar 6.900 orang.

Masih menurut BPS, selama periode September 2016-Maret 2017, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan naik sebanyak 188,19 ribu orang (dari 10,49 juta orang pada September 2016 menjadi 10,67 juta orang pada Maret 2017). Sementara, di daerah perdesaan turun sebanyak 181,29 ribu orang (dari 17,28 juta orang pada September 2016 menjadi 17,10 juta orang pada Maret 2017).

Baik di perkotaan maupun perdesaan, komoditi makanan memberi sumbangan besar terhadap garis kemiskinan (suatu batas untuk mengelompokkan penduduk menjadi miskin atau tidak miskin). Khususnya adalah beras yang juga dikenal sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia. Kontribusi (persentase) beras terhadap garis kemiskinan di perkotaan dan perdesaan masing-masing sebesar 70,24 persen dan 76,98 persen.

Persentase jumlah penduduk miskin yang tak banyak berubah dalam jangka waktu enam bulan terakhir patut menjadi catatan semua pihak. Sudah sejauh mana efektivitas berbagai macam program pemerintah untuk menekan tingkat kemiskinan di dalam negeri? Penulis akan mencoba menyoroti peranan dana desa dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.

Kilas balik

Dana Desa merupakan salah satu amanat dari UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Anggaran program ini bersumber dari APBN diperuntukkan bagi desa dan desa adat. Penyalurannya dilakukan melalui APBD kabupaten/kota.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN, penggunaan Dana Desa diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Pengalokasian dana desa diharapkan dapat meningkatkan pemerataan pembangunan kesejahteraan desa melalui pelayanan publik di desa, memajukan perekonomian desa, mengatasi kesenjangan pembangunan antardesa serta memperkuat masyarakat desa sebagai subjek dari pembangunan.

Lazimnya kebijakan publik, selalu ada sisi positif maupun negatif dari program dana desa. Positifnya, jika kita cermati di berbagai desa di Indonesia, pembangunan infrastruktur dasar gencar dilakukan. Sebagai contoh pembangunan jalan yang memudahkan petani untuk mengangkut hasil panen.

Secara langsung, hal tersebut memungkinkan produksi pangan segera terdistribusi ke pusat-pusat penjualan seperti pasar. Sedangkan secara keseluruhan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menyatakan sejak 2015 hingga sekarang, sudah ada lebih dari 89 ribu kilometer jalan yang dibangun, 553 jembatan serta 3.000 lebih unit pasar. Pengembangan fasilitas kesehatan dan kelistrikan juga sudah dibangun dengan menggunakan Dana Desa.

Namun, setelah tiga tahun berjalan, masih banyak catatan negatif terkait program dana desa. Mulai dari kohesi sosial yang memudar di kalangan masyarakat, tertangkapnya aparatur desa lantaran menyelewengkan anggaran hingga efektivitas terhadap penurunan jumlah penduduk miskin.

Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan itu, pemerintah tidak tinggal diam. Kemendes PDTT kemudian membentuk Satgas Dana Desa yang dipimpin mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Rianto, awal bulan ini. Satgas Dana Desa akan membantu para kepala desa dalam berbagai hal, termasuk merumuskan kebijakan dan pengawasan pelaksanaan penggunaan dana desa.

Ikhtiar pemerintah dengan membentuk Satgas Dana Desa tentu kita harapkan dapat meminimalisasi permasalahan negatif dari program tersebut. Apalagi satgas dipimpin mantan pimpinan KPK yang integritasnya sudah tidak perlu diragukan lagi. Waktu akan menjawab kerja-kerja Satgas Dana Desa.

Menurunkan kemiskinan

Sebagaimana semangat UU No 6/2014 dan PP No 14/2014, seyogianya dana desa yang diproritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa dapat menurunkan tingkat kemiskinan di perdesaan. Namun, kenyataannya jumlah penduduk miskin tetap saja tinggi.

Meskipun dari sisi jumlah dan persentase terus menurun dari Maret 2016 (17,67 juta orang/14,11 persen) sampai dengan Maret 2017 (17,10 juta orang/13,93 persen). Hal ini tentu mengundang pertanyaan banyak pihak, termasuk penulis. Apalagi, anggaran dana desa yang ditetapkan dalam APBN dari tahun ke tahun terus meningkat.

Pada 2015 dana desa hanya sebesar Rp 20 triliun. Jumlah itu kemudian naik 100 persen pada 2016 menjadi Rp 46 triliun. Pada tahun ini dan tahun depan, anggarannya meningkat masing-masing menjadi Rp 60 triliun dan Rp 120 triliun.

Penulis teringat pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara di salah satu media massa nasional, Januari lalu. Menkeu mengatakan dana desa dapat digunakan untuk membantu menekan angka kemiskinan hingga mendekati 9,5 persen. Dalih Menkeu adalah nominal anggaran yang terus menerus meningkat seharusnya diikuti pengelolaan yang tepat pula.

Namun, ternyata hal tersebut tak semudah membalikkan telapak tangan. Mengutip Laporan Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (KOMPAK), dana desa belum dapat menekan jumlah penduduk miskin karena formula pengalokasian sama sekali belum terkait dengan rencana penggunaannya. Untuk itu, KOMPAK juga menyarankan formula dana desa perlu mempertimbangkan variabel yang terkait dengan upaya pengentasan kemiskinan dan keadilan, yaitu kombinasi jumlah dan persentase penduduk miskin, IPM, luas wilayah, dan indeks kesulitan geografis.

Kreativitas desa

KOMPAK juga merekomendasikan perbaikan kebijakan penggunaan dana desa, terutama pentingnya penajaman penggunaan anggaran melalui prioritas belanja sektor tertentu. Salah satunya adalah pengembangan potensi ekonomi lokal. Banyak kisah sukses yang dapat dicontoh.

Salah satunya Desa Ponggok, Kecamatan Polan Harjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Badan Usaha Milik Desa Ponggok telah membangun sejumlah tempat yang bisa menjadi sumber pemasukan antara lain wisata water park dan budi daya iklan nila. Desa tersebut juga mampu mengentaskan kemiskinan dan menghadirkan kemakmuran bagi warganya. Mulai dari menanggung iuran BPJS hingga membiayai perkuliahan.

Langkah kreatif lain dilakukan Pemerintah Desa Langgongsari, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Di sana, berbekal dana desa, dibangun taman agrowisata yang diberi nama Taman Revolusi Mental. Taman itu menjadi pusat ekonomi masyarakat sekaligus pendidikan teknologi bagi masyarakat.

Pengelola BUMDes pun mengelola bisnis dengan memaksimalkan teknologi digital yang semakin berkembang. Jika hanya dikelola secara konvensional, hasilnya tak akan banyak. Lain halnya dengan memanfaatkan internet karena produk dapat dikenalkan ke seluruh dunia.

Pada akhirnya, penulis hanya ingin meyakinkan, bahwa peningkatan kesejahteraan yang akan berdampak pada penurunan kemiskinan bukanlah sesuatu yang mustahil. Namun, untuk mencapai hal itu, dibutuhkan kerja keras semua pihak, termasuk masyarakat setempat. Dan tak ketinggalan adalah peran pemerintah pusat maupun daerah dalam membantu mewujudkannya.

*) founder Indosterling Capital

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement