Selasa 06 Jun 2017 19:51 WIB

Doktor Honoris Causa Ala Pesantren, Mungkinkah?

Sejumlah perserta latihan membaca kitab kuning saat mengikuti Musabaqoh Kitab Kuning di Pondok Pesantren Miftahul Falah, Jalan Gede Bage Selatan, Kota Bandung, Kamis (6/4).
Foto: Mahmud Muhyidin
Sejumlah perserta latihan membaca kitab kuning saat mengikuti Musabaqoh Kitab Kuning di Pondok Pesantren Miftahul Falah, Jalan Gede Bage Selatan, Kota Bandung, Kamis (6/4).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Aguk Irawan MN*

Belum lama ini, tepat pada Ahad (21/5/2017) kami dibuat terkejut. Pesantren Bina Insan Mulia, sebuah pondok yang berdirinya belum lama ini di Cirebon, berani menganugerahkan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa kepada salah satu "mantan" santri yang dianggap telah berprestasi; dalam hal ilmu pengetahuan dan keteladanan. 

Petikan orasi  ilmiah sang Kiai, Imam Jazuli Lc MA, dan Kang Ubaydillah Anwar selaku penerima pertama Doktor Honoris Causa dari Pesantren tersebut disambut dengan teriakan bergelora oleh hadirin.

Tidak tanggung- tanggung acara itu diadakan di sebuah hotel berbintang dan dihadari oleh banyak guru besar dari berbagai universitas.

Sadar kalau hadirin terkejut, Kiyai Jazuli lalu menjelaskan, “Gelar Honoris Causa Pesantren ini berbeda dengan Honoris Causa universitas yang telah menetapkan kriteria dan ketentuannya sendiri.

Kita menghormati itu dan tidak mau menabrak aturan itu. Apa yang kita lakukan hari ini, adalah murni penganugerahan Doktor Honoris Causa ala pesantren, bukan ala perguruan tinggi," tegasnya. 

Tetapi, kita mungkin masih saja bertanya: Mengapa harus menggunakan istilah Doktor Honoris Causa? ”Sesuatu" yang selama ini, tidak saja berjarak dengan dunia pesantren, tetapi juga sudah menjadi "milik" sebuah perguruan tinggi/universitas? 

"Sesuatu" itu tentu saja tampak ganjil bila kita mencoba merunut akar sejarahnya. Gelar Doktor Honoris Causa pertama kali lahir dari "ruang" pendidikan keuskupan model masyarakat Eropa, tercatat pertama kali diberikan kepada Lionel Woodville sekitar 1470 oleh Universitas Oxford, Inggris. 

Ia kemudian dikenal sebagai Uskup Wilayah Salisbury/Bishop of Salisbury. Kemudian tradisi itu dilanjutkan oleh Universitas Cambridge dan masuk ke Indonesia melalui "pintu" pendidikan kolonial-modern.

Seseorang yang telah menerima gelar Doktor Kehormatan, ia berhak mendapatkan hak yang sama seperti para  penerima gelar akademik 'reguler" lainnya, ia juga dapat mencantumkan tanda  kedoktorannya pada awal namanya.

Sementara dunia pesantren, punya "ruang" dan riwayatnya tersendiri. Bahkan bisa jadi bertolak belakang dari akar sejarah pendidikan keuskupan itu. Jika kita merunut ke akarnya, setidaknya menurut I-Tsing dalam kitabnya: Ta T’ang si-yu-ku-fa-kao-sheng-cuan (Biografi pendeta- pendeta Mulia dari T’ang yang mengajar di India) ditulis 688-695 M, model pendidikan pesantren ini sudah sangat purba, ia ada sejak abad ke-7 M. 

Sumber China itu menyebutkan bahwa di Sriwijaya terdapat suatu pusat pengajaran "kepesantrenan"; sebuah sistem pendidikan yang menitikberatkan pada pendidikan spiritualitas dan relegiusitas agama Budha, yang begitu megah dan masyhur yang di kenal oleh mancanegara.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement