Rabu 10 May 2017 05:04 WIB

Exit Strategy: Belajarlah pada McArthur dan Nasution

Pasukan Siliwangi hijrah ke Yogyakarta pada perang kemerdekaan.
Foto: dok. Anri
Pasukan Siliwangi hijrah ke Yogyakarta pada perang kemerdekaan.

Oleh: Abdullah Sammy

 

Dalam strategi militer ada istilah exit strategy. Ini adalah strategi guna meminimalisasi dampak dari kekalahan.

Sebab dalam peperangan sengit pastilah pihak yang kalah banyak menderita kerugian. Dalam istilah militer dikenal dengan sebutan blood and treasure (nyawa dan harta).

Mari kita membuka kembali lembaran sejarah perang Vietnam. Pada akhir 1968, posisi pasukan Amerika benar-benar tersudut oleh perlawanan tentara Vietkong. Korban dari militer Amerika bergelimpangan.

Dana yang AS kucurkan bagi perang pun membengkak sehingga membebani kondisi keuangan negara. Ini juga ditambah tekanan politik dalam negeri AS yang semakin meningkat.

Dalam posisi yang kurang menguntungkan ini, Washington menimbang strategi jalan keluar alias Exit Strategy. Ini guna mengantisipasi semakin membengkaknya kerugian yang dialami di Vietnam.

Exit Strategy yang dilakukan akhirnya berbentuk sebuah perjanjian. Pada 23 Januari 1973, Presiden Amerika Richard Nixon menyatakan pihaknya menawarkan sebuah perjanjian damai dengan penuh hormat (peace with honor).

Perjanjian itu membuat Amerika harus meninggalkan medan perang. Di sisi lain Vietnam Utara membebaskan semua tahanan Amerika. Amerika pun angkat kaki dalam medan perang yang tak pernah mereka menangkan.

Walau secara teori Amerika babak belur, tapi setidaknya dampak kehancuran bisa diminimalisasi. Citra Amerika memang ternoda di Vietnam. Tapi berkat exit strategy, Amerika jadi punya kesempatan untuk memulihkan diri di tengah guliran perang dingin kala itu.

Hingga akhirnya secara politik dan ekonomi, Amerika tetap bisa bertahan pada akhir 1960-an dan bangkit di medio 1970-an.

Jauh sebelum Vietnam, militer Amerika juga menerapkan exit strategy dalam perang di Asia Pasifik melawan Jepang. Kalah dalam pertempuran di Filipina melawan tentara Nippon pada 6 Mei 1942 , jenderal Amerika Douglas McArthur memakai exit strategy.

Mereka meninggalkan sejumlah pos di Filipina dengan kekuatan yang tersisa. Mereka tak memaksa perang habis-habisan. Sebaliknya, mereka sengaja menerapkan strategi keluar (exit strategy) guna menghimpun kembali kekuatan dan menyusun strategi baru.

Akhirnya pendekatan baru dipakai McArthur untuk menggempur Jepang. McArthur yang memilih kabur ke Australia merancang strategi leapfrogging (alias lompat katak). Dia memilih mengarahkan pertempuran lompat dari satu pulau kecil di Pasifik ke pulau lain.

Dari Australia pasukan McArthur 'lompat' menuju Pulau Guadalcanal di Kepulauan Solomon yang diduduki Jepang. Dalam waktu yang nyaris sama mereka menggempur Papua Nugini kemudian melompat ke Pulau Morotai.

Hingga perairan sekitar Filipina berhasil mereka kuasai. McArthur akhirnya mampu memblokade jalur logistik tentara Jepang, utamanya terkait energi. Hal yang akhirnya membuat pasukan McArthur mampu kembali merebut Filipina pada 1944.

Dalam kasus yang sama strategi seperti ini juga dipernah dilakukan para pemimpin Indonesia di awal kemerdekaan. Saat itu akibat perjanjian Renville posisi republik terjepit. Wilayahnya tingga secuil yakni sebatas sebagian Jawa Tengah dan Yogyakarta. Para perunding Indonesia saat itu terpaksa menerima meski dengan hati dongkol. Mereka realistis untuk menerima hasil perjanjian itu sebagai 'jalan maju' karena sudah punya tempat pijak yakni punya wilayah meski hanya secuil saja. Pengorbanannya besar sekali karena pihak republik harus mengeluarkan seluruh anggota tentaranya dari wilayah Jawa Barat menuju wilayah republik dengan 'menghijrahkan' pasukan Siliwangi ke Yogyakarta.

Namun, pilihan strategi ini kemudian terbukti tepat. Dari wilayah secuil itulah TNI kemudian mengkonsolidasikan diri hingga kemudian memaksa bala tentara Belanda melakukan strategi 'caunter gerilya' hingga mereka kelelahan.  Nasution yang saat itu masih berusia belia dan menjadi Komandan Divisi Siliwangi ternyata mampu membuat pusing tentara kolonial karena melakukan perang gerilya yang terkordinasi dalam bentuk kantong-kantong gerilya.

Strategi perang asimetris inilah yang disebut 'perang semesta'. Belanda semakin tersudut karena gaya perang 'kucing-kucingan' itu makin membuatnya posisi mereka goyah di mata internasional karena melakukan aksi kekerasan yang tanpa henti di tanah bekas koloninya. Di forum internasional di PBB delegasi mereka terus menerus kehilangan muka. Maka, tak berapa lama kemudian, Belanda pun takluk dengan bersedia menandatangi Denhaag pada akhir tahun 1949.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement