REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Eko Saputra, Direktur Eksekutif Halal Center SI
Penolakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap investasi peternakan babi senilai Rp 10 triliun di Jepara memicu pro dan kontra. Para pendukung investasi menekankan manfaat ekonomi seperti penciptaan lapangan kerja, peningkatan Pendapatan Asli Daerah, dan peluang bisnis turunan. Namun, pihak yang menolak menegaskan bahwa keuntungan materi tidak boleh mengorbankan prinsip agama, kesehatan masyarakat, dan keberlanjutan lingkungan.
Dalam perspektif ekonomi syariah, setiap aktivitas usaha wajib memenuhi prinsip halal dan thayyib. Investasi pada peternakan babi bertentangan langsung dengan maqashid syariah yakni lima tujuan utama syariat Islam yang meliputi penjagaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Normalisasi aktivitas yang diharamkan akan mengikis kesadaran keagamaan, sementara dampak lingkungan seperti pencemaran air tanah, bau busuk, dan limbah berbahaya dapat mengancam kesehatan. Risiko penularan penyakit seperti flu babi menambah alasan kuat penolakannya.
Secara ekonomi, suntikan dana besar memang menjanjikan multiplier effect. Namun, pengalaman internasional membuktikan bahwa tidak semua investasi menghasilkan manfaat jangka panjang. Peternakan babi skala industri telah terbukti menyumbang polusi nitrogen dan fosfat, menurunkan kualitas lingkungan, bahkan menimbulkan konflik sosial di wilayah sensitif terhadap isu halal-haram. Ketergantungan pada sektor non-halal juga mengabaikan peluang di sektor halal yang di Indonesia tumbuh 8,9 persen per tahun dan ini lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.
Dari sudut pandang hukum Islam, pengharaman babi tegas dan menyeluruh meliputi daging, tulang, lemak, kulit, bahkan segala bentuk transaksi yang melibatkannya, demikian menurut A.Hassan. Ayat-ayat Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 173, QS. Al-Maidah: 3) diperkuat hadis Nabi SAW yang melarang pemanfaatan babi, meskipun untuk keperluan non-konsumsi. Ulama seperti Yusuf Al-Qaradawi menggolongkan investasi di sektor haram sebagai dosa besar karena mendorong penyebaran kemaksiatan.
Contoh dari negara lain memperkuat argumentasi ini. Malaysia menolak investasi pabrik bir bernilai miliaran ringgit demi melindungi moral publik dan memprioritaskan sektor halal. Hasilnya, Malaysia kini menjadi eksportir produk halal terbesar dunia, dengan nilai 11 miliar dolar AS pada 2022.
Sebaliknya, Denmark yang merupakan produsen babi terbesar Eropa, mengalami kerugian hingga 2 miliar euro akibat wabah African Swine Fever dan menghadapi kritik global atas pencemaran lingkungan. Prancis pun pernah mengalami kerugian besar di sektor pariwisata ketika limbah peternakan babi memicu ledakan alga beracun di Brittany, membuat pantai-pantai wisata favorit ditutup.
Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim terbesar di dunia harus terus fokus pada sektor halal yang lebih menjanjikan, mengarahkan investasi ke sektor halal saja. Potensi pasar global produk halal diperkirakan mencapai 2,6 triliun dolar AS pada 2025. Sektor seperti peternakan sapi dan unggas halal, pengolahan makanan halal, serta pariwisata hala, termasuk pengembangan destinasi pariwisata halal kelas dunia seperti Raja Ampat, dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi yang berdaya saing, sehat, dan berkelanjutan.
Menolak investasi peternakan babi bukan sekadar mempertahankan fatwa agama, melainkan strategi membangun ekonomi berbasis nilai. Dengan mengarahkan modal pada sektor halal, Indonesia tidak hanya melindungi identitas moral dan kesehatan rakyat, tetapi juga memposisikan diri sebagai kekuatan utama dalam industri halal global. Inilah langkah cerdas yang menggabungkan prinsip, keberlanjutan, dan peluang masa depan.