REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syukri Wahid *)
Mengapa bungamu tak wangi? Apakah kau ditanam dengan pupuk kebohongan?!
Mengapa bungamu tak sampai ke hati? Apakah kau dipetik di pekarangan kedustaan?!
Tak kutangkap rona bungamu yang segar, sebab kau petik dia dengan ambisi amarah.
Tak dapat kupajang dalam taman hati, sebab akarnya ganas seperti sang penista.
Oh bunga,,.kasihan dirimu, maknamu harus ternodai? Kau jadi alat pembawa pesan yang membuatku enggan tersenyum.
Dia katakan cinta lewat dirimu, tapi dia memetikmu dengan mulut yang kasar.
Dia sampaikan pesan toleransi yang agung, tapi dia memetikmu dengan menistakan ajaran suci.
Kau rayu orang dengan sihir katamu yang paling toleransi di jagad Nusantara ini. Sedangkan bunga itu jadi layu tak kuasa pikul wajah aslimu.
Atas nama bunga, kau anggap yang sedang mencari keadilan di negeri adalah pelawan hukum dan perusak negeri ini, sedang sang penista jadi simbol keagungan Pancasila dan simbol keutuhan NKRI.
Sejak kapan kau giring makna bunga, bahwa melawan sang penista adalah perusak negeri? Melawan sang penista adalah radikalisme.
Bagaimana mungkin kau berikan cinta lewat bunga, setelah kau rusakkan seluruh isi taman ini.
Ckckckck,,,mungkin simpan saja bungamu di depan mulutnya, biarkan dia tumbuh subur di sana, entah pupuk apa yang bisa membuatnya jadi subur.
Mungkin saja, pupuk dari tanah-tanah penjara penista agama. Oo bunga yang malang, kau ada hanya untuk layu...
*) Pegiat Sosial Politik