Senin 10 Apr 2017 06:00 WIB

Assad Menjepit Trump

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,Menggunakan senjata kimia — apa pun jenis dan kondisinya — adalah dilarang hukum internasional. Lalu mengapa rezim Presiden Bashar Assad memakai gas beracun saat menyerang Khan Sheikhoun, sekitar 50 km arah selatan dari Kota Idlib, Suriah, yang dikuasai kelompok oposisi pada Selasa pagi, ketika banyak orang masih tidur? 

Dalam negara yang sedang konflik, serang-menyerang mungkin biasa. Yang tidak biasa karena, sekali lagi, rezim Assad ketika itu menggunakan senjata kimia. Gas beracun inilah yang kemudian menewaskan sedikitnya 58 warga sipil, sebagian besar anak-anak dan perempuan.

Padahal pasukan Assad tidak dalam kondisi terdesak. Sasaran yang diserang pun bukan wilayah strategis dalam perang saudara melawan kelompok oposisi. Karena itu sulit dipahami mengapa rezim Assad melawan hukum dan opini masyarakat internasional. Sementara itu, mereka — masyarakat internasional — untuk pertama kalinya dalam enam tahun sejak pecah perang saudara pun bersikap lunak terhadap rezim Bashar Assad. Alias tidak ngotot lagi untuk melengserkannya dari kekuasaan.

Apa yang telah dilakukan rezim Assad dengan menggunakan gas beracun yang membunuh anak-anak dan perempuan bisa jadi akan membahayakan rezim itu sendiri. Petualangannya barangkali akan menyeret rezim itu ke pengadilan internasional sebagai penjahat perang. Penggunaan senjata kimia mungkin juga akan mengubah sikap sejumlah negara Barat yang telah bersedia tidak lagi melengserkan Bashar Assad dalam penyelesaian konflik di Suriah. 

Rezim Bashar Assad tentu sadar betul dengan bahaya penggunaan senjata kimia tersebut. Ia tidak akan berani mengambil risiko sebesar itu kalau tidak mendapat restu dari koalisi asingnya. Terutama Rusia. Tujuannya, sebagaimana disampaikan pengamat Timur Tengah Abdul Rahman al Rasyid, untuk menguji atau mengetahui reaksi para pemimpin Barat, terutama Presiden AS Donald Trump. Yakni, apakah Trump akan ‘menghukum’ langsung rezim Suriah atau mengambil langkah lain? Misalnya dengan mempersenjatai kelompok-kelompok oposisi Suriah.

Atau barangkali sikap Donald Trump akan sangat lunak seperti diperlihatkan oleh Presiden AS sebelumnya, Barack Obama. Pada 2013 lalu, rezim Presiden Assad juga melancarkan serangan gas beracun ke kawasan Ghouta yang menjadi benteng oposisi di dekat Damaskus. Serangan dengan gas sarin ini telah menyebabkan kematian ratusan warga.

Obama pada waktu itu mengancam akan melancarkan serangan besar-besaran ke berbagai sasaran militer Suriah. Namun, setelah mengadakan pembicaraan dengan Rusia, Obama pun melunak. Ia pun sepakat rezim Assad akan menghancurkan sendiri gudang senjata kimianya dengan pengawasan dari Badan Pengawas Senjata Kimia PBB.

Namun, sejumlah pengamat ragu apakah Suriah benar-benar telah menghancurkan senjata kimianya. Terbukti Suriah telah beberapa kali melancarkan serangan gas beracun ke basis-basis oposisi. Yang terbaru adalah serangan gas beracun ke kawasan Khan Sheikhun pada Selasa lalu.

Karena itu, serangan senjata kimia yang dilancarkan oleh rezim Bashar Assad pada Selasa lalu jelas merupakan ujian berat bagi Presiden Donald Trump. Apalagi Trump kini juga dihadapkan dengan berbagai persoalan dalam negeri yang tidak ringan. Bila ia salah langkah atau keliru dalam merespon serangan gas beracun yang dilancarkan rezim Suriah itu, bisa saja Presiden Trump terpeleset dalam jurang persoalan yang tidak ada ujung pangkalnya, baik di dalam maupun luar negeri.

Bisa jadi juga serangan senjata kimia di Idlib ini hanyalah merupakan awal dari serentetan serangan lain yang akan dilancarkan oleh lawan-lawan Trump di Timur Tengah. Misalnya serangan terhadap kapal induk AS yang sedang bersandar di perairan Teluk. Atau menculik warga Amerika di Lebanon dan di negara-negara Arab lain. Bisa juga menargetkan pasukan AS di Irak yang sedang sibuk melancarkan serangan ke basis-basis ISIS. Ini belum termasuk serangan yang mungkin sedang direncanakan oleh kelompok teroris itu di negara-negara Barat, terutama terhadap kepentingan-kepentingan AS.

Semua itu pernah dialami oleh AS pada 1980-an. Pada saat itu, berbagai kepentingan AS di Timur Tengah diserang oleh kelompok-kelompok yang tidak menyukai keberadaan Paman Sam di kawasan yang terus bergolak itu. Seperti penculikan diplomat dan akademisi AS di Lebanon. Juga pengeboman di markas marinir AS di Beirut.

Dengan begitu, serangan senjata kimia yang dilancarkan rezim Bashar Assad ke Idlib itu benar-benar ujian berat bagi Presiden Trump. Dengan kata lain, Assad ingin menjepit presiden yang juga pengusaha itu.

Presiden Putin dan Presiden Suriah kini masih menunggu respon lebih lanjut dari Gedung Putih dan para koleganya di NATO (The North Atlantic Treaty Organization). Sejauh ini, AS memang sudah meluncurkan 59 rudal Tomahawk yang diarahkan pada Pangkalan Udara Shayrat di Provinsi Homs, Suriah.

Pangkalan udara ini, seperti disebut dalam pidato televisi Presiden Trump, merupakan tempat serangan senjata kimia berasal. Namun, menurut keterangan Departemen Pertahanan AS, serangan AS ini juga dimaksudkan untuk menyasar pesawat, hanggar, area penyimpanan, ruang pasokan amunisi di bawah tanah, sistem pertahanan udara, serta radar milik angkatan bersenjata Suriah.

Selain melancarkan serangan balik, serangan senjata kimia di Khan Sheikhoun tampaknya juga telah mengubah kebijakan AS terhadap Presiden Bashar Assad. Sejak dilantik jadi Presiden AS pada Januari lalu, Presiden Trump tidak pernah membahas pelengseran Bashar al-Assad sebagai presiden Suriah sebagaimana diwacanakan Barack Obama. Bahkan beberapa hari sebelum serangan senjata kimia, Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley, mengatakan Gedung Putih tak lagi memprioritaskan perubahan rezim di Suriah.

Kini, setelah serangan senjata kimia di Khan Sheikhoun, AS pun mengubah kebijakannya. Dalam pidato setelah serangan AS ke Pangkalan Udara Suriah, Trump memperingatkan ‘sesuatu harus terjadi’ atas kepempinan Suriah menyusul insiden di Khan Shiekhoun. Menteri Luar Negeri AS, Rex Tillerson, menyebutkan Assad seharusnya tidak punya peranan di Suriah pada masa mendatang. Namun, baik Trump maupun Tillerson tidak menjabarkan secara rinci apa langkah berikutnya.

Sementara itu, Rusia yang menjadi pendukung utama rezim Presiden Bashar Assad baru mengeluarkan berbagai pernyataan keras yang mengritik serangan AS ke Pangkalan Udara Suriah. Rusia belum merespon dalam bentuk aksi nyata di lapangan.

Kita belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya setelah serangan senjata kimia oleh rezim Assad dan serangan balasan oleh AS. Yang jelas, serangan senjata kimia di Idlib itu telah menambah kekhawatiran banyak pihak. Konflik di Suriah yang sebelumnya hanya berupa aksi-aksi demonstrasi rakyat untuk menentang rezim Presiden Assad telah berubah menjadi konflik besar yang melibatkan berbagai kekuatan militer dunia.

Yang menjadi korban pastilah bukan ‘para penguasa’ yang mengobarkan konflik. Ibarat ‘gajah bergajah-gajah, pelanduk mati terjepit’. Jika para penguasa  bertengkar, rakyat kecil yang jadi korban. 

Kini sejak konflik enam tahun lalu, sudah separuh dari warga Suriah menjadi pengungsi. Yang lainnya meninggal dunia atau cacat seumur hidup. Sementara itu, tanda-tanda bahwa konflik di Suriah akan berakhir pun semakin sirna.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement