Senin 06 Mar 2017 06:00 WIB

Risalah Al Azhar untuk Dunia

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Dua pemuda sedang mengambil ancang-ancang menggeber mobil mereka di jalan raya. Beberapa saat kemudian dua mobil itu pun melesat, meraung-raung di jalanan.

Seorang bapak dan anak lima tahunan sedang bersiap menaiki mobil yang lain. Sang bapak memakai jins dan sepatu kets. Santai. Si anak  mengenakan pakaian olahraga dan di tangannya sebuah bola. Tak lama berselang mereka pun meluncur ke jalanan menuju sebuah halaman bermain.

Sebuah tendangan keras kaki kanan si anak melambungkan bola, loncat liar ke jalan raya. Sang bapak lalu mengejar bola itu. Dan, ‘Brak!’’ Suara keras terdengar. Suara itu berasal dari sebuah trabrakan hebat.  Salah satu mobil yang sedang digeber  tadi rupanya menabrak si bapak yang sedang berlari mengambil bola. Tak lama kemudian terdengar raungan minta tolong si anak.

Seorang anak muda lain sedang berdoa khusuk di sebuah masjid. Saat mendengar sayup-sayup suara minta tolong ia pun bangkit. Berlari menuju tempat si anak yang terus menangis di samping bapaknya yang terluka dan berdarah. Pada waktu bersamaan, seorang pemuda lain lagi sedang berkonsentrasi berdoa di sebuah gereja. Demi mendengar suara minta tolong, ia pun bergegas menuju tepat kejadian.

Dua pemuda – Muslim dan Kristen – kemudian bahu membahu menolong si bapak.  Ketika sebuah ambulans datang meraung-raung, kedua pemuda pun segera mengangkat si bapak ke mobil. Mereka kemudian duduk di samping kiri dan kanan si bapak yang sedang berbaring merintih kesakitan di dalam ambulans. Kepala dua anak muda bersentuhan. Wajah mereka terus mengawasi luka si sakit. Mulut mereka komat kamit berdoa.

‘’Dua pemuda yang sedang menolong bapak yang tertabrak mobil itu tidak pernah bertanya agama yang bersangkutan. Begitu mendengar suara permintaan tolong, dua pemuda – Muslim dan Kristen – itu pun bangkit dari kekhusukan ibadah mereka untuk menolong orang lain,’’ ujar Sheikh al Azhar, Dr Ahmad Tayyib, dalam teks tertulis mengakhiri film pendek berdurasi lima menit itu.

Film pendek ini sengaja diputar sebelum Sheikh Al Azhar membuka konferensi internasional bertajuk ‘al Huriyah, al Muwathonah, at Tanawwu’ wa at Takamul’ (Freedom, Citizenship, Diversity, and Integration) di Kairo, Mesir, pekan lalu. Seminar ini diikuti lebih dari 600 peserta dari berbagai negara. Diselenggarakan oleh Al Azhar dan Majelis Hukama al Muslimin.  Dari Indonesia, saya dan KH Said Aqil Siraj (Ketua Umum PBNU) yang diundang.

Dalam film berdurasi  lima menit itu tidak dijelaskan bagaimana nasib si bapak selanjutnya. Juga nama dan agama bersangutan. Pun dengan dua anak muda yang kebut-kebutan tadi. Yang jadi fokus film pendek ini memang bukan mereka. Yang menjadi penekanan adalah dua pemuda berbeda agama – Muslim dan Kristen – yang begitu responsif menolong orang terkena musibah, tanpa bertanya agamanya dan siapa orang tersebut.

Sheikh Al Azhar, dalam pidatonya kemudian, mengatakan agama semustinya menjadi solusi. Bukan justeru menjadi bagian dari persoalan. Solusi apa pun, termasuk persoalan-persoalan yang kini melilit berbagai kawasan di dunia. Utamanya berbagai konflik yang kini mendera kawasan Timur Tengah.

Namun yang memprihatinkan, lanjut Sheikh Al Azhar, banyak persoalan yang justeru dipicu dan melibatkan agama. Atau lebih tepatnya mengatasnamakan agama. Sheikh Al Azhar menyebut mereka adalah para teroris, ekstrimis, dan radikalis. Mereka — dengan mengatas-namakan agama — menghalalkan segala cara: membunuh, membakar, melakukan serangan bom, dan berbagai kekekerasan lainnya.

Dan, yang lebih menyedihkan, mereka kini sudah menyusup di berbagai lapisan masyarakat. Korban kebiadaban mereka juga tidak mengenal suku, agama, bangsa, dan bahkan melewati batas negara. Masjid dibom. Gereja diserang. Juga tempat-tempat umum lainnya.  Akibatnnya, di tengah masyarakat muncul sikap saling curiga. Bahkan saling menuduh.

Di negara-negara Barat kini marak Islamophobia. Bahkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pun sempat mengeluarkan larangan buat warga dari tujuh negara — Iran, Irak, Suriah, Yaman, Sudan, Somalia, dan Libia -- mayoritas Muslim untuk masuk AS.

Padahal, Sheikh Al Azhar menegaskan, agama tidak terkait dengan segala persoalan tadi. ‘’Saya yakin yang hadir di sini — apakah itu beragama Islam, Kristen, atau agama lainnya — sepakat dengan saya bahwa agama apa pun tidak ada hubungannya dengan segala tindak terorisme dan kekerasan yang sekarang melanda dunia,’’ ujarnya.

Sheikh Ahmad Tayib yakin semua agama mengajarkan kebaikan, kedamaian, teleransi, dan keharmonisan masyarakat. Islam sendiri, katanya, sudah mencontohkan konsep ‘rahmatan lil ‘alamin’, ketika Nabi Muhammad SAW membentuk sebuah negara di Madinah. Piagam Madinah menjamin keselamatan semua warga dan melindungi hak kepemilikan mereka, terlepas dari agama yang dipeluknya. Mereka juga mempunyai hak dan kewajiban sama.

Atas dasar itulah Al Azhar bersama Majelis Hukama al Muslimin (the Muslim Council of Elders) yang juga diketuai  Sheikh Dr Ahmad Tayib, kemudian memprakarsai konferensi dua hari bertema ‘Freedom, Citizenship, Diversity, and Integration’.  Konferensi ini dihadiri oleh lebih dari 600 peserta, terdiri dari para ulama, pendeta, tokoh politik, budayawan, intelektual, dan wartawan senior dari berbagai negara. Para pembicaranya pun tokoh tokoh yang sudah punya nama, antara lain beberapa mantan presiden, menteri dan mantan menteri, dan para tokoh dari berbagai agama, di samping para ulama senior Al Azhar sendiri.

Pada hari pertama konferensi, para pembicara mengemukan berbagai persoalan terkait dengan agama dan para pemeluknya, yang terjadi di berbagai belahan dunia. Pada hari berikutnya, konferensi menyampaikan usulan tentang kerangka dasar kerja-sama  para pemimpin dan para pemeluk agama. Ada dari pihak Al Azhar sendiri, dari pemimpin Islam, Kristen, dan agama lain.

Masing-masing kerangka dasar ini lalu digabung, dimatangkan pihak Al Azhar, dan kemudian dijadikan sebagai ‘panduan’ bagi masyarakat. Baik di negara yang Muslim merupakan mayoritas maupun minoritas. Dan, terlebih lagi di masyarakat yang multi agama, kepercayaan, dan multi etnis. Inilah barangkali yang disebut ‘risalah Al Azhar bagi semesta dunia’. Yakni bagaimana menciptakan kedamaian dunia, di mana masyarakat saling menghargai, toleran, dan tidak saling mencurigai.

Ketika mengikuti konferensi ini saya pun teringat dengan Indonesia yang akhir-akhir ini diwarnai dengan berbagai gejolak. Ada satu kelompok yang menuduh kelompok lain sebagai intoleran, anti-NKRI, anti-Pancasila, dan bahkan dituduh ingin makar. Sebaliknya,  kelompok yang menuduh tersebut dianggap sebagai ‘berlebihan’ di dalam memaknai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, cinta tanah air dan NKRI. Ingin mempolitisasi Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan NKRI untuk kepentingan politiknya.

Bagi saya, memaknai Pancasila dan cinta NKRI tidak boleh menjadi hegenomi satu kelompok tertentu. Saya yakin semua pihak mencintai NKRI, setia kepada Pancasila, dan sangat paham Bhinneka Tunggal Ika. Kuncinya, mari kita duduk bersama. Hilangkan sikap saling curiga.

Ketika sarapan sebelum konferensi di Fairmont Hotel, Kairo, saya pun berbisik kepada KH Said Aqil Siraj, ada baiknya ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah menggagas sarasehan seperti diselenggarakan Al Azhar. Melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Berdiskusi dengan kepala dingin. Menemukan solusi terbaik buat bangsa dan negara ini.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement